Cerpen: Misi Papua – Perang di Desa Misteri
Genre : Fiksi Militer
Written by M. Lucky Alfattih, an 8th-grade student at Al Lathif Islamic School
Edited by Ririe Aiko
Jakarta, pukul delapan pagi.
Kantin markas militer riuh oleh tawa sembilan tentara muda: Agcel si pemimpin tenang, Dani yang penuh logika, Bariq si pemberani, Rizky sang pengamat, Iqbal yang lugu, Bambang dengan humornya, Iman yang religius, Gugun yang cekatan, dan Siska—satu-satunya perempuan, tapi keberaniannya sering membuat kawan-kawannya segan. Kopi mengepul, gorengan berderet di meja, dan Bambang dengan penuh semangat mengangkat sepotong tempe mendoan kesayangannya.
Sirene mendadak meraung dari pengeras suara, menghentikan tawa mereka. “Tim Alfa-09, segera ke ruang komandan. DARURAT!”
Mereka berlari. Kolonel Suryo menunggu dengan wajah tegang.
“Kalian akan dikirim ke Papua, sebuah desa perbatasan. Ada tanda ancaman besar. Kalian harus jaga keamanan, laporkan setiap kejadian.”
Bariq mengangkat tangan, suaranya lantang, “Pak, kenapa kami? Banyak tim lain yang bisa.”
Kolonel menatapnya dalam, seolah menimbang sesuatu yang tak bisa diucapkan.
“Karena kalian… berbeda. Dan ini bukan misi biasa.”
Perjalanan panjang menembus hutan Papua terasa sunyi. Sopir mereka, Pak Slamet, yang juga ketua RT setempat, berbisik pelan, “Di sini, malam lebih panjang dari siang. Jangan pernah jawab bila ada yang memanggil namamu tengah malam.”
Ucapan itu melekat di kepala mereka. Sesampainya di desa, hawa asing langsung menyergap. Pohon bergoyang meski angin tak ada. Di tengah lapangan berdiri patung batu menyerupai wajah Bambang, seolah mengintai mereka. Ayam berkokok dini hari, membuat jam terasa tak wajar.
Siska berbisik, “Desa ini… seperti hidup dan mengawasi kita.”
Bambang mencoba bercanda, tapi tawanya terdengar kaku. “Kalau patung itu bisa ngomong, mungkin minta mendoan juga.”
---
Malam pertama, pos ronda diselimuti kabut tipis. Suara langkah samar terdengar dari hutan. Lalu, dor! Tembakan membelah udara. Agcel langsung berteriak, “Kontak senjata! Berlindung!”
Peluru berdesing, menyalak liar. Bariq yang berlari hendak melindungi Siska justru roboh terlebih dulu, dadanya ditembus timah panas. Siska berusaha menolong, tapi peluru lain menyambar tubuhnya. Darah mereka membasahi tanah basah.
“Tidakkk!” teriak Dani, wajahnya pucat.
Agcel menahan amarah, matanya berkaca-kaca namun tetap fokus.
Di markas, Kolonel Suryo menerima laporan dengan rahang mengeras. “Bertahan! Saya kirim bala bantuan dua puluh orang!” Namun ia tahu, waktu bisa berarti nyawa.
---
Dua puluh prajurit tambahan tiba, tapi belum sempat bernapas lega, desa diserbu seratus orang bersenjata lengkap. Mereka bukan warga Papua, melainkan pasukan asing yang mengincar wilayah perbatasan.
Ledakan granat mengguncang bumi. Suara rentetan senapan bercampur jeritan. Prajurit berguguran satu demi satu. Agcel berusaha tetap tenang, memberi aba-aba, namun rasa kehilangan membebani bahunya.
Rizky berbisik di balik barikade, “Aku tak takut mati… asal kalian selamat.”
Iqbal, yang paling muda, menggigil, menatap senjatanya dengan tangan gemetar. Bambang, meski ketakutan, mencoba memberi semangat dengan suaranya yang parau, “Kita pulang bareng, ya. Jangan ada lagi yang tertinggal.”
Namun nasib berkata lain. Mereka kalah jumlah. Lima anggota yang tersisa—Agcel, Dani, Rizky, Iqbal, dan Bambang—akhirnya ditangkap, tangan mereka dibelenggu, tubuh diseret ke hutan.
Kolonel Suryo tidak tinggal diam. Dengan intel cepat, ia menemukan lokasi persembunyian musuh. Seratus prajurit tambahan dikirim, menyergap dini hari. Hujan peluru dan ledakan mengguncang markas musuh. Api berkobar, bayangan musuh berguguran.
Di tengah kobaran api, lima anggota Alfa-09 berhasil dibebaskan. Mereka selamat, meski jiwa mereka terluka.
Jakarta menyambut mereka dengan duka. Peti jenazah Bariq, Siska, dan para prajurit lain diturunkan dengan upacara militer. Barisan berdiri khidmat, udara penuh tangis tertahan.
Bambang duduk di kantin markas sendirian. Di hadapannya, sepiring tempe mendoan yang dulu sempat tertunda. Ia mengambil sepotong, mengunyah perlahan. Rasanya hambar, sebab teman-temannya tak lagi duduk di sekitarnya.
Dengan suara hampir berbisik, ia bergumam, “…Akhirnya, mendoan damai.”
Hening menyelimuti ruang makan itu. Perang usai, namun bekas luka, kehilangan, dan misteri desa itu tetap hidup di dada mereka.