Jejak Literasi Rimbalis dalam Buku: 7 Antologi, 7 Napas Hutan dari Kisah Para Rimbawan

2025-07-10 11:19:48 | Diperbaharui: 2025-07-10 11:19:48
Jejak Literasi Rimbalis dalam Buku: 7 Antologi, 7 Napas Hutan dari Kisah Para Rimbawan
Buku-buku karya Rimbalis

Sejak didirikan pada 2022, komunitas Rimbawan Menulis (Rimbalis) telah menorehkan sejarahnya sendiri dalam dunia literasi kehutanan di Indonesia. Melalui kolaborasi dengan berbagai penerbit, Rimbalis berhasil melahirkan tujuh buku antologi yang bukan hanya menjadi wadah ekspresi, tetapi juga menjadi instrumen edukasi, dokumentasi, dan inspirasi. 

Buku-buku ini ditulis oleh para rimbawan yang berada di lapangan, dari penyuluh, polisi kehutanan, alumnus kehutanan, petugas-petugas kawasan konservasi, akademisi, mahasiswa kehutanan, pecinta alam, hingga ibu rumah tangga. Mereka menulis bukan untuk popularitas, tapi untuk menjaga ingatan kolektif tentang hutan dan kehidupan yang bergantung padanya.

Berikut adalah tujuh karya antologi yang telah diterbitkan Rimbalis selama tiga tahun perjalanannya.

1. Emak Rimbawan (2022)

Sebagai buku antologi perdana Rimbalis, Emak Rimbawan mencatat tonggak penting dalam perjalanan komunitas ini. Berisi 30 kisah tentang ibu dan cinta lingkungan, buku ini menyoroti peran ibu dalam menanamkan nilai-nilai ekologis kepada anak-anaknya. Diterbitkan pada 2022, buku ini bukan hanya menyentuh sisi emosional, tapi juga membumikan pendidikan lingkungan dari lingkup terkecil, yaitu rumah tangga.

Menariknya, Emak Rimbawan telah dicetak lebih dari 400 eksemplar, menunjukkan antusiasme yang besar dari para pembaca. Buku ini sejalan dengan konsep ecopedagogy, yaitu pendekatan pendidikan yang menekankan relasi antara manusia dan alam secara kritis dan penuh kesadaran. Dalam konteks ini, ibu bukan hanya guru pertama bagi anak, tetapi juga pendidik ekologi pertama dalam hidup mereka.

Antologi 1 Rimbalis: Emak Rimbawan

2. Sang Giri (2022)

Disusun oleh 30 penulis, Sang Giri menghimpun kenangan, pengalaman, dan foto-foto yang telah tersimpan bertahun-tahun. Buku ini seperti catatan perjalanan batin para pendaki, yang tidak hanya berbicara soal ketinggian gunung, tetapi juga kedalaman jiwa. 

Sang Giri menyampaikan pesan bahwa menjadi pendaki sejati bukan soal banyaknya puncak yang ditaklukkan, tetapi seberapa jauh seseorang mampu menaklukkan egonya sendiri.

Dengan gaya penulisan reflektif dan kontemplatif, Sang Giri menghadirkan semangat ekosentrisme, suatu pandangan yang menempatkan alam sebagai subjek, bukan sekadar objek eksplorasi. Buku ini mengajak pembaca menyelami gunung sebagai guru kehidupan.

Antologi 2 Rimbalis: Sang Giri

3. Rimbawan dalam Dasarupa (2023)

"Dasarupa" dalam bahasa Sansekerta berarti wujud atau rupa dasar. Buku ini menggambarkan jati diri para sarjana kehutanan yang memilih jalan hidup lintas profesi namun tetap membawa nilai-nilai kehutanan di manapun mereka berada.

Dengan 30 kisah inspiratif dari rimbawan yang bekerja di berbagai sektor, mulai dari pemerintahan, BUMN, ekonomi kreatif, perbankan, hingga konsultan, Rimbawan dalam Dasarupa menegaskan bahwa rimbawan bukan hanya profesi, tapi identitas. 

Buku ini menjadi contoh nyata dari teori identitas sosial (social identity theory), di mana afiliasi terhadap profesi atau komunitas tertentu membentuk cara pandang dan perilaku seseorang, bahkan saat mereka berada di luar konteks kehutanan itu sendiri.

Antologi 3 Rimbalis: Rimbawan dalam Dasarupa

4. Foresterium (2023)

Dunia global menuntut mobilitas dan kompetensi internasional. Foresterium hadir untuk menjawab kebutuhan akan panduan dan inspirasi dalam menempuh studi kehutanan di luar negeri. 

Berisi kisah 30 alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang menempuh studi di berbagai penjuru dunia, buku ini membuka mata tentang peluang, tantangan, dan pelajaran dari dunia pendidikan internasional.

Tak hanya berisi cerita sukses, Foresterium juga memuat kisah kegagalan, adaptasi budaya, hingga perjuangan menghadapi kesepian dan tekanan akademik. Buku ini memperlihatkan pentingnya resilience (ketangguhan psikologis) dalam menghadapi tantangan global, sebuah kemampuan yang semakin krusial di era perubahan iklim dan ketidakpastian lingkungan.

Antologi 4 Rimbalis: Foresterium

5. Dongeng Ayah (2024)

Dongeng Ayah adalah karya yang menyentuh hati. Buku ini menyajikan cerita-cerita pengantar tidur yang disampaikan oleh para rimbawan kepada anak-anak mereka. Namun, dongeng dalam buku ini bukan sekadar hiburan, melainkan sarana untuk menanamkan kesadaran ekologis sejak dini.

Dalam konteks pendidikan lingkungan, pendekatan naratif seperti ini terbukti efektif. Menurut Louise Chawla dalam teorinya tentang "significant life experiences," pengalaman masa kecil yang menyenangkan dan penuh makna terhadap alam akan membentuk kecintaan dan kepedulian terhadap lingkungan di masa depan. 

Dongeng Ayah menjadi jembatan generasi antara pengetahuan dan perasaan cinta terhadap bumi.

Antologi 5 Rimbalis: Dongeng Ayah

6. Rimba Rhapsody (2024)

Buku ini merupakan kumpulan kisah inspiratif dari 30 penyuluh kehutanan yang bekerja di berbagai kawasan konservasi Indonesia. Dari hutan Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua, Rimba Rhapsody memotret tantangan dan keberhasilan para penjaga rimba yang bekerja langsung di garis depan.

Setiap cerita dalam buku ini menampilkan potret nyata kerja konservasi di lapangan, serta kreativitas dalam menghadapi tantangan sosial-ekologis. Buku ini bisa dibaca dalam kerangka etnografi lingkungan, di mana pengalaman individual menjadi sumber pengetahuan kolektif tentang relasi manusia dan alam. 

Penyuluh bukan hanya agen edukasi, tetapi juga pengikat harmoni antara masyarakat dan hutan.

Antologi 6 Rimbalis: Rimba Rhapsody

7. Langkah di Belantara (2025)

Sebagai buku antologi yang ditulis oleh 22 orang petugas dari Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Langkah di Belantara membawa kita menyelami kompleksitas pengelolaan sebuah kawasan konservasi.

Disusun dengan gaya penulisan populer yang mudah dipahami, buku ini menyampaikan pengalaman langsung para penulis, dari pengamanan kawasan, pemanfaatan bioprospeksi, kerja sama dengan mitra, hingga pemberdayaan masyarakat di empat provinsi: Jambi, Sumatra Barat, Bengkulu, dan Sumatera Selatan. Buku ini menjadi representasi nyata dari praktik konservasi yang adaptif dan kolaboratif.

Dalam perspektif teori adaptasi institusional, keberhasilan konservasi bergantung pada kemampuan institusi untuk merespons dinamika sosial, budaya, dan ekologi. Buku ini menunjukkan bahwa konservasi bukan pekerjaan individual, melainkan kerja kolektif yang melibatkan banyak aktor dan kepentingan.

Antologi 7 Rimbalis: Langkah di Belantara

Tujuh buku ini adalah bukti bahwa rimbawan tak hanya bicara lewat radio komunikasi atau rapat koordinasi. Mereka juga bisa bicara lewat tulisan. Menulis adalah cara untuk mengikat makna, mendokumentasikan kerja, menyampaikan pesan, dan memperluas jangkauan cerita.

Dengan menjadikan pengalaman rimbawan sebagai bahan baku tulisan, Rimbalis telah memperkaya khazanah literasi Indonesia dengan perspektif yang selama ini kurang terdengar. Tujuannya membangun budaya berpikir kritis, reflektif, dan penuh empati terhadap alam.

Sebagaimana kata Pramoedya Ananta Toer, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." Maka, biarlah para rimbawan menulis, agar jejak mereka tak hilang di belantara, tetapi abadi dalam lembaran kata.***

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar