Oleh: A. Rusdiana
Semester Ganjil Tahun Akademik 2025/2026 di UIN Sunan Gunung Djati Bandung menjadi laboratorium kolaborasi akademik lintas strata. Sejak 1 September hingga 19 Desember 2025, mata kuliah seperti Metode Penelitian (S1), Manajemen Sumber Daya Pendidikan, dan Sistem Informasi Manajemen Pendidikan (S2) diarahkan untuk menulis esai berbasis template dan mempublikasikannya di dua media daring: Berita Disdik (bahasa Indonesia) dan Kompasiana (bahasa Inggris).
Tujuannya sederhana tapi bermakna: menjadikan penulisan sebagai bentuk kolaborasi, bukan sekadar tugas. Namun dalam praktiknya, perbedaan kualifikasi akademik antara dosen, mahasiswa S2, dan mahasiswa S1 sering menimbulkan ketimpangan dalam gaya berpikir dan kecepatan adaptasi. Di sinilah muncul konsep Mind Match dan Adaptasi Kolaboratif, yaitu kemampuan menyamakan ritme dan visi di tengah perbedaan tingkat pendidikan, usia, serta pengalaman.
Teori community of practice dari Wenger (1998) menjelaskan bahwa pembelajaran sejati terjadi ketika komunitas saling berbagi praktik dan nilai. Sementara Vygotsky (1978) menegaskan pentingnya interaksi sosial dalam membentuk zone of proximal development. Dalam konteks akademik, mind match adalah proses menyatukan cara pandang agar perbedaan kualifikasi tidak menjadi tembok, melainkan jembatan.
Pepatah Arab mengatakan: “Man lam yata‘allam fi á¹£igharihi lam yatafaqqah fi kibarihi” siapa yang tidak belajar di masa mudanya, akan sulit memahami di masa tuanya. Kolaborasi lintas strata justru mempercepat tafaqquh, saling belajar antar generasi.
Tulisan ini bertujuan menegaskan tiga pembelajaran penting dari praktik kolaborasi akademik antara kelas dan Kompasiana, terutama melalui komunitas Pena Berkarya Bersama (PBB) yang berdiri sejak 16 September 2025 dan kini sudah beranggotakan 1002 orang sampai saat ini. Berikut tiga Pilar Pembelajaran dari Mind Match dan Adaptasi Kolaboratif:
Pilar Pertama: Mind Match sebagai Fondasi Kolaborasi Akademik; Kolaborasi inter-strata menuntut kesediaan menurunkan ego akademik. Seorang mahasiswa S2 tidak otomatis lebih “benar” daripada mahasiswa S1, sebagaimana dosen tidak selalu menjadi sumber tunggal kebenaran. Mind match berarti kesediaan menyesuaikan ritme berpikir: yang lebih tinggi membantu, yang lebih rendah menghargai.
Dalam konteks perkuliahan berbasis template esai di LMS, mind match terlihat ketika mahasiswa S2 menjadi pembaca awal atau penyunting bagi tulisan mahasiswa S1 sebelum dipublikasikan di Kompasiana. Proses ini tidak hanya memperkuat kualitas tulisan, tetapi juga menumbuhkan kepekaan literasi akademik. Inilah kolaborasi sejati bukan tentang siapa yang lebih pintar, tetapi siapa yang lebih terbuka untuk belajar.
Pilar Kedua: Adaptasi Kolaboratif di Era Digital dan Komunitas PBB; Komunitas Pena Berkarya Bersama (PBB) lahir sebagai ruang latihan adaptasi kolaboratif. Dalam tiga minggu sejak berdiri (16 September–14 Oktober 2025), PBB sudah menjadi wadah 974 penulis lintas strata: dosen, mahasiswa, dan alumni. Adaptasi kolaboratif di sini berarti menyesuaikan gaya komunikasi, waktu, dan platform.
Bagi dosen, menulis di Kompasiana adalah latihan merendahkan bahasa ilmiah menjadi populer. Bagi mahasiswa, ini kesempatan menaikkan standar gagasan menjadi argumentatif dan komunikatif. Mind match di komunitas ini hadir bukan karena perintah, melainkan kesadaran bersama untuk tumbuh. Itulah bentuk social learning nyata yang menembus sekat ruang kuliah.
Pilar Ketiga: Branding Akademik melalui Kolaborasi Publikasi; Kolaborasi akademik tidak berhenti di ruang kelas, ia harus meninggalkan jejak digital. Menulis di Kompasiana atau media publik lain menjadi bentuk academic branding yang relevan dengan era 5.0. Dalam perspektif Job Demand–Resources Theory, aktivitas ini memperkuat work engagement karena dosen dan mahasiswa sama-sama merasakan nilai kerja akademik mereka.
PBB menjadi wadah untuk membangun identitas ilmiah melalui karya tulis. Setiap tulisan bukan sekadar produk, tetapi cermin kemampuan reflektif, adaptif, dan komunikatif. Ketika dosen dan mahasiswa menulis bersama, mereka sedang menghapus batas antara “pengajar” dan “pembelajar.”
Mind match dan adaptasi kolaboratif adalah dua sisi mata uang dalam kolaborasi inter-strata. Tanpa keduanya, kolaborasi hanya menjadi formalitas administratif. Dosen perlu membuka ruang mentoring kreatif, mahasiswa perlu membangun keberanian berpendapat, dan lembaga akademik perlu memfasilitasi publikasi lintas strata sebagai bagian dari kurikulum literasi nasional.
Kompasiana dan komunitas PBB telah membuktikan bahwa media sosial dapat menjadi ruang latihan berpikir akademik yang egaliter asal ada kesediaan untuk beradaptasi dan berkolaborasi.
Dari kelas ke Kompasiana, dari individu ke komunitas kolaborasi akademik sejati lahir ketika pikiran disamakan, bukan diseragamkan. Mind match adalah jantung adaptasi kolaboratif: ia membuat kita tidak hanya menulis bersama, tetapi juga tumbuh bersama dalam kesadaran ilmiah dan sosial.
Pada hakikatnya, kekuatan mind match akademik tergantung pada tujuan. Di kelas, kekuatan utamanya adalah pada pemahaman materi yang terstruktur dan validasi pengetahuan melalui interaksi langsung dengan dosen dan rekan mahasiswa, ideal untuk pembelajaran mendalam. Di Kompasiana, kekuatannya terletak pada kemampuan untuk mengomunikasikan gagasan secara luas kepada publik, menjembatani dunia akademik dengan dunia nyata dan memungkinkan validasi gagasan secara lebih luas. Wallhu A'lam.