Bukan Kebetulan, Bukan Kutukan: Makna Kelahiran Tak Sempurna

2025-11-28 10:47:43 | Diperbaharui: 2025-11-28 10:47:43
Bukan Kebetulan, Bukan Kutukan: Makna Kelahiran Tak Sempurna
AI generated

Beberapa hari lalu kami diskusi di kalangan tenaga kesehatan dan akademisi FKM UMJ tentang seorang bayi yang lahir dengan kondisi langka — tanpa sebagian besar otak, atau secara medis disebut anencephaly. Kasus ini terjadi di salah satu rumah sakit rujukan di Tangerang.

Yang membuat kisah ini menggugah hati bukan hanya kondisi medisnya, tetapi juga latar perjalanan sang ibu: seorang remaja yang sebelumnya dilaporkan mencoba menggugurkan kandungan berulang kali dengan obat-obatan yang tidak aman. Namun upaya itu gagal. Pada akhirnya, sang janin tetap lahir dalam kondisi yang sangat berat, dan — meski dokter memprediksi hanya bertahan hitungan jam — bayi tersebut hidup selama lebih dari dua pekan.

Ada banyak pertanyaan muncul:
Apa yang salah? Siapa yang perlu disalahkan? Mengapa ini terjadi? Dan apa pelajaran yang bisa kita ambil?


Aborsi Tidak Aman: Sebuah Bahaya yang Jarang Dibicarakan

Menurut WHO, aborsi yang dilakukan tanpa pengawasan tenaga medis berkompeten atau menggunakan obat tanpa dosis yang tepat termasuk aborsi tidak aman.
Risikonya bukan hanya kematian ibu, tetapi juga:

  • Infeksi berat

  • Kerusakan rahim

  • Pendarahan

  • Infertilitas

  • Kehamilan yang tetap berlanjut tapi dengan cacat bawaan berat, termasuk kelainan otak seperti anencephaly

Dalam kasus yang sering terjadi, perempuan yang hamil di usia remaja berada dalam kondisi penuh tekanan: ketakutan, malu, dan kurang akses pendidikan reproduksi. Mereka mengambil jalan pintas — dan sering kali tubuh merekam konsekuensinya tanpa bisa dikembalikan.


Anencephaly: Ketika Kehidupan Tak Sempat Sempurna

Anencephaly adalah salah satu bentuk cacat lahir serius yang terjadi ketika tabung saraf janin gagal menutup di minggu pertama sampai keempat kehamilan. Pada fase ini, sering kali ibu belum menyadari bahwa ia hamil.

Penyebabnya bersifat multifaktor:

  • Kurangnya asupan asam folat sebelum dan awal kehamilan

  • Paparan obat tertentu

  • Kondisi medis ibu

  • Riwayat keluarga

  • Tindakan kimia atau trauma terhadap kehamilan

Secara medis, sebagian besar bayi dengan kondisi ini tidak dapat bertahan lama. Tetapi ketika seorang bayi tetap lahir dan berjuang hidup — meski tanpa kemampuan berpikir, melihat, atau merasakan — itu bukan sekadar fenomena medis. Itu adalah momen yang memanggil sisi manusia kita untuk merenung.

Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama, kisah ini menyentuh dimensi spiritual yang dalam.

Dalam Islam, ada hadis yang mengatakan:

“Sesungguhnya setiap jiwa telah ditetapkan rezekinya, ajalnya, dan kebahagiaannya sejak ditiupkan ruh ke dalam tubuh.”
Hidup bukan sekadar wujud fisik — ia adalah amanah.

Mungkin bayi itu tidak datang untuk hidup panjang.
Mungkin ia datang sebagai "pesan".

Sebuah pengingat bahwa:


Refleksi untuk Masyarakat dan Pemerintah

Kasus seperti ini tidak perlu dipublikasikan sebagai sensasi, tetapi sebagai edukasi.

Yang harus kita lakukan bukan menghakimi ibu tersebut, tetapi bertanya:

  • Mengapa ia merasa tidak aman untuk mencari pertolongan?

  • Mengapa akses pendidikan reproduksi masih tabu?

  • Mengapa pergaulan modern tidak diimbangi dengan kesiapan etis dan moral terhadap risiko kehamilan?

Karena fenomena ini bukan satu kasus — ini simptom sosial.


Penutup: Sebelum Menyesal, Belajar

Setiap tahun, ratusan ribu perempuan di Indonesia mengalami kehamilan tidak direncanakan. Banyak dari mereka memilih jalur diam-diam, cepat, dan berbahaya.

Tetapi kisah bayi tanpa otak yang hidup dua minggu ini mengingatkan kita:

Benar bahwa manusia bisa mencoba menggugurkan kehidupan —
tapi tidak ada manusia yang bisa menentukan takdirnya.

Semoga cerita ini menjadi pelajaran, bukan sekadar informasi.
Semoga ada lebih banyak ruang edukasi daripada penghakiman.
Dan semoga setiap anak — bahkan yang datang tanpa rencana — diberikan kesempatan hidup yang layak dan penuh cinta.


Call to Action

Jika Anda membaca ini sebagai:

Orang tua — edukasilah anak tentang seksualitas bertanggung jawab.
Remaja — pahamilah bahwa keputusan hari ini berdampak seumur hidup.
Pemerintah — buka akses edukasi reproduksi dan konsultasi aman.
Masyarakat — berhenti menghakimi, mulai lindungi.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar