Mengapa Menulis Lebih Membangun Kultur Digital daripada Sekadar Konsumsi?

2025-11-26 17:46:57 | Diperbaharui: 2025-11-26 17:47:07
Mengapa Menulis Lebih Membangun Kultur Digital daripada Sekadar Konsumsi?
Caption Sumber Gambar: Dibuat menggunakan DALL·E (OpenAI), 26 November 2025.

MENGAPA MENULIS LEBIH MEMBANGUN KULTUR DIGITAL DARIPADA SEKADAR KONSUMSI?

Oleh: A. Rusdiana

Era digital membuka ruang ekspresi yang tak terbatas, tetapi sebagian besar masyarakat masih berada pada posisi pasif: hanya membaca, menggulir, dan membagikan ulang konten. Momentum Temu Kompasiana PBB ke-44 dengan 2053 penulis aktif menunjukkan perubahan paradigma penting warga digital mulai beralih dari konsumen menjadi produsen gagasan. Pada saat yang sama, di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, tema Wisuda ke-105 “Mencetak Generasi Ulul Albab: Berilmu, Berakhlak, dan Berdaya Saing” menekankan urgensi literasi produktif sebagai fondasi daya saing akademik maupun sosial. Perubahan ini dapat dibaca melalui kacamata Knowledge Creation Theory (Nonaka & Takeuchi). Menurut teori tersebut, pengetahuan tidak berkembang hanya dari konsumsi, tetapi dari proses eksternalisasi—yakni menuangkan ide melalui tulisan sehingga menjadi aset publik yang terus direvisi, diperkaya, dan dipertukarkan.

Sayangnya, ruang digital Indonesia masih lebih ramai oleh konsumsi instan daripada produksi ide. Kebiasaan membaca cepat tanpa refleksi masih mendominasi. Di sinilah letak jurang budaya: akses digital meningkat, tetapi produktivitas pengetahuan belum tumbuh merata.

Tulisan ini bertujuan menunjukkan bahwa menulis bukan hanya aktivitas individual, tetapi strategi kultural untuk membangun masyarakat berilmu, selaras dengan kebijakan kampus berorientasi dampak, tema Wisuda ke-105, serta nilai keilmuan yang dipromosikan PBB ke-44. Berikut Lima Pembelajaran Mendalam dari Menulis Mengubah Pasifitas Menjadi Produktivitas Pengetahuan”:

Pertama: Menulis Melatih Keberanian Mengemukakan Gagasan; Ketika seseorang memilih untuk menulis, ia sebenarnya sedang menyalakan keberanian—keberanian untuk tampak, untuk dikritik, dan untuk dipertanggungjawabkan. Dalam kultur digital, keberanian ini sangat langka, karena banyak pengguna lebih nyaman bersembunyi di balik aktivitas pasif seperti menyukai atau membagikan konten. Menulis memaksa seseorang menstrukturkan pikirannya, menyaring informasi, dan memilih posisi intelektual. Hal ini sejalan dengan semangat “berilmu” dalam tema Wisuda ke-105, di mana ilmu tidak cukup dimiliki, tetapi harus diartikulasikan. Keberanian menulis pada gilirannya membangun ruang digital yang lebih sehat—ruang di mana argumen, bukan emosi, menjadi dasar interaksi. Temu Kompasiana PBB ke-44 menegaskan hal ini: ribuan penulis hadir bukan sekadar untuk dihibur, tetapi untuk berkontribusi. Ketika keberanian menulis meluas, produktivitas pengetahuan pun tumbuh sebagai identitas baru masyarakat digital.

Kedua: Menulis Membangun Kemampuan Analisis dan Literasi Kritis; Konsumsi konten mendorong kecepatan, sementara menulis menuntut kedalaman. Proses menulis mendorong seseorang memeriksa ulang data, mengevaluasi sumber, dan membangun argumentasi yang logis. Di era banjir informasi, kemampuan ini menjadi penentu apakah seseorang menjadi korban misinformasi atau penggerak literasi. Dalam konteks kampus, produktivitas pengetahuan seperti ini merupakan tujuan dari kebijakan tridharma yang menekankan riset dan pengabdian berbasis literasi kritis. Wisuda ke-105 menggarisbawahi nilai Ulul Albab, yakni generasi yang mampu berpikir jernih dan bertindak tepat. Menulis melatih mahasiswa dan masyarakat untuk memiliki sense of scrutiny, bukan menerima begitu saja. Dari ruang kelas hingga ruang digital, kemampuan analisis yang lahir dari kebiasaan menulis akan meningkatkan kualitas percakapan publik dan memperkuat posisi akademik kampus di hadapan masyarakat.

Ketiga: Menulis Mengubah Individu Menjadi Produsen Pengetahuan: Dalam kultur digital, kemampuan menghasilkan pengetahuan adalah bentuk kemandirian intelektual. Ketika seseorang menulis, ia tidak lagi menunggu untuk diberi informasi; ia menjadi sumber informasi itu sendiri. Transformasi ini sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang sedang membangun ekosistem literasi. Penulis bukan hanya menciptakan konten, tetapi memproduksi nilai, perspektif, dan wacana yang membentuk cara pandang publik. Kompasiana sebagai platform partisipatif memperlihatkan bahwa kualitas digital society ditentukan oleh siapa yang memproduksi gagasannya. Lebih jauh, UIN Bandung melalui kebijakan kampus berdampak mendorong mahasiswa dan dosen menjadi produsen ilmu, bukan sekadar pengguna. Produktivitas pengetahuan menjadi modal sosial yang memperkuat identitas akademik institusi sekaligus kontribusi nyata bagi masyarakat.

Keempat: Menulis Menjadi Praktik Akademik untuk Pengabdian Publik; Menulis memperluas jangkauan pengabdian. Bila riset kampus selama ini sering hanya berakhir pada laporan, maka menulis di ruang publik menghidupkan kembali fungsinya sebagai kontribusi sosial. Artikel, opini, dan refleksi dapat menjembatani dunia akademik dengan kebutuhan masyarakat. Ini sejalan dengan semangat Hari Pahlawan: ilmu yang tidak dibagikan adalah keberanian yang tidak ditunaikan. Produktivitas tulisan Anda yang konsisten selama enam tahun menjadi contoh bagaimana seorang akademisi dapat memperluas makna pengabdian melalui literasi. Menulis membuat gagasan ilmiah lebih inklusif, mudah diakses, dan berdampak. Dengan demikian, budaya menulis menjadi instrumen untuk memperkuat hubungan kampus dengan publik, khususnya dalam konteks kebijakan kampus berdampak.

Kelima: Menulis Menjadi Pilar Kultur Digital yang Berkelanjutan: Di tengah derasnya konten visual dan hiburan cepat, menulis adalah jangkar yang menjaga ruang digital tetap bernilai. Tulisan memiliki daya simpan pengetahuan, kemampuan memperbaiki diri, dan potensi memperluas jangkauan lintas generasi. Kultur digital yang sehat tidak dibangun oleh algoritma, tetapi oleh warga yang mampu memproduksi gagasan. Konsumen hanya menguatkan arus; penulis mengarahkan arus itu. Temu Kompasiana PBB ke-44 adalah bukti bahwa produktivitas menulis semakin diakui sebagai modal budaya. UIN Bandung melalui Wisuda ke-105 menggarisbawahi nilai kompetitif generasi masa depan yang tidak hanya cakap teknologi, tetapi juga cakap berpikir. Inilah fondasi digital nation yang berdaya saing.

Menulis mengubah masyarakat digital dari pasif menjadi produktif. Ia memperkuat literasi, membangun keberanian intelektual, serta menyambungkan kampus dengan publik. Para pemangku kepentingan pendidikan perlu memasukkan menulis sebagai instrumen strategis dalam pengembangan mahasiswa, memperluas ruang publikasi, dan memberi insentif bagi produktivitas pengetahuan. Kultur digital yang beradab membutuhkan masyarakat yang menulis. Dengan menulis, kita tidak hanya hadir di dunia digital kita ikut membentuk masa depannya.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar