Menulis: Dialog Pikiran atau Monolog Keheningan?

2025-10-18 01:39:00 | Diperbaharui: 2025-10-18 01:40:39
Menulis: Dialog Pikiran atau Monolog Keheningan?
Caption Sumber: Ilustrasi: Image by vectorjuice on Freepik

 

Menulis: Dialog Pikiran atau Monolog Keheningan?

Oleh: A. Rusdian

Satu bulan sudah Pena Berkarya Bersama (PBB) hadir di ruang maya. Dari nol menjadi 1.100 anggota bukan sekadar angka, melainkan tanda bahwa semangat berbagi gagasan masih hidup. Tapi pertanyaannya: apakah kita menulis untuk bicara sendiri, atau untuk membuka percakapan yang menumbuhkan? Bagi sebagian penulis muda, menulis masih dipahami sebagai ruang curhat atau unjuk diri. Padahal, tulisan yang baik justru membuka pintu bagi ide lain untuk datang, menantang, dan memperkaya. Inilah makna mendalam dari menulis sebagai dialog proses di mana penulis tidak hanya berbicara, tetapi juga belajar mendengar. Berikut tiga Pembelajaran dari Menulis sebagai Dialog:

Pertama: Menulis Adalah Pertemuan Pikiran

Tulisan bukan ruang sepi, melainkan meja diskusi tanpa batas. Saat seseorang menulis opini di PBB, ia mengundang pembaca untuk duduk bersama dalam ruang gagasan. Setiap komentar, tanggapan, atau bahkan sanggahan adalah tanda bahwa tulisan itu hidup. Penulis sejati bukan yang ingin selalu benar, melainkan yang siap berdialog dengan perbedaan.

Kedua: Dosen dan Pembaca sebagai Mitra, Bukan Hakim

Dalam pendidikan, dosen sering dianggap sebagai “penentu nilai.” Namun, dalam ekosistem menulis bermakna, dosen dan pembaca justru berperan sebagai fasilitator dialog intelektual. Mereka menantang argumen bukan untuk menjatuhkan, melainkan mengasah. Seperti api yang menempa logam, dialog menguatkan gagasan dan karakter penulis muda agar tidak rapuh terhadap kritik.

Ketiga: Komunitas Menulis sebagai Ekosistem Belajar Kolektif

Komunitas seperti Pena Berkarya Bersama lahir bukan hanya untuk menampung tulisan, tapi untuk membangun kebersamaan dalam berpikir. Setiap anggota yang menulis, membaca, dan mengomentari sedang berlatih menjadi warga literasi mereka yang percaya bahwa perubahan besar dimulai dari kata yang jujur dan dialog yang terbuka.
Semakin banyak anggota bukan berarti sekadar “ramai,” tetapi semakin luas ruang untuk tumbuh bersama. Mungkin tujuan PBB bukan mencari jumlah, tapi makna. Komunitas bertambah agar gagasan makin berlipat, bukan sekadar bertumpuk. Wallahu A’lam.

Singkat kata, menulis sebagai dialog berarti siap mendengar sebelum didengar, belajar sebelum mengajar, dan berbagi sebelum dipuji. Jika setiap anggota PBB menulis dengan semangat dialog, maka satu bulan pertama hanyalah awal. Karena sejatinya, menulis bukan tentang siapa yang paling pandai berkata, tapi siapa yang paling ikhlas berbagi makna. Teruslah menulis, bukan untuk membungkam sepi, tapi untuk menyapa sesama.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar