BENARKAH MENULIS LEBIH BERAT DARI MENGAJAR? PELAJARAN MORALNYA
(Menulis Menjadi Latihan Moral: Integritas, Kesabaran, Kejujuran)
Oleh: A. Rusdiana
Pada era ketika setiap orang dapat mengunggah pendapat dalam hitungan detik, menulis justru semakin menuntut kedalaman moral. Hari Guru 2025, HUT KORPRI, dan Hari Jadi KMC Galuh Taruna ke-46 yang jatuh pada 4 Desember kembali mengingatkan kita pada satu kata kunci: teladan. Di ruang kelas S2 MPI III/D tadi pagi, ketika 165 mahasiswa sedang menyelesaikan jurnal sebagai tugas akhir riset mini, satu pertanyaan bergema: apakah menulis hanya kerja akademik, atau justru latihan karakter? Fenomena sederhana dalam sebuah WAG (30/11/2025, pukul 22.22) curhat seorang teman bernama Dewi menguatkan kegelisahan itu: “Prof, abdi males nyerat kumaha nya? Duka, asa males ninggal. Nyerat jadi gaduh panyawat males…Jalaran ngajar dugika 12 kelas" Keluhan itu bukan soal menulis; itu soal mentalitas akademik. Lalu muncul pertanyaan mengelitik .. “Benarkah Menulis Lebih Berat dari Mengajar? Pelajaran Moralnya” Kontras dengan Komunitas “Pena Berkarya Bersama” (PBB) pada efisode ke 50 (6/12/2025), pengikutnya tebus pada angka 2.266. Kesemuanya itu merupakan Penulis Aktif.
Secara teori, aktivitas menulis memang identik dengan pembentukan karakter. James W. Pennebaker menekankan bahwa menulis melatih keteraturan pikir. Paulo Freire menyebut literasi sebagai jalan pembebasan. Sementara Immanuel Kant menempatkan kejujuran sebagai inti dari tindakan moral. Namun di tengah budaya serba cepat hari ini, terjadi gap: kemampuan literasi meningkat, tetapi keteguhan moral dalam menulis justru melemah terlihat dari plagiasi, misquote, “asal comot teori,” atau mengutip tanpa membaca. Untuk itulah, tulisan ini bertujuan mengelaborasi bagaimana menulis sesungguhnya merupakan latihan moral yang membentuk tiga pilar utama: integritas, kesabaran, dan kejujuran, serta relevansinya dengan Awarding “Koleksi Terbanyak ke-1 Repositori UIN Bandung” tahun 2025. Berikut, Lima Pembelajaran Moral dari Menulis:
Pertama: Integritas: Setiap Kutipan Adalah Janji; Mahasiswa sering menganggap sitasi sekadar syarat teknis. Padahal, sitasi adalah kontrak moral. Ketika seseorang mencantumkan nama penulis, ia mengakui kerja intelektual orang lain. Inilah integritas. Penghargaan Repositori UIN Bandung membuktikan bahwa konsistensi menyimpan, memublikasikan, dan mempertanggungjawabkan karya ilmiah adalah bentuk integritas kolektif. Menulis memaksa kita bertanya: apakah saya jujur pada pengetahuan yang saya rujuk?
Kedua: Kesabaran: Melawan Kultur Instan; Menulis menolak kecepatan algoritma. Ia menuntut revisi, refleksi, dan perenungan. Dalam kelas tadi pagi, beberapa mahasiswa menghabiskan 30 menit hanya untuk memperbaiki satu paragraf latar belakang. Apakah itu buang waktu? Tidak. Itu pembentukan karakter. Kesabaran adalah modal kepemimpinan dan di sinilah menulis menjadi latihan mental yang tidak terlihat tetapi sangat menentukan.
Ketiga: Kejujuran: Mengakui Proses dan Keterbatasan; Plagiasi bukan hanya tindakan akademik yang salah; itu kegagalan moral. Menulis melatih keberanian untuk berkata: “Saya belum tahu. Saya sedang belajar.” Kejujuran seperti ini yang dirayakan dalam Hari Guru dan HUT KORPRI: keteladanan bukan hadir dari kesempurnaan, tetapi dari keberanian mengakui proses.
Keempat: Disiplin Berpikir: Struktur Ilmiah Melawan Kekacauan Logika; 165 mahasiswa yang menulis jurnal dengan struktur IMRaD tidak sedang memenuhi standar teknis semata. Mereka sedang belajar disiplin berpikir. IMRaD memaksa penulis memisahkan opini dari data, asumsi dari temuan, persepsi dari bukti. Disiplin berpikir adalah bentuk moralitas: ia menjaga penulis dari manipulasi dan rekayasa argumentasi.
Kelima: Pelayanan Ilmiah: Menulis sebagai Amal Sosial; Penghargaan repositori bukan sekadar jumlah unggahan; itu pertanda bahwa karya seseorang menjadi manfaat bagi orang lain. Seperti halnya Dewi Sartika membuka akses pendidikan bagi perempuan, menulis membuka akses pengetahuan bagi generasi berikutnya. Bagi KMC Galuh Taruna yang berulang tahun ke-46, menulis adalah bagian dari kontribusi sosial: mencerdaskan, menggerakkan, dan menjaga warisan nilai “Galuh” dalam bentuk pengetahuan digital.
Singkatnya, menulis bukan hanya keterampilan akademik tetapi latihan moral yang membentuk integritas, kesabaran, kejujuran, disiplin berpikir, dan kepedulian sosial. Untuk itu: (1) Perguruan tinggi perlu mengintegrasikan etika akademik dalam setiap tugas penulisan; (2) Dosen dan pembimbing perlu menjadi model: konsisten menulis, jujur mengutip, dan telaten membimbing; (3) Mahasiswa perlu memandang menulis bukan sebagai beban, tetapi sebagai proses pembentukan diri; (4) Komunitas daerah dan organisasi seperti KMC dapat menggunakan kegiatan menulis sebagai laboratorium kepemimpinan pemuda.
Pada akhirnya, menulis melatih kita menjadi manusia: jujur pada pengetahuan, sabar dalam proses, dan teguh dalam integritas. Penghargaan repositori, Hari Guru, HUT KORPRI, dan ulang tahun KMC Galuh Taruna bukan sekadar seremoni melainkan pengingat bahwa bangsa hanya bisa maju bila warganya mau berpikir, menulis, dan memikul etika dalam setiap kata yang mereka hasilkan. Wallahu A’lam.