Kalau kita bicara tentang sampah plastik, logam, kertas, atau kaca, kita sering punya harapan bahwa sebagiannya bisa didaur ulang. Tapi ada satu jenis sampah yang jauh lebih rumit nasibnya, bahkan hampir mustahil diproses kembali, yaitu SAMPAH KATA-KATA.
Coba bayangkan begini. Setiap hari, kita dicekoki ribuan kata, mulai dari iklan di pinggir jalan, caption influencer di Instagram, artikel berita, sampai poster kampanye politik. Di antara semua kata itu, ada yang isinya tulus, ada yang mencerahkan, tapi ada juga yang kosong, atau bahkan menipu.
Dan masalahnya, kata-kata yang kosong atau menipu itu gak bisa begitu saja hilang. Ia menempel, jadi persepsi, membentuk opini publik, dan akhirnya memengaruhi cara kita memperlakukan alam.
Nah, kali ini Rimbawan Menulis mau ajak kamu ngobrol panjang tentang kata-kata yang tak bisa didaur ulang. Terutama kata-kata yang kelihatannya hijau, ramah lingkungan, penuh janji manis, tapi ternyata cuma pemanis alias greenwashing.
Kata Hijau yang Gak Selalu Hijau
Kalau dengar kata “ramah lingkungan," apa yang muncul di kepalamu? Mungkin kamu membayangkan botol minum stainless, tote bag kain, atau perusahaan yang katanya “pakai energi terbarukan." Begitu kan?
Masalahnya, gak semua kata “hijau” itu beneran hijau. Banyak brand atau institusi yang sengaja memoles diri dengan bahasa yang manis. Mereka tahu orang makin sadar isu lingkungan, jadi istilah “green” “eco-friendly” atau “sustainable” dipakai kayak bedak tipis menutupi jerawat. Hasilnya? Konsumen tenang, perusahaan untung, tapi alam? Tetap babak belur.
Contoh gampang deh, pernah lihat botol plastik sekali pakai dengan label besar “100% recyclable”?
Kesannya bagus, kan? Padahal faktanya, di Indonesia angka daur ulang plastik masih rendah banget, sekitar 9–10% saja menurut data Kementerian Lingkungan Hidup. Jadi, meski botolnya bisa didaur ulang, apakah ia benar-benar akan didaur ulang? Besar kemungkinan tidak.
Kata-kata “recyclable” di sini akhirnya jadi kayak janji palsu. Dan janji palsu, kalau diucapkan berjuta kali, lama-lama orang percaya. Itulah kata-kata yang gak bisa didaur ulang. Kata itu meninggalkan residu kebohongan di kepala kita.
Kata Bisa Jadi Solusi, Bisa Jadi Polusi.
Ada satu kalimat yang ngena banget, “Language shapes reality.” Bahasa membentuk kenyataan. Kedengarannya klise, tapi coba deh lihat sekeliling.
Kalau sebuah perusahaan besar bilang mereka “menuju net-zero emission 2060," masyarakat bisa merasa, "Oh, oke, mereka sedang berusaha, jadi kita tenang aja." Padahal target 2060 itu bisa jadi cuma trik menunda kewajiban, karena realitanya bumi butuh aksi lebih cepat. Kata-kata di sini jadi semacam polusi, bikin kabur urgensi.
Sebaliknya, kata-kata juga bisa jadi solusi. Misalnya, ketika sebuah komunitas lokal di Kendeng bilang, “Gunung bukan hanya batu, tapi ibu yang memberi air.” Benar, itu adalah bahasa yang menyadarkan kita bahwa alam bukan benda mati yang bisa dieksploitasi seenaknya. Kata-kata semacam ini mengubah cara pandang, memberi makna baru, dan memengaruhi tindakan.
Jadi, kata-kata itu kayak dua sisi mata uang, yaitu bisa menyelamatkan, bisa juga menyesatkan.
Greenwashing: Cat Hijau di Atas Luka Alam
Kalau ngomongin greenwashing, sebenarnya istilah ini udah lama muncul. Intinya adalah menjual citra ramah lingkungan padahal praktiknya gak konsisten.
Contoh global:
- Maskapai penerbangan yang promosi “carbon neutral flight” karena mereka beli carbon offset, padahal tetap bakar jutaan liter avtur tiap hari.
- Brand fast fashion yang bikin “eco collection” dari bahan daur ulang, padahal lini produksi utamanya tetap boros energi dan menghasilkan limbah besar.
- Hotel-hotel yang taruh kartu “hemat air, gunakan handuk kembali demi bumi," tapi di balik itu mereka tetap bangun resort besar yang merusak ekosistem pesisir.
Contoh lokal di Indonesia juga gak kalah banyak:
- Perusahaan tambang yang bikin iklan tentang program “tanam seribu pohon," padahal di sisi lain mereka buka ribuan hektare hutan.
- Pabrik sawit yang promosi “sawit berkelanjutan” dengan sertifikat tertentu, tapi faktanya masih ada konflik lahan dengan masyarakat adat.
Semua ini menunjukkan kesan cat hijau bisa menutupi luka alam, tapi gak menyembuhkan. Dan sering kali, justru bikin kita terlena.
Kata-kata greenwashing ini mirip sampah plastik sekali pakai. Sekali keluar, ia beredar ke mana-mana, mulai dari diiklankan di TV, diulang di media sosial, ditulis di brosur. Bedanya, kalau plastik bisa (meski jarang) didaur ulang, kata-kata menipu ini hampir mustahil ditarik kembali.
Misalnya, sebuah perusahaan menulis “produk kami 100% ramah lingkungan” di billboard raksasa. Setelah bertahun-tahun, meski mungkin kebijakan perusahaan berubah, banyak orang tetap terlanjur percaya klaim awal itu. Kesadaran publik sudah terbentuk, dan susah banget mengubahnya.
Itu sebabnya disebut “kata-kata yang tak bisa didaur ulang." Ia jadi sampah abadi di kesadaran kita.
Bagaimana Menulis Tanpa Merusak Makna Alam?
Kamu pernah dengar cerita tentang tote bag? Katanya tote bag itu eco-friendly, karena bisa dipakai berulang. Tapi ternyata, menurut studi dari Denmark, sebuah tote bag katun baru bisa mengimbangi dampak produksi plastik sekali pakai setelah dipakai ribuan kali.
Artinya apa? Kalau kita tiap tahun beli tote bag baru dengan label “save the earth," padahal jarang dipakai, kita justru menciptakan masalah baru. Nah, kata-kata “save the earth” di tote bag itu berubah jadi polusi kata. Ia memberi kesan bahwa kita sudah cukup berkontribusi, padahal belum tentu.
Nah, kalau gitu, gimana caranya biar kata-kata kita gak jadi polusi, tapi jadi solusi? Berikut beberapa prinsip yang harus kamu pegang sebagai penulis.
1. Jujur pada fakta
Kalau kamu menulis tentang kampanye lingkungan, hindari klaim bombastis. Misalnya, jangan bilang “produk kami nol emisi” kalau kenyataannya baru mengurangi sedikit.
Lebih baik bilang, “kami baru di tahap awal, tapi berkomitmen mengurangi sekian persen.”
2. Gunakan bahasa yang membumi
Daripada pakai jargon-jargon keren tapi kosong, coba pakai bahasa sederhana yang nyambung dengan pengalaman sehari-hari. Misalnya, “kalau sungai kotor, anak-anak gak bisa main lagi di situ.” Itu lebih ngena daripada sekadar “jaga kualitas air.”
3. Berikan ruang untuk suara lokal
Kata-kata paling otentik sering datang dari masyarakat yang hidup langsung dengan alam. Cerita petani, nelayan, atau masyarakat adat punya kekuatan besar, karena mereka bicara dari pengalaman, bukan dari laporan PR.
4. Sadari bahwa kata punya dampak panjang
Sekali kita menulis atau mengucapkan klaim tertentu, ia bisa beredar luas. Jadi sebelum menulis, tanya dulu ke diri kita, "kata ini akan jadi solusi, atau polusi?"
Menulis Ekologi Punya Tanggung Jawab Moral
Sebagai penulis, apapun bentuknya, entah jurnalis, blogger, atau content creator, kita punya tanggung jawab moral. Kata-kata yang kita keluarkan bisa jadi senjata, bisa juga jadi pelindung.
Menulis ekologi itu bukan sekadar memilih kata indah seperti “hijau” “lestari” atau “alam permai." Kamu harus memastikan bahwa kata itu gak jatuh jadi polusi. Karena begitu kata “hijau” dipakai untuk menutupi perusakan, ia kehilangan makna aslinya.
Kalau kita biarkan ini terus terjadi, kata-kata indah tentang alam akan jadi mirip plastik sekali pakai yang melimpah, tapi beracun.
Alam rusak bukan cuma karena gergaji mesin, buldoser, atau asap pabrik, tapi juga karena kata-kata. Kata yang memanipulasi, kata yang memoles, kata yang mengaburkan.
Kalau kata-kata bisa merusak, maka kata-kata juga bisa menyembuhkan. Dan tugas kita, sebagai penulis atau pembicara, adalah memilih kata yang bisa menyembuhkan.
Jangan sampai tulisan kita jadi polusi. Mari menulis tanpa merusak makna alam. Mari gunakan kata-kata yang bisa jadi jembatan, bukan jadi sampah yang tak bisa didaur ulang.***