Birokrasi yang Bikin Sesak: Drama Izin Riset Kesehatan

2025-10-13 21:16:31 | Diperbaharui: 2025-10-13 21:16:31
Birokrasi yang Bikin Sesak: Drama Izin Riset Kesehatan
Caption Meet up serba serbi riset

Pernah dengar istilah, “yang sakit bukan hanya pasien, tapi juga sistemnya”?
Kalimat itu mungkin paling pas buat menggambarkan bagaimana rasanya menembus birokrasi perizinan riset dan intervensi kesehatan di Indonesia — terutama kalau risetnya menyentuh penyakit sensitif dan berisiko tinggi seperti tuberkulosis (TBC).

1. Niat Baik, Jalan Berliku

Bagi peneliti kesehatan, TBC bukan hal baru. Indonesia bahkan menempati posisi ke-2 tertinggi di dunia untuk jumlah kasus TBC setelah India, dengan 1 juta kasus baru setiap tahun menurut laporan WHO Global TB Report 2024.
Tapi ironinya, di balik urgensi itu, perizinan riset dan intervensinya masih sering tersandung urusan administratif.

Bayangkan: sebelum bisa mewawancarai satu pasien pun, peneliti harus melewati sederet meja — dari etik penelitian (KEPK), Dinas Kesehatan, hingga izin rumah sakit atau puskesmas.
Belum lagi kalau lokasinya lintas kabupaten atau provinsi, masing-masing punya format dan mekanisme sendiri.
Kadang terasa seperti bermain escape room: satu pintu kebuka, muncul tiga kunci baru 😅


2. TBC Itu Serius — Tapi Izin Juga Serius

Kita paham alasannya: TBC termasuk penyakit menular berisiko tinggi, jadi semua riset dan intervensi wajib berbasis etik, aman, dan tidak membahayakan pasien.
Namun, dalam praktiknya, perizinan kadang terasa lebih rumit daripada substansinya.

Misalnya, satu tim riset kampus yang mau uji intervensi edukasi pasien TBC di tiga puskesmas butuh:

  • Izin etik universitas (KEPK)

  • Rekomendasi Dinas Kesehatan kabupaten/kota

  • Surat pengantar dari puskesmas induk

  • Surat persetujuan kepala daerah (jika lintas wilayah)

  • Surat izin penggunaan data pasien (kadang baru bisa setelah MoU dengan Dinkes Provinsi)

Alhasil, proses izin bisa memakan waktu 1–3 bulan — sementara durasi hibah penelitian cuma setahun.
Riset belum mulai, tapi masa kontrak sudah berkurang.


3. Data Bicara: Birokrasi yang (Masih) Batuk

Menurut data Global Health Research Regulation Review (2023), di Indonesia:

  • Rata-rata waktu pemrosesan izin riset kesehatan mencapai 52 hari kerja.

  • 62% peneliti mengaku proses administrasi adalah faktor utama keterlambatan pelaksanaan riset.

  • Di bidang penyakit menular (termasuk TBC, HIV, dan COVID-19), hanya 38% izin riset yang bisa selesai di bawah 30 hari.

Bandingkan dengan Filipina (rata-rata 28 hari) atau Thailand (21 hari), kita masih tertinggal jauh — padahal urgensi penyakitnya sama.


4. Intervensi TBC: Antara Kesiapan Data dan Sensitivitas Lapangan

Bukan cuma perizinan riset, tapi juga izin intervensi kesehatan — misalnya:

  • Edukasi pengobatan TBC di komunitas,

  • Kunjungan kader ke rumah pasien,

  • atau skrining TBC di sekolah dan pesantren.

Program semacam itu sering “nyangkut” di ranah koordinasi antara Kemenkes – Dinkes – Fasilitas Kesehatan.
Padahal semua niatnya baik, tapi birokrasi lintas level kadang gak sinkron.

Contohnya, untuk skrining TBC berbasis sekolah di Bekasi:

  • Izin sekolah: cepat.

  • Izin Dinkes: perlu rekomendasi tambahan karena masuk kategori intervensi kesehatan.

  • Izin laboratorium rujukan: tergantung jejaring satelit TBC (kadang beda zona logistik).

Kegiatan edukatif jadi terhambat, bukan karena menentang kebijakan, tapi karena struktur izin belum adaptif untuk riset cepat dan kolaboratif.


5. Sisi Positif: Perlindungan & Etika

Kita juga perlu jujur — birokrasi bukan musuh, ia ada untuk menjaga etika dan keselamatan.
Tanpa prosedur etik, kita bisa melanggar hak pasien, membuka data medis, atau salah mengelola hasil diagnosis.
Masalahnya bukan “perlu izin atau tidak,” tapi bagaimana izin itu bisa tetap melindungi tanpa mematikan inovasi.


6. Menuju Sistem Izin yang Sehat

Beberapa langkah baru mulai muncul:

  • Kemenkes sedang mengembangkan Portal Perizinan Riset Kesehatan Terintegrasi (RISKA Online).

  • Lembaga LP2M dan KEPK kampus Muhammadiyah kini mulai berjejaring dengan Dinkes setempat untuk mempercepat koordinasi.

  • Beberapa daerah (termasuk Bekasi dan Yogyakarta) sudah mulai menerapkan izin elektronik satu pintu untuk riset kesehatan berbasis masyarakat.

Kalau sistem ini terus dikembangkan, bisa jadi peneliti gak perlu lagi “maraton tanda tangan,” cukup unggah proposal dan kelengkapan etik — izin otomatis terdistribusi ke instansi terkait.


Kalau Birokrasi Ikut Sembuh

Birokrasi yang sehat adalah yang mampu melindungi tanpa memperlambat.
Karena dalam riset TBC, bukan hanya paru yang butuh bernapas legapeneliti pun juga.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar