
Oleh: A. Rusdiana
Semester Ganjil Tahun Akademik 2025/2026 resmi dimulai sejak 1 September hingga 19 Desember 2025. Di kelas S1, mata kuliah Metode Penelitian menugaskan mahasiswa menulis esai berbasis templet; di S2, tugas serupa hadir dalam Manajemen Sumber Daya Pendidikan dan Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Menariknya, semua tugas tersebut dipublikasikan di dua media daring: Mo.BeritaDisdik (Bahasa Indonesia) dan Kompasiana (Bahasa Inggris).
Fenomena ini melahirkan gerakan menulis lintas strata yang kemudian bertransformasi menjadi komunitas Pena Berkarya Bersama (PBB) didirikan pada 16 September 2025 dan kini telah memiliki 974 anggota (per 14 Oktober 2025). Komunitas ini mempertemukan mahasiswa S1, S2, S3, serta dosen dari berbagai perguruan tinggi untuk saling berbagi gagasan, memperkuat jejaring, dan mengasah soft skills global melalui publikasi terbuka. Secara teori, Etienne Wenger (1998) menyebutnya sebagai community of practice ruang belajar kolektif berbasis praktik nyata. Sementara Vygotsky (1978) menjelaskan bahwa social learning terjadi ketika pembelajaran dibangun melalui interaksi sosial dan kolaborasi lintas tingkat kemampuan.
Dari sisi psikologi kerja, teori Job Demand–Job Resources (JD-R) menegaskan bahwa aktivitas menulis dan berbagi gagasan dapat meningkatkan work engagement karena memperkuat academic branding dan keterlibatan sosial.
Sebagaimana sabda Nabi ï·º, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari). Maka, penguatan jejaring akademik melalui menulis menjadi salah satu cara menjaga keahlian tetap hidup dan relevan.
Tulisan ini bertujuan memaknai pentingnya menulis sebagai penguatan jejaring akademik, dengan menggambarkan tiga pilar pembelajaran yang kini menjadi ciri khas gerakan literasi di komunitas Pena Berkarya Bersama (PBB). Beikut Tiga Pilar Pembelajaran Menulis Penguatan Jejaring Akademik:
Pilar Pertama: Menulis sebagai Jembatan Lintas Strata Akademik; Kegiatan menulis di Kompasiana mempertemukan mahasiswa dari berbagai jenjang dalam satu ruang belajar terbuka. Mahasiswa S1 belajar menulis dengan panduan kakak tingkat, sementara mahasiswa S2 dan S3 berperan sebagai mentor literasi dan pembimbing reflektif.
Interaksi ini melahirkan mind match kesesuaian pola pikir, etos, dan semangat belajar. Kolaborasi lintas jenjang ini memperluas cara pandang akademik sekaligus menumbuhkan kepekaan sosial. Dalam konteks community of practice, menulis menjadi medium pembentukan identitas profesional sejak dini.
Pilar Kedua: Kompasiana sebagai Ruang Validasi Akademik Publik; Berbeda dengan tugas kampus yang hanya dibaca dosen, tulisan di Kompasiana terbuka bagi publik. Setiap artikel mendapat umpan balik dari pembaca lintas profesi guru, dosen, bahkan jurnalis. Inilah bentuk peer validation yang nyata. Melalui proses ini, mahasiswa belajar mempertanggungjawabkan gagasan secara terbuka. Mereka mengasah critical thinking, literasi digital, dan kemampuan komunikasi ilmiah lintas budaya. Kompasiana berperan sebagai “laboratorium akademik publik” di mana nilai tidak hanya dinilai oleh dosen, tetapi diuji oleh masyarakat.
Pilar Ketiga: Komunitas Pena Berkarya Bersama sebagai Inkubator Literasi Akademik; Komunitas Pena Berkarya Bersama (PBB) adalah wadah penghubung antara kampus dan dunia publikasi digital. Dalam tiga minggu, PBB berhasil menjadi pusat aktivitas akademik berbasis karya: mentoring harian, peer review, dan publikasi kolaboratif.
Gerakan ini bukan hanya memperkuat soft skills global, tetapi juga menanamkan budaya akademik terbuka yang sesuai dengan arah Gerakan Literasi Nasional (GLN) dan semangat Merdeka Belajar. Di sini, menulis bukan sekadar memenuhi tugas, melainkan kontribusi sosial dan profesional bagi bangsa.
Menulis di Kompasiana memperluas makna belajar. Kelas memberi struktur, tapi ruang publik memberi keberanian. Melalui jejaring akademik digital, mahasiswa dan dosen tidak hanya bertukar ilmu, tetapi juga membangun reputasi, karakter, dan solidaritas ilmiah. Rekomendasi: 1) Bagi dosen, dorong mahasiswa menulis secara reflektif dan terbuka; 2) Bagi mahasiswa, jadikan publikasi sebagai bagian dari perjalanan akademik, bukan akhir dari tugas; 3) Bagi lembaga pendidikan, integrasikan platform publikasi seperti Kompasiana sebagai media academic branding dan penguatan jejaring profesional.
Kelas mungkin berakhir dalam satu semester, tetapi jejaring akademik hidup seumur karier. Ketika mahasiswa, dosen, dan komunitas menulis bersama, mereka sesungguhnya sedang membangun ekosistem pengetahuan yang inklusif dan berkelanjutan. Menulis bukan hanya soal siapa yang pandai berkata, tetapi siapa yang berani berbagi. Dan di titik inilah, Kompasiana menjadi ruang baru bagi lahirnya jejaring akademik yang kuat dan bermakna. Wallahu, A’lam.