Menulis: Pahlawawan Menyalakan Nalar atau Sekadar Konten Digital?

2025-11-22 03:03:51 | Diperbaharui: 2025-11-22 03:19:15
Menulis: Pahlawawan Menyalakan Nalar atau Sekadar Konten Digital?
Caption

Sumber Utama: PENULIS YANG SEDANG MENULIS.tersedia di https://amaldoft.wordpress.com/2014/07/23/hal-hal-yang-harus-dihindari-penulis-saat-menulis/ (dimodifikasi 22 November 2025)

Menulis: Pahlawan Menyalakan Cahaya Nalar atau Sekadar Konten Digital?

Oleh: A. Rusdiana

Hari Pahlawan 2025 kembali menggemakan pesan “Terus Bergerak, Melanjutkan Perjuangan.” Jika pada masa kolonial perjuangan diwujudkan lewat fisik dan medan tempur, maka di era digital perjuangan berlangsung sunyi: melalui produksi pengetahuan. Di tengah banjir informasi, penulis berperan menjaga nalar publik. Ia menghadirkan argumentasi, bukan sekadar opini; data, bukan sekadar drama; dan makna, bukan sekadar sensasi. Fenomena ini semakin relevan ketika melihat geliat komunitas literasi digital seperti Temu Kompasiana PBB ke-41, yang mencatat 1.955 anggota aktif menulis, bukan hanya membaca. Perubahan dari “konsumsi informasi” menuju “produksi pengetahuan” menunjukkan tumbuhnya kesadaran baru: menulis adalah bagian dari kontribusi sosial.

Teori Knowledge Society (Peter Drucker) menegaskan bahwa masyarakat modern ditopang oleh penciptaan pengetahuan, bukan sekadar penguasaan fisik. Sementara Theory of Social Influence (Kelman) menyebut bahwa tulisan memiliki kekuatan membentuk pemahaman, sikap, bahkan perilaku sosial melalui proses internalisasi nilai. Dengan kata lain, menulis adalah tindakan yang memiliki daya ubah sosial. Namun, masih terdapat jurang besar: budaya menulis belum menjadi perilaku utama masyarakat Indonesia. Tingginya konsumsi gawai tidak berbanding lurus dengan produksi gagasan. Banyak generasi muda menjadi penikmat konten pasif, bukan pencipta pengetahuan. Maka tulisan ini bertujuan mengajak pembaca, khususnya komunitas PBB dan sivitas akademika UIN Bandung, memahami bahwa menulis adalah bentuk kepahlawanan intelektual yang sejalan dengan tema Wisuda UIN Bandung ke-105: “Mencetak Generasi Ulul Albab: Berilmu, Berakhlak, dan Berdaya Saing.” Berikut  Pembahasan: Lima Pembelajaran Mendalam dari Menulis: Pahlawan meyalakan nalar: 

Pertama: Menulis sebagai Aksi Moral Penjaga Akal Sehat Publik; Di tengah derasnya hoaks, polarisasi, dan berita cepat yang tak selalu akurat, menulis menjadi tindakan moral. Penulis yang jujur, kritis, dan beretika adalah pahlawan intelektual yang menjaga ketertiban nalar masyarakat. Kepahlawanan masa kini tidak lagi berupa keberanian fisik, melainkan keberanian intelektual untuk berkata benar. Hal ini senafas dengan nilai Ulul Albab: berpikir jernih dan berbasis ilmu.

Kedua: Menulis Mengubah Pembaca Menjadi Penggerak; Komunitas PBB menunjukkan tren positif: semakin banyak anggota yang tidak hanya membaca tetapi menulis. Ini perubahan paradigma penting. Ketika seseorang menulis, ia memproses pengalaman, mengolah informasi, dan menciptakan makna. Proses ini menumbuhkan karakter berdaya saing, sesuai pesan wisuda UIN Bandung. Produksi pengetahuan selalu lebih bernilai daripada hanya konsumsi.

Ketiga: Menulis Menjadi Ruang kontribusi Sosial Tanpa Batas; Tidak semua orang dapat turun ke lapangan, namun setiap orang dapat berkontribusi melalui tulisan. Tulisan bisa menggerakkan diskusi publik, mendorong perubahan kebijakan, atau sekadar menguatkan satu orang yang membacanya. Inilah hakikat kepahlawanan intelektual: dampaknya bisa jauh melampaui jarak dan waktu.

Keempat: Menulis Menciptakan Jejak Peradaban; Peradaban besar selalu meninggalkan manuskrip, bukan selebaran hiburan. Dari karya ulama Nusantara, catatan pejuang, hingga modernisasi digital, semuanya ditopang oleh tulisan. Wisuda ke-105 UIN Bandung yang melahirkan generasi Ulul Albab adalah momen tepat untuk menegaskan: gelar bukan akhir perjalanan, tetapi awal kontribusi intelektual.

Kelima: Menulis Mendisiplinkan Pikiran dan Akhlak; Menulis memaksa seseorang untuk jujur, runtut, dan bertanggung jawab atas gagasannya. Inilah latihan akhlak intelektual. Semangat Hari Pahlawan mengajarkan keberanian; menulis mengajarkan konsistensi. Keduanya bertemu pada titik yang sama: komitmen memperbaiki masyarakat.

Menulis adalah bentuk kepahlawanan intelektual di era digital. Ia menyalakan cahaya nalar, memperluas jejak kontribusi, dan meneguhkan nilai Ulul Albab: berilmu, berakhlak, dan berdaya saing. Gelombang penulis baru di komunitas PBB menunjukkan bahwa peradaban tidak tumbuh dari penonton, tetapi dari pencipta gagasan. Rekomendasi: 1) Perguruan tinggi perlu memasukkan literasi menulis digital sebagai kompetensi wajib; 2) Komunitas literasi seperti PBB perlu memperbanyak coaching clinic menulis; 3) Wisudawan UIN Bandung perlu menjadikan menulis sebagai ibadah intelektual pasca wisuda; 3) Pemerintah dan lembaga pendidikan harus memperkuat ekosistem publikasi digital yang sehat; 4) Masyarakat umum didorong beralih dari konsumsi pasif menuju produksi pengetahuan.

Jika dulu pahlawan berjuang dengan bambu runcing, hari ini pahlawan berjuang dengan pena dan pikiran. Menulis adalah cara paling senyap namun paling langgeng untuk melanjutkan perjuangan.  Wallahu A’lam.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar