Kotekatalk-207: Serunya Mengajar Orang Asing dari 5 Benua Belajar Bahasa Indonesia
Lestarikan Bahasa Indonesia, Yuk! Jadi Tutor BIPA itu Unik! (Dok. Delfina/Gana)

Kotekatalk-207: Serunya Mengajar Orang Asing dari 5 Benua Belajar Bahasa Indonesia

Mulai : Sabtu, 21 Desember 2024 16:00 WIB
Selesai : Sabtu, 21 Desember 2024 16:40 WIB
Zoom
0
08
34
36
Hari Jam Menit Detik
0 Peserta Mendaftar

Hi, Koteker dan Kompasianer. Apa kabar? Masih sehat dan bahagia, bukan.

Sabtu lalu, mbak Gana Stegmann menggantikan narsum yang akan menceritakan tentang didaftarkannya Sarapan Malaysia sebagai kekayaan tak benda di UNESCO baru-baru ini. 

Mbak Gana yang tinggal di Jerman Selatan, berbatasan dengan Swiss, pergi ke St. Moritz dan bertemu dengan Syahrini. Pertemuan yang memang disengaja oleh teman baik Kompasianer of the year 2020 itu, namanya mbak Kris dari Jakarta. 

Awalnya, mbak Gana memberitahukan bagaimana mencapai kota kecil yang indah dan diminati banyak orang dari seluruh dunia. Jarak 294,1 km itu bisa ditempuh dalam waktu 3 jam 36 menit dengan mobil atau 4 jam 59  menit dengan KA dari tempat mbak Gana tinggal. Selama perjalanan memang indah sekali, di mana-mana bukit dan gunung yang tampak dilumuri tepung putih dingin aka salju. Sejauh mata memandang, sejuk rasanya. Hanya saja, macet kadang membuat kesal dan bagi yang takut masuk terowongan, bisa saja phobia. Terowongan yang dibangun di Swiss itu panjang sekali. Kalau nggak biasa lewat, pasti pengen balik saja.

Berikutnya, mbak Gana membeberkan fakta St. Moritz. Kota di dalam lembah Engedin itu memiliki danau yang kalau musim salju, beku. Orang bisa jalan-jalan di atasnya. Bahkan bisa dibuat event seperti balap kuda, polo, crciket, malam natal dan tahun baru dengan pesta kembang api. Yang terbiasa menonton film Holywood, di mana danau beku tiba-tiba retak dan pecah lalu ada orang kecemplung di dalamnya, pasti deg-deg an, ya.

Dengan ketinggian 1,822 meter di atas permukaan air laut, St. Moritz memiliki tempat yang tepat untuk main ski. Di sana pernah diadakan Winter Olympic sebanyak 2 kali, belum lagi tempat untuk balap Bop dari es asli, bukan dari material buatan manusia. Bop dari plastik atau metal, adalah permainan yang biasa dilakukan anak-anak Jerman sejak kecil. Perosotan itu dijadikan cabang olahraga yang menarik dan menantang! Nah, siapa yang suka prosotan, ke sanalah.

St. Moritz juga menjadi tempat shopping orang sedunia, mulai dari barang branded internasional sampai produk Swiss yang berkualitas dan mahallll. Yang suka romantisan, bisa keliling naik kereta kuda dengan selimut dari kulit binatang asli. Bilang saja kamu bukan Elsa, apalagi Anna.

Tujuan penulis buku "Banyak Cara Menuju Jerman" itu menuju St. Moritz lantaran diajak mbak Kris, juga untuk main ski. Walaupun orang Indonesia, di mana saljunya cuma di puncak Jaya Wijaya di Papua (yang konon, melumer karena global warming) itu bertekat bahwa orang Asia tetap harus mau dan bisa main ski. Awalnya jadi Olaf, karena jatuh terus dan dari kepala sampai kaki jadi putih semua. Akhirnya, meluncurrrr. Adegan bagaimana ia bermain ski ditayangkan melalui akun instagramnya. Seru!!! Siapa bilang orang Indonesia nggak bisa?

Seperti yang disentil dari awal bahwa mbak Gana dan mbak Kris beserta keluarga kopdar dengan Syahrini yang sedang berlibur ke Swiss bersama sekretarisnya. Waktu itu masih single. Alasan lainnya karena ingin merayakan ultah mbak Gana bersama orang yang disayangi di tempat yang indah dan menarik.

Kesan bagaimana 1 cm duduk dan ngobrokl bareng artis sekondang Syahrini itu 1001. Di APT mbak Kris, mbak Gana masak Indomie, Udang, Kerupuk dan nasi untuknya yang lapar karena hawa dingin. Setelahnya, shopping jaket dan sepatu moon boot bersama Syahrini. Disambung malamnya, dinner di Hotel Badrutt.

Pengalaman yang nggak bakalan hilang di memori guru di Sekolah gabungan Jerman itu, diharap menginspirasi semua yang hadir. 

Dari Swiss, Komunitas Traveler Kompasiana dan Pesanggrahan Indonesia e.V mengajak kalian kembali ke tanah air. Edisi "Wonderful Indonesia" kali ini akan meyakinkan kita bahwa kekayaan bahasa kita, yakni Bahasa Indonesia menjadi satu potensi yang luar biasa dalam soft diplomacy. Adalah kak Delfina Y Djamaludin. Pengajar BIPA (Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asli) itu lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang FIB) tahun 1994. Anak pertama dari Bapak Djamaluddin dan ibu Maimunah itu memilih belajar Bahasa Indonesia lagi karena nilai di sekolah lebih rendah dibanding bahasa asing lainnya seperti Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman. 

Siapa sangka bahwa ini adalah pilihan tepat dalam hidup. Nggak terasa sudah 30 tahun ia mengabdi menjadi pengajar Bahasa Indonesia bagi orang asing dari 5 benua. Pengalaman luar biasa ini dibukukan dalam "Tutor BIPA Itu Unik."

Mengapa ia memutuskan untuk membukukan pengalamannya? Bagaimana proses penulisan dan pencetakannya? Bagaimana marketingnya? Bagaimana tanggapan pembaca tentang buku ini? Bagaimana mendapatkan bukunya? Dari mengajar orang asing dari 5 benua, apa hambatannya? Ada pengalaman tak terlupakan selama mengajar? Orang mana yang mudah mempelajari Bahasa Indonesia? Berapa bea kursusnya? Indonesia memiliki 250 juta penduduk, yang menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan selain bahasa etnis masing-masing. Bahasa Indonesia yang merupakan cabang dari Bahasa Melayu, digunakan di Asia Tenggara (Malaysia, Singapura, Brunai). Apakah Bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa pergaulan di dunia?

Untuk tahu jawabannya, ngobrol bareng kak Delfina pada:

  • Hari/Tanggal: Sabtu, 21 Desember 2024
  • Pukul: 16.00 WIB Jakarta/ 10.00 CET Berlin.
  • Link: DI SINI

"Ke Bogor jangan lupa mampir ke istana. Di Bogor ada bunga Raflesia. Bersama Komunitas Traveler Kompasiana, kita bangkitkan pariwisata Indonesia" (Menparekraf RI Sandiaga Uno dalam Kotekatalk-83, 2 April 2022).

Semoga dengan semakin menyala-nya Bahasa Indonesia, akan semakin banyak turis asing yang berbondong-bondong ke tanah air, tak hanya menikmati keindahan dari Sabang sampai Merauke, namun juga mendalami Bahasa Indonesia. Ini juga menjadi peringatan kita, jangan sampai anak cucu kita di Indonesia nggak bisa Bahasa Indonesia, karena lebih menggunakan bahasa asing lain seperti Bahasa Inggris. Kesannya memang keren, tapi pelestarian bahasa negeri kita sangat penting. Mari mendukung para pengajar BIPA.

Sampai jumpa Sabtu.

Salam Koteka. (GS)

 

0 Peserta Mendaftar


Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar