Bagaimana Menulis Lebih Berdampak Menbagun Kultur Digital Daripada Konsumsi Konten?

2025-11-24 01:49:39 | Diperbaharui: 2025-11-24 01:49:48
Bagaimana Menulis Lebih Berdampak Menbagun Kultur Digital Daripada Konsumsi Konten?
Caption: Sumber: teresedia di :https://www.instagram.com/p/DRQy1-LjFLI/)

BAGAIMANA MENULIS LEBIH BERDAMPAK MEMBANGUN KULTUR DIGITAL DARIPADA KONSUMSI KONTEN?

Oleh: A. Rusdiana

Ruang digital hari ini penuh dengan limpahan informasi, tetapi tidak semuanya membawa kejernihan. Hoaks, sensasi, dan komentar emosional sering kali mendominasi percakapan publik. Namun, pada Temu Kompasiana PBB ke-43, muncul gejala yang memberi harapan baru: sebanyak 1.983 anggota PBB kini aktif menulis, bukan hanya menjadi penonton atau pembaca. Ini perubahan penting, karena peradaban tidak tumbuh dari konsumsi informasi semata, melainkan dari produksi pengetahuan yang bertanggung jawab. Pertanyaannya kemudian muncul: Apakah komunitas PBB dapat menjadi bagian dari ekosistem “Kampus Berdampak” yang dicanangkan Kemdiktisaintek? Kebijakan Kampus Berdampak menegaskan bahwa perguruan tinggi tidak cukup menghasilkan lulusan, tetapi harus hadir sebagai pusat solusi bagi persoalan sosial, ekonomi, lingkungan, dan transformasi masyarakat. Program ini menuntut kolaborasi kampus dengan masyarakat, industri, pemerintah daerah, dan komunitas pengetahuan. Tujuannya: membangun ekosistem pendidikan yang inklusif, adaptif, dan berkelanjutan menuju Indonesia Emas 2045.

Dalam konteks inilah menulis menjadi relevan. Wisuda ke-105 UIN Bandung, dengan tema “Mencetak Generasi Ulul Albab: Berilmu, Berakhlak, dan Berdaya Saing”, menguatkan pesan bahwa intelektualitas bukan hanya untuk dihafal, melainkan untuk ditransformasikan ke ruang publik. Ulul albab adalah paradigma yang memadukan akal, literasi, moralitas, dan kepekaan sosial persis fondasi yang diperlukan untuk menciptakan kultur digital yang mencerahkan.

Teori literasi digital (Gilster, 1997) menegaskan bahwa kemampuan digital yang paling penting bukan sekadar kelincahan teknis, tetapi kapasitas menganalisis, memproses, dan menciptakan konten. Namun terdapat gap yang menonjol: budaya digital kita berkembang cepat, tetapi kualitas wacananya sering tidak sejajar dengan pertumbuhan tersebut. Inilah ruang kosong yang dapat diisi oleh budaya menulis berbasis nilai ulul albab. Maka tulisan ini bertujuan menunjukkan bagaimana menulis mampu membentuk kultur digital yang sehat dan bagaimana komunitas PBB berpotensi memperkuat implementasi Kampus Berdampak melalui produksi pengetahuan publik. Berikut: Lima Pembelajaran Mendalam dari Menulis Lebih Efektif Membangun Kultur Digital:

Pertama: Menulis Mengubah Pasifitas Menjadi Produktivitas Pengetahuan; Transformasi dari pembaca menjadi penulis adalah lompatan budaya. 1.983 penulis aktif PBB menandakan kesadaran baru bahwa kontribusi intelektual tidak lagi monopoli kampus. Ketika masyarakat ikut memproduksi gagasan, kualitas ruang digital meningkat. Ini selaras dengan nilai berilmu dalam tema Wisuda UIN ke-105.

Kedua: Menulis Menghasilkan Kultur Digital yang Terstruktur, Bukan Kebisingan; Tulisan yang baik memerlukan riset, referensi, dan proses berpikir. Kegiatan ini melahirkan curated intelligence: budaya memilah, menimbang, dan merumuskan. Kultur ini kontras dengan tren digital yang sering didominasi emosi dan kecepatan. Nilai ulul albab memastikan bahwa konten yang lahir bukan sekadar informatif, tetapi juga membawa etika dan kebijaksanaan.

Ketiga: Menulis Menjadi Wujud Kepahlawanan Intelektual Era Digital; Tema Hari Pahlawan “Terus Bergerak, Melanjutkan Perjuangan” menemukan relevansinya dalam dunia tulisan. Penulis berperan sebagai pahlawan intelektual yang mengawal kesadaran publik. Melalui tulisan yang jernih, publik dapat diarahkan menuju literasi yang kuat dan dialog yang sehat.

Keempat: Menulis Menjadi Jembatan Implementasi Program Kampus Berdampak; Program Kampus Berdampak membutuhkan saluran efektif untuk membawa pengetahuan kampus ke masyarakat. Di sinilah komunitas PBB memegang peran strategis. Dengan ribuan penulis aktif, PBB dapat menjadi ruang diseminasi solusi kampus mulai dari riset, inovasi sosial, kebijakan publik, hingga praktik baik. Kolaborasi kampus–komunitas ini memperluas jangkauan dampak akademik ke publik. Tulisan PBB dapat menjadi jembatan antara laboratorium kampus dan realitas masyarakat.

Kelima: Menulis Menguatkan Kolaborasi Kampus, Komunitas, dan Masyarakat; Ekosistem digital yang sehat tidak dibangun oleh satu pihak. Kolaborasi tripartit kampus yang memproduksi ilmu, komunitas seperti PBB yang mendiseminasikan, dan masyarakat yang mengimplementasikan menjadi model ideal Indonesia Emas. Tema berakhlak dan berdaya saing dari Wisuda UIN ke-105 semakin menegaskan pentingnya kontribusi berbasis nilai dan kemampuan.

Menulis adalah fondasi pembentukan kultur digital yang mencerahkan. Temu Kompasiana PBB ke-43 menunjukkan bahwa komunitas menulis dapat menjadi mitra strategis kebijakan Kampus Berdampak dalam menyebarkan ilmu, memperkuat literasi publik, dan memperluas pengaruh gagasan kampus. Rekomendasi: 1) Kampus perlu mewajibkan publikasi populer bagi mahasiswa sebagai bagian dari aktivitas akademik berdampak; 3) Komunitas PBB dapat membuat kanal khusus “Dampak Kampus” sebagai jembatan kampus–masyarakat; 4) Pemerintah daerah dapat menggunakan tulisan berbasis riset sebagai bahan perumusan kebijakan mikro; 5) Mahasiswa & Dosen diarahkan menjadikan tulisan digital sebagai bagian dari service learning. Bukankah "Pemerintah Wajibkan Murid Baca Buku dan Menulis Resensinya" (Kompas.id 19/11/2025). 

Peradaban digital hanya akan tumbuh jika kita tidak berhenti pada membaca, tetapi terus menulis, mengolah, dan menyebarkan gagasan yang mencerdaskan. Ketika kampus, komunitas, dan masyarakat bergerak bersama, Indonesia akan melahirkan kultur digital yang bukan hanya cerdas, tetapi juga berakhlak dan berdampak. Wallahu A’lam.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar