Catatan ngobrol dengan seorang tenaga kesehatan di sebuah rumah sakit. Ceritanya meninggalkan jejak di kepala.
Katanya:
“Sekarang banyak banget anak 14, 15, 16 tahun yang hamil. Macam-macam situasinya tapi saat bersalin umumnya terkesan mudah dan cepat.”
Dan di titik itu, aku mulai bertanya dalam hati:
Jadi rasa sakit melahirkan dalam agama dipandang mulia, tapi kenyataan sosial pada remaja seperti tragedi dan mereka kehilangan 'nikmat' itu?
Fakta yang Tidak Bisa Kita Tutup Mata
Menurut Guttmacher Institute, setiap tahunnya ada sekitar 64 kehamilan tak direncanakan per 1.000 perempuan usia reproduksi di dunia. Dan angka ini lebih tinggi di negara berpenghasilan rendah.
Di Indonesia, data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan bahwa sebagian perempuan yang hamil menyatakan kehamilannya tidak direncanakan, termasuk pada kelompok usia di bawah 18 tahun.
Dan ini yang bikin banyak nakes mengelus dada:
Tubuh remaja belum sepenuhnya siap untuk hamil maupun melahirkan.
Risiko seperti:
-
persalinan macet karena panggul belum matang
-
anemia
-
preeklampsia
-
depresi pascamelahirkan
semua meningkat signifikan pada kelompok ini.
Jadi kalau ada yang bilang,
“Ya udah, asal bisa melahirkan ya sudah.”
Nyatanya tidak sesederhana itu.
Antara Fisik, Mental, dan Makna
Yang menarik, ada fenomena yang muncul dari pengalaman nakes:
**remaja yang hamil tanpa perencanaan kadang justru terlihat melahirkan lebih “cepat”.
Bukan karena mereka lebih kuat, tapi karena:
-
mereka belum punya pemahaman mendalam tentang rasa sakit
-
prosesnya mengalir otomatis seperti refleks biologis
-
tubuh bekerja tanpa narasi mental yang rumit
Tapi… itu pun bukan jaminan mudah. Banyak juga yang menangis, panik, atau trauma — karena mereka belum siap.
Dan di sisi ini, biologi bertemu psikologi:
Hormon stres seperti adrenalin bisa memperlambat pembukaan rahim.
Sebaliknya, rasa aman bisa mempercepat proses persalinan.
Artinya: dukungan, kasih sayang, dan lingkungan aman bukan cuma kebutuhan emosional — tapi juga kebutuhan medis.
Lalu… di mana sisi spiritualnya?
Dalam Islam, ada satu prinsip penting:
Allah menilai niat dan usaha, bukan semata-mata rasa sakit.
Ada hadis sahih yang bilang bahwa setiap rasa sakit — sekecil tertusuk duri — bisa menggugurkan dosa. Bukan rasa sakit untuk disembah, tapi kesabaran selama menjalaninya.
Karena itu, menggunakan epidural atau obat pengurang nyeri tidak mengurangi pahala. Pahala bukan pada sengaja mencari sakit, tapi pada bagaimana seseorang menjalani amanah yang diberikan Allah.
Namun, di titik ini ada perbedaan makna:
-
Ibu dewasa yang melalui kehamilan direncanakan → rasa sakit jadi proses spiritual, bagian dari pengorbanan, cinta, dan ibadah.
-
Remaja yang hamil karena pergaulan, tekanan, atau minim edukasi → rasa sakit sering bukan disertai makna, tapi rasa takut, bingung, dan penyesalan.
Jadi sebetulnya, yang hilang bukan “nikmat” proses lahir,
tapi kesadaran, kesiapan, dan kehadiran makna.
Jadi Apa yang Kita Bisa Lakukan?
Ini bukan tentang menghakimi.
Ini tentang:
-
Ruang aman bagi remaja untuk bertanya
-
Sistem sosial dan kesehatan yang tidak hanya “reaktif” ketika sudah terjadi, tapi preventif
Penutup: Antara Sakit dan Pahala
Melahirkan memang bisa menjadi ladang pahala luar biasa. Tapi pahala terbesar bukan karena rasa sakitnya — melainkan karena tanggung jawab, niat, dan cinta yang menyertainya.
Untuk para ibu — baik yang sudah dewasa atau yang tumbuh terlalu cepat karena keadaan — satu hal yang pasti:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kemampuannya.
Dan bagi kita yang membaca ini?
Tugas kita sederhana tapi besar:
Menjadikan kelahiran bukan ujian yang menjerat anak-anak,
tetapi jalan mulia yang hanya ditempuh ketika seseorang siap menjalaninya.