Coba bayangkan, kita semua sedang duduk di sebuah kapal besar bernama Bumi. Kapalnya dulu megah, lantainya bersih, haluannya tegak, mesinnya menderu garang.
Tapi hari ini, dek kayunya mulai keropos. Air laut sudah merembes masuk dari celah yang dulu kita pikir aman. Di sisi lain, ada lubang-lubang kecil yang terus dibiarkan karena kita sibuk selfie di dek atas.
Lalu muncul satu orang berseru, "Hey! Kapal ini bocor!"
Beberapa orang menoleh, sebentar. Lalu kembali sibuk dengan gawainya.
Nah, bayangkan orang yang berseru tadi adalah para penulis lingkungan. Mereka sudah teriak sejak dulu.
Tapi karena gaya bicaranya mungkin terlalu kaku, atau karena temanya dianggap "berat", banyak yang memilih pura-pura tidak dengar. Padahal yang mereka bicarakan adalah tentang kapal yang kita tumpangi bersama.
Hari ini, isu lingkungan bukan lagi wacana absurd ala film fiksi ilmiah. Ini bukan lagi sekadar ramalan tahun 2100 yang terasa jauh. Ini kenyataan yang menampar muka kita hari-hari ini.
Lihat Jakarta yang makin sering kebanjiran. Lihat berita tentang negara kepulauan seperti Tuvalu dan Kiribati yang mulai beli lahan di negara lain karena mereka tahu suatu hari nanti, rumah mereka akan hilang ditelan laut.
Maka tugas kita sebagai penulis bukan lagi sekadar "ikut peduli." Kita harus berani menjadikan isu lingkungan sebagai arus utama (mainstream) baru di dunia kepenulisan.
Tulisan Lingkungan Itu Bisa Asyik, Kok!
Selama ini, tulisan tentang lingkungan sering diasosiasikan dengan seminar, jurnal ilmiah, atau artikel berita yang nadanya seperti ceramah penuh angka, istilah teknis, dan kalimat yang bikin takut plus dahi berkerut.
Padahal, lingkungan bukan cuma urusan para akademisi. Lingkungan adalah soal bagaimana kita hidup, makan, bernapas, dan mencintai di tengah alam yang terus berubah.
Contohnya, novel "Sialang & Tualang" karya Mutia Ramadhani. Ini bukan sekadar cerita cinta biasa. Di balik romansa dua tokohnya, ada lapisan cerita tentang dunia burung dan kerja keras menjaga ekosistem.
Ada pula "Once in a Moon," masih karya Mutia Ramadhani, sebuah novel drama-romance dengan karakter utama seorang wildlife photographer dan aktivis lingkungan.
Mereka jatuh cinta, ya. Tapi setting novelnya adalah hutan-hutan kawasan konservasi, masyarakat adat, dan satwa-satwa dilindungi.
Inilah bukti bahwa isu lingkungan bisa dibungkus dengan cerita yang menyentuh hati. Karena kenyataannya, manusia lebih mudah tersentuh oleh kisah tentang manusia lain, bukan oleh tabel data atau kurva suhu bumi.
Kenapa Harus Lewat Fiksi?
Pernahkah kamu merasa lebih tersentuh oleh cerita tentang seseorang yang kehilangan rumah karena banjir daripada membaca laporan statistik tentang perubahan iklim? Itu wajar. Karena manusia adalah makhluk yang belajar lewat cerita, bukan lewat angka.
Kita ingat kisah, bukan daftar data. Kita peduli pada tokoh, bukan pada grafik. Makanya, tulisan-tulisan yang menyentuh soal lingkungan harus masuk lewat pintu emosi, bukan sekadar logika.
Kita butuh lebih banyak novel, cerpen, film, bahkan komik yang menyelipkan isu lingkungan di dalam ceritanya.
Bayangkan, suatu saat nanti cerita tentang perubahan iklim, tentang konservasi satwa, tentang krisis air bersih, bukan lagi dianggap sebagai genre khusus. Ia akan menjadi bagian dari arus utama cerita kita sehari-hari. Sama seperti romance, thriller, atau fiksi sejarah.
Kalau sekarang tema lingkungan di fiksi itu masih dianggap "niche" alias kelompok kecil yang suka cerita tentang alam, di masa depan, kita harus mendorongnya jadi mainstream.
Kita harus bikin "hijau" itu seksi, bukan membosankan.
Analoginya begini...
Bayangkan kamu diundang ke sebuah pesta. Di sana ada dua orang yang mau ngajak kamu ngobrol soal bahaya kebocoran gas di dapur. Orang pertama datang dengan wajah serius, pakai jas rapi, ngomong pakai istilah teknis:
"Tekanan gas metana sudah melebihi ambang batas normal. Jika tidak segera ditindak, maka probabilitas ledakan akan meningkat 70% dalam waktu 48 jam."
Orang kedua datang sambil nyengir, nawarin kamu segelas kopi, lalu bilang:
"Eh, tadi aku lewat dapur, ada suara 'tssssss'. Kayaknya kompornya bocor deh. Mau kita cek bareng? Ngeri kan kalo meledak pas kita lagi seru-seruan di sini?"
Pertanyaan sederhana, kamu lebih nurut yang mana?
Jawabannya jelas, orang kedua. Alasannya ya karena kita cenderung mendengarkan orang yang bicara dengan cara yang mudah dicerna, akrab, dan masuk ke kehidupan kita sehari-hari.
Nah, inilah yang harus dilakukan oleh para penulis tema lingkungan. Kita nggak bisa terus-menerus pakai bahasa seminar. Kita harus bikin isu ini jadi obrolan sehari-hari. Lewat cerita. Lewat fiksi. Lewat karakter-karakter yang hidup dan dekat dengan pembaca.
Bukan Cuma Novel, Semua Jenis Tulisan Bisa
Nggak harus selalu novel kok. Cerita tentang lingkungan bisa dibawa ke berbagai bentuk.
Bayangkan ada dongeng tentang si Gajah Kecil yang kehilangan rumahnya karena hutan dibabat. Atau kisah tentang air sungai yang dulunya jernih, tapi sekarang berubah jadi hitam karena pabrik di hulu.
Komik
Karakter superhero bisa saja bukan cuma melawan penjahat, tapi juga menyelamatkan hutan dari illegal logging.
Artikel populer
Tulisan-tulisan ringan di media sosial, blog, atau portal berita juga bisa dibuat lebih cair, dengan analogi yang menggugah. Bukan sekadar "harus peduli", tapi "kenapa kita bakal rugi sendiri kalau cuek?"
Skenario film atau series
Bayangkan ada drama keluarga tentang konflik perebutan lahan di desa. Atau cerita tentang seorang pemuda urban yang pulang kampung dan harus memilih antara ikut perusahaan tambang atau menjaga kampungnya tetap hijau.
Semua medium ini bisa dan harus kita gunakan.
Kita Sedang Berpacu Dengan Waktu
Waktu kita tidak banyak. Perubahan iklim itu seperti kompor yang apinya sudah nyala. Kita nggak bisa lagi pura-pura bilang, "Nanti aja deh mikirnya, masih lama." Karena nyatanya, kebakaran hutan makin sering, cuaca makin ekstrem, dan krisis air bersih mulai terasa.
Kalau penulis-penulis generasi sekarang nggak mulai menyisipkan isu ini ke dalam karya-karyanya, siapa lagi yang akan melakukannya?
Menulis adalah cara kita menyentuh lebih banyak hati dibandingkan orasi. Menulis adalah cara kita menyebar pesan tanpa harus berteriak di jalan. Maka jangan ragu untuk memasukkan tema lingkungan ke dalam tulisan-tulisan kita, dengan cara yang kreatif, asyik, dan mengena.
Kita bukan aktivis yang sok suci. Kita ini adalah penumpang kapal yang pura-pura nggak lihat kalau kapal ini, bumi ini, sedang bocor. Karena pada akhirnya, saat kapal benar-benar tenggelam, semua penumpangnya akan ikut tenggelam.***