Sumber: Ilustrasi dibuat dengan berbantuan DALL·E – ChatGPT (OpenAI), (Dimodifikasi 7 Desember 2025)
Mampukah Menulis Menjaga Identitas di Era Algoritma Kini?
Oleh: A. Rusdiana
Era digital hari ini ditandai oleh scroll cepat, stimulasi tanpa henti, dan algoritma yang lebih cepat mengenali kebiasaan kita daripada kita mengenali diri sendiri. Di tengah kebisingan itu, muncul pertanyaan: apakah identitas digital kita dibentuk oleh kesadaran, atau oleh algoritma? Fenomena ini sangat terasa ketika seseorang mulai kehilangan motivasi menulis karena ritme platform selalu berubah, preferensi publik tidak stabil, dan perhatian audiens mudah berpindah. Curhatan seorang kawan di WAG (30/11/2025) “Prof, kumaha supaya teu males nulis?” adalah cermin dari banyak orang: tulisan kalah oleh kecepatan jempol. Semantara semangat komunitas Pena Berkarya Bersama (PBB), setiap hari meningkat hari ini tembus angka 2.882 yang notabene mereka sebagai penulis aktif.
Eelevan dengan pemikiran Sherry Turkle (MIT) tentang digital identity menegaskan bahwa manusia kini memiliki dua wajah: yang nyata dan yang tampil di ruang digital. Sementara Manovich (The Language of New Media) menyebut bahwa algoritma adalah “kurator tanpa wajah” yang menentukan apa yang terlihat dan apa yang tenggelam. Dalam konteks literasi, Goody (1986) menyatakan bahwa menulis adalah sistem ketertiban pikiran; melalui tulisan, manusia menata identitasnya. Di banyak platform, identitas digital ditentukan oleh viralitas, bukan oleh kedalaman karya. Orang semakin dikenal bukan karena kualitas tulisan, tetapi karena kecocokan dengan selera algoritma.
GAP inilah yang ingin dijawab: bagaimana menulis dapat menjadi alat merawat identitas digital, bukan sekadar mengikuti ritme algoritma? Maka tulisan ini bertujuan mengelaborasi bagaimana praktik menulis dapat menjadi strategi kesadaran diri untuk menjaga identitas digital yang otentik, terutama setelah menerima Awarding Koleksi Terbanyak ke-1 di Repositori UIN Bandung, sebagai bahan refleksi bagi Hari Guru, HUT KORPRI, dan Hari Jadi KMC Galuh Taruna ke-46. Berikut Lima Pembelajaran Mendalam dari Menulis Menjaga Identitas di Era Algoritma:
Pertama: Menulis sebagai Penanda Jejak Digital yang Otentik; Di tengah banjir konten cepat, menulis adalah “jejak lambat” yang justru bertahan lebih panjang. Algoritma dapat mengangkat konten 24 jam, tetapi tulisan di repositori, jurnal, atau blog bertahan puluhan tahun. Awarding Repositori UIN Bandung adalah bukti bahwa jejak yang konsisten lebih kuat daripada jejak yang viral. Identitas digital tidak dibangun oleh likes, tetapi oleh legacy.
Kedua: Menulis Memaksa Kita Jujur pada Data dan Diri Sendiri; Spirit Hari Guru dan HUT KORPRI 2025 mengingatkan bahwa tugas sebuah profesi adalah teladan. Menulis menempatkan seseorang di “meja bedah” intelektual: apakah data valid, sumber jelas, logika konsisten? Saat 165 mahasiswa sedang menyelesaikan jurnal sebagai output mata kuliah, menulis mengajarkan mereka satu hal: kejujuran ilmiah adalah identitas moral.
Ketiga: Menulis Menjadi Penegas Karakter di Tengah Kebisingan Algoritma; Algoritma bekerja berdasarkan perilaku; tulisan bekerja berdasarkan nilai.
Jika algoritma menunjukkan apa yang kita klik, maka tulisan menunjukkan siapa diri kita.
Penegasan karakter inilah yang menjadi modal identitas digital yang tidak mudah tergeser. Menulis merawat otoritas, bukan hanya eksistensi.
Keempat: Menulis Mengubah “Malas” Menjadi Disiplin Makna; Curhatan “males nulis, Prof” adalah sinyal bahwa kecepatan digital telah menggerus ruang refleksi. Namun menulis melatih disiplin kognitif: duduk, berpikir, menyusun, memperbaiki.
Disiplin inilah yang menjadi antidot terhadap budaya instan. Menulis menuntut akal bekerja lebih keras daripada jempol.
Kelima: Menulis sebagai Bentuk Kepedulian & Keteladanan Sosial; Hari Jadi KMC Galuh Taruna ke-46 menyuarakan satu pesan: teladan itu diwariskan melalui tindakan, bukan slogan. Menulis adalah tindakan intelektual yang meninggalkan manfaat bagi orang lain: pengetahuan, peta konsep, inspirasi, dokumentasi, bahkan sejarah.
Ketika repositori mencatat ratusan karya, itu bukan soal angka, tetapi soal tanggung jawab berbagi bahwa identitas digital seseorang dapat menguatkan komunitasnya.
Menulis bukan sekadar mengalahkan malas, tetapi mengembalikan kendali identitas digital ke tangan manusia, bukan algoritma. Di era scroll cepat, menulis adalah tindakan melawan lupa, melawan instan, dan melawan hilangnya makna. Rekomendasi: 1) Pendidik perlu menjadikan menulis sebagai budaya, bukan tugas akademik semata; 2) Kampus & lembaga perlu memperkuat repositori dan ruang publikasi agar jejak ilmiah mahasiswa dan dosen lebih terawatt; 3) Mahasiswa & generasi muda perlu memandang menulis sebagai proses membangun identitas jangka panjang; 4) Komunitas seperti KMC dapat menjadikan tulisan sebagai bagian tradisi intelektual generatif. Di tengah hiruk-pikuk digital, menulis adalah jalan sunyi yang memulihkan jati diri. Jika algoritma sibuk memprediksi kita, maka tulisanlah yang menegaskan siapa kita sebenarnya.