Bagaimana Menulis Menjadi Jembatan Terkuat Antar Generasi?

2025-11-23 02:50:08 | Diperbaharui: 2025-11-23 03:06:29
Bagaimana Menulis Menjadi Jembatan Terkuat Antar Generasi?
Caption Caption: Sumber gambar: Ilustrasi original, dibuat dengan bantuan AI (DALL·E) melalui ChatGPT, 2025. (dimodifikasi 23 Nopember 2025)

 

BAGAIMANA MENULIS MENJADI JEMBATAN TERKUAT ANTAR-GENERASI?

Oleh: A. Rusdiana

Dunia pendidikan tinggi hari ini bergerak dalam arus transformasi digital yang sangat cepat. Dalam konteks itu, muncul kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa gagasan, nilai, dan pengalaman tiap generasi tidak hilang begitu saja. Fenomena meningkatnya minat menulis di komunitas digital seperti Kompasiana ditunjukkan melalui Temu PBB ke-42 yang melibatkan 1.968 penulis aktif menandakan bahwa masyarakat kini tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi produsen pengetahuan. Pada titik inilah, menulis berperan sebagai jembatan kokoh antar-generasi.

Artikel ini berlandaskan Knowledge Continuum Theory, yang menjelaskan bahwa pengetahuan hanya akan bertahan bila ditransmisikan melalui proses dokumentasi, refleksi, dan produksi gagasan. Didukung pula oleh teori Generational Learning (Kupperschmidt), yang menyatakan bahwa interaksi lintas generasi membutuhkan medium yang stabil, adaptif, dan tidak terkikis waktu yang salah satunya adalah tulisan.

Walaupun narasi tentang transformasi pendidikan banyak dibahas, pembahasan tentang menulis sebagai mekanisme utama penyambung generasi dalam pendidikan tinggi masih sangat terbatas. Kebanyakan fokus pada teknologi, bukan pada proses produksi pengetahuan itu sendiri. Maka tulisan ini bertujuan menjelaskan bagaimana aktivitas menulis dapat menjadi jembatan antar-generasi dalam dunia pendidikan tinggi, serta kaitannya dengan Tema Wisuda UIN Bandung ke-105: “Mencetak Generasi Ulul Albab: Berilmu, Berakhlak, dan Berdaya Saing.” Berikut lima pembeljaran dari  Menulis menjadi Jembatan terkuat antar generasi:

Pertama: Menulis Memperkuat Identitas Keilmuan Antar-Generasi; Generasi Ulul Albab tidak hanya menguasai ilmu tetapi juga menyalurkannya melalui karya. Ketika mahasiswa menulis hasil riset, dosen menulis kajian ilmiah, dan publik menulis pengalaman sosial, terbentuklah jaringan pengetahuan lintas usia yang saling menguatkan. Hal ini sejalan dengan spirit Hari Pahlawan: melanjutkan perjuangan bukan hanya dalam bentuk fisik, tetapi dalam bentuk warisan intelektual.

Kedua: Menulis Menjadi Medium “Transfer Nilai” di Era Digital; Pengalaman generasi senior sering hilang karena tidak terdokumentasi. Menulis memungkinkan nilai-nilai akhlak, etos kerja, dan kebijaksanaan generasi sebelumnya dapat diwariskan kepada mahasiswa generasi Z dan Alpha. Tema Wisuda UIN ke-105 menekankan akhlak sebagai inti keunggulan; tulisan menjadi wadah ideal untuk memperpanjang usia nilai tersebut.

Ketiga: Menulis Menghubungkan Bahasa Teknologi dan Bahasa Kemanusiaan; Perkembangan digital sering menciptakan jarak antar-generasi. Generasi muda fasih teknologi, sementara generasi senior kuat dalam kedalaman makna. Melalui tulisan, dua bahasa ini bertemu. Dosen dapat menganalisis, mahasiswa dapat menvisualisasikan, dan masyarakat dapat merefleksikan—membentuk ekosistem akademik yang lebih utuh dan manusiawi.

Keempat: Menulis Menjadi Arena Kolaborasi Antar-Generasi; Kolaborasi lintas generasi bukan hanya kerja tim, tetapi pertukaran worldview. Kegiatan seperti Temu Kompasiana PBB ke-42 menunjukkan bahwa ruang digital mampu menjadi tempat dialog antar-generasi. Ketika artikel mahasiswa dikomentari senior, atau tulisan senior diperkaya perspektif pemuda, terjadi proses co-creation yang memperkaya dunia pendidikan tinggi.

Kelima: Menulis Mencetak “Pahlawan Pengetahuan”; Tema Hari Pahlawan tahun ini—“Pahlawanku Teladanku, Terus Bergerak, Melanjutkan Perjuangan”—bertemu dengan misi Wisuda UIN ke-105. Pahlawan masa kini bukan hanya mereka yang turun ke lapangan, tetapi mereka yang melestarikan pengetahuan. Melalui tulisan, ide tidak mati; ia melampaui usia penulisnya. Inilah kebajikan Ulul Albab: menjadikan ilmu sebagai akhlak yang transgenerasional.

Menulis adalah sarana strategis membangun jembatan kokoh antar-generasi dalam dunia pendidikan tinggi. Ia menyatukan nilai, pengalaman, ilmu, dan visi lintas zaman dalam bentuk yang tahan lama. Dalam konteks Wisuda UIN Bandung ke-105, menulis bukan hanya keterampilan akademik, tetapi tindakan intelektual yang mencerminkan karakter Ulul Albab. Rekomendasi: 1) Perguruan tinggi perlu memperluas kurikulum literasi menulis lintas generasi; 2) Dosen didorong menulis tidak hanya untuk jurnal, tetapi juga opini publik sebagai media dakwah keilmuan; 3) Mahasiswa diarahkan untuk membangun portofolio tulisan sejak awal kuliah; 4) Komunitas digital seperti PBB harus diperkuat sebagai ruang kolaborasi intergenerasi; 5) Lembaga pendidikan Islam dapat menjadikan menulis sebagai bagian dari akhlak keilmuan.

Pada akhirnya, tulisan adalah jembatan yang tidak lekang oleh waktu. Ia mengikat masa lalu, menuntun masa kini, dan menerangi masa depan. Pendidikan tinggi hanya akan benar-benar maju bila setiap generasi bersedia menulis, berbagi, dan melanjutkan estafet peradaban.

Wallahu A'lam

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar