Oleh: A. Rusdiana
Dalam era di mana informasi mudah diperoleh melalui internet, buku, slide kuliah, dan catatan teman seringkali kita terjebak pada proses belajar yang bersifat hafalan: merekam ulang fakta, definisi, teori, atau argumen orang lain tanpa benar-benar memprosesnya. Padahal, menurut penelitian tentang menulis sebagai alat berpikir, aktivitas menulis jauh melampaui sekadar merekam: menulis dapat “membebaskan” pemikiran dari belenggu hafalan.
Teori pendidikan konstruktivisme menjelaskan bahwa pembelajaran sejati terjadi saat individu membangun pemahaman sendiri melalui refleksi, bukan hanya menerima secara pasif apa yang sudah ada. Dengan demikian, ketika mahasiswa atau anggota komunitas menulis menyusun argumen, mempertanyakan asumsi, menghubungkan dengan pengalaman pribadi mereka bukan hanya menghafal, melainkan berpikir, dan dengan demikian memperoleh kebebasan intelektual.
Namun dalam kenyataannya, banyak tugas menulis di kultur akademik atau komunitas masih bersifat “tuliskan ulang poin-poin dari referensi” atau “hafalkan dan cetak ulang”. Akibatnya, meskipun secara formal kita menulis, namun secara substansi pemikiran tak bergerak: kebebasan intelektual tertahan. Maka muncul gap antara potensi menulis sebagai alat pembebasan pemikiran dan praktik menulis yang masih sebagai hafalan.
Melalui komunitas PBB (yang berdiri sejak 16 September 2025 dan telah merekrut 1.168 anggota per 20 Oktober 2025), salah satu misi penting adalah: menulis tidak hanya sebagai kewajiban, tetapi sebagai sarana aktifitas intelektual yang membebaskan. Fokus tulisan ini: Menulis Membebaskan Pemikiran dari Hafalan bagaimana tiga pembelajaran mendalam terkait hal itu dapat menggerakkan komunitas menulis PBB agar terus aktif dan berkembang. Berikut tiga Pembelajaran Mendalam:
Pertama: Menulis Menjadi Proses, Bukan Produksi Hafalan; Menulis -- ketika hanya dipandang sebagai “hasil” atau “produk” yang harus menyerupai referensi -- cenderung menghasilkan hafalan: kita mengambil, mengulang, mencetak ulang, dan selesai. Sebaliknya, ketika menulis diposisikan sebagai proses berpikir, maka muncul ruang untuk refleksi, reorganisasi ide, dialog internal: kita menulis, kemudian memeriksa; kita menghubungkan dengan pengalaman; kita mempertanyakan. Studi menunjukkan bahwa aktivitas menulis secara aktif meningkatkan kapasitas berpikir kritis dan kreativitas: “Writing as a thinking tool” menjelaskan bahwa menulis bukan sekadar merekam tetapi memproses. Untuk komunitas PBB, ini berarti tugas menulis komunitas harus dirancang agar bukan hanya “copy dari referensi”, tapi lebih: “Apa yang kamu pikirkan tentang ini?”, “Bagaimana pengalamanmu?”, “Apakah ada asumsi yang ingin kamu pertanyakan?”. Dengan demikian anggota terlibat aktif dan merasa bahwa menulis adalah ruang kebebasan intelektual, bukan sekadar kedisiplinan akademik.
Kedua: Menulis Menghubungkan Ide dengan Pengalaman dan Konteks Nyata; Hafalan memisahkan ide dari kehidupan nyata: kita menghafal teori, konsep, argument namun seringnya tidak menghubungkannya dengan pengalaman, lingkungan, konteks kita. Padahal, ketika menulis, dengan mengaitkan ide dengan pengalaman pribadi atau komunitas, kita memberi makna dan relevansi bagi pemikiran kita. Penelitian neuroplastisitas menunjukkan bahwa menulis yang melibatkan refleksi dan koneksi ide membantu “menyusun kembali” jalur pemikiran dan memperkuat pemahaman.
Dalam konteks PBB, pembelajaran ini bisa diaktifkan dengan mendorong anggota melakukan tulisan semisal “Bagaimana topik ini muncul dalam keseharian saya?”, “Apa yang saya pertanyakan?”, “Bagaimana ide ini saya praktekkan atau saya saksikan di lingkungan saya?” Hal ini akan mengubah aktivitas menulis dari hafalan menjadi pemaknaan dan memunculkan keberanian intelektual untuk berpikir berbeda dan menyuarakan pandangan sendiri.
Ketiga: Menulis Memupuk Kebiasaan Berpikir Mandiri dan Kritik Internal; Ketika kita terus-menerus hanya menghafalkan, maka kebiasaan berpikir mandiri melemah: kita menjadi pasif penerima, bukan aktif penyeleksi atau pembentuk ide. Padahal, menulis mendorong kita untuk: mempertanyakan asumsi (baik dari referensi maupun dari diri sendiri), memilih mana yang relevan, dan menyusun argumen yang masuk akal secara mandiri. Menurut riset, kegiatan menulis ekspresif juga membantu membebaskan kapasitas memori kerja dengan mengurangi pikiran-intrusif, sehingga memberi ruang bagi berpikir kritis. Dalam komunitas PBB, misi ini bisa diterjemahkan menjadi: aktivitas menulis yang tidak hanya selesai setelah draft pertama, tetapi melalui revisi, peer-review antar anggota, diskusi komunitas, refleksi ulang sehingga menjadi kebiasaan berpikir mandiri. Anggota bukan hanya menulis artikel tapi “menjadi penulis yang memikirkan apa yang ditulisnya” dengan demikian komunitas tumbuh sebagai ruang intelektual bersama, bukan hanya kumpulan penulis yang saling memberi tautan.
Menulis dalam Kompasiana, bila diarahkan dengan tepat, memiliki potensi besar untuk membebaskan pemikiran dari belenggu hafalan dan mendorong kebebasan intelektual yang sesungguhnya. Dari tiga pembelajaran di atas, kita melihat bahwa menulis adalah: proses berpikir (bukan hanya produknya), jembatan antara ide dan pengalaman nyata, serta sarana membangun kebiasaan berpikir mandiri dan kritis.
Rekomendasi agar misi “menulis membebaskan pemikiran dari hafalan” benar-benar terwujud: 1) Tantangan menulis mingguan atau bulanan yang memuat prompt reflektif seperti: “Apa asumsi yang saya temui dalam topik X?”, “Bagaimana topik ini berkaitan dengan pengalaman saya?”, “Argumen apa yang ingin saya bangun/pertanyakan?”, 2) Sesi peer-review antar anggota: bukan sekadar memeriksa tata bahasa, tetapi diskusi: “Bagaimana gagasan ini bisa diperdalam?”, “Apa yang belum saya pikirkan?”, sehingga menulis menjadi dialog intelektual; 3) Galeri karya atau publikasi komunitas: memamerkan tulisan terbaik anggota, sekaligus mengundang komentar dan kritik membangun sehingga anggota merasa bahwa menulis mereka dibaca, dihargai, dan memancing pemikiran lanjut; 4) Workshop atau webinar singkat: tentang “menulis sebagai berpikir”, “cara menghubungkan ide dengan pengalaman”, “mengubah tulisan dari hafalan menjadi refleksi/argumen”, sehingga anggota punya pemahaman teoretis sekaligus praktik; 5) Sistem penghargaan atau pengakuan: bukan sekadar kuantitas (berapa tulisan), tetapi kualitas: seberapa tulisan itu memuat refleksi, asumsi dipertanyakan, konteks digarisbawahi. Hal ini akan menumbuhkan motivasi menulis bukan sebagai kewajiban, tetapi sebagai kebebasan intelektual.
Dengan demikian, ketika komunitas PBB bertambah tidak sekadar dari angka 1.168 anggota (per 20 Oktober 2025) tetapi menjadi komunitas aktif menulis dan berpikir maka kita bukan hanya merayakan pertumbuhan kuantitas, tetapi pertumbuhan kualitas pemikiran kolektif. Semoga menulis di PBB bukan hanya “menghafal yang sudah ada”, tetapi “membebaskan apa yang mungkin saja belum terpikirkan”.
Wallahu a’lam.