Refleksi Juara 1 Lomba Esai KEAI Nasional 2025

2025-11-24 09:26:25 | Diperbaharui: 2025-11-24 09:42:32
Refleksi Juara 1 Lomba Esai KEAI Nasional 2025
foto : Yoga A. Pratama 

 

Oleh : Yoga A. Pratama - Jurnalis Panen News

"Akhirnya Saya Melampaui Saya yang Kemarin"

Ungkapan pada di atas rasanya menjadi deskripsi paling tepat untuk menggambarkan kelegaan begitu saya mendapat informasi bahwa naskah esai saya menyabet juara pertama Lomba Menulis Esai Nasional 2025 Forum Kreator Era AI (KEAI).

Ambisi saya dalam mengikuti berbagai lomba menulis, termasuk yang ini, adalah bukan untuk mengalahkan penulis-penulis lain, melainkan untuk membuktikan apakah tulisan saya yang hari ini lebih baik dari tulisan saya sebelum-sebelumnya, atau lebih luas lagi, apakah diri saya hari ini lebih baik dari diri saya versi hari kemarin. Dan keputusan dewan juri atau tim penilai dari KEAI rupanya mengafirmasi ambisi saya itu.

Oleh karena itu, pertama-tama, saya ingin menghaturkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada pihak-pihak berikut:

Kepada Bapak Denny JA, yang optimismenya terhadap menteri dalam rupa AI dalam esai di Facebook-nya kadung membumbung tinggi, tetapi saya banting ke bumi dengan pesimisme saya yang super-ekstrem;

Kepada tim penilai atau dewan juri yang benar-benar mempelajari naskah utuh saya, dan tidak lantas menyingkirkannya atau terkecoh dengan judul yang amat sederhana, dan tidak menarik sama sekali. Terima kasih banyak sudah menilai naskah saya bukan dari judulnya;

Kepada seluruh tim penyelenggara dari KEAI yang telah menyerahkan segala pikiran, tenaga, dan waktunya untuk menggelar perlombaan ini;

Kepada beberapa kawan penulis atau peserta lomba yang segera menghubungi saya melalui jaringan pribadi (japri) WhatsApp begitu pengumuman pemenang dipublikasikan untuk mengucapkan selamat dan bertukar pikiran soal tulis-menulis.

Menulis tentang artificial intelligence (AI) tidak mudah, apalagi saya tidak punya latar belakang ilmu komputer, apalagi AI terbilang masih seumur jagung (meski perkembangannya amat pesat sekali sampai-sampai secara eksistensial cukup menakutkan bagi umat manusia).

Meski naskah saya memenangkan lomba esai nasional tentang AI, bukan berarti saya menjadi ahli AI. Saya hanyalah seorang yang sok tahu tentang AI, yang hanya mendapatkan informasi mengenainya dari sumber-sumber di internet, yang kebetulan menuliskannya ke dalam sebuah naskah yang disusun sedemikian rupa.

Namun, dalam menulis, saya selalu menerapkan satu prinsip yang tak boleh terlewatkan: selalu posisikan diri sebagai pembaca. Penulis wajib menerka-nerka cara kerja psikologi pembacanya. Coba terka apa yang mereka sudah tahu, apa yang mereka belum tahu, informasi dasar apa yang mereka butuhkan, unsur kebaruan apa yang mungkin membuat mereka terkesima, dan lainnya.

Selain mendapat wejangan prinsip tersebut dari berbagai penulis terdahulu, saya juga menangkap hal serupa dari karya-karya fiksi yang saya baca, terutama karya-karya Fyodor Dostoevsky hingga Minato Kanae. Keduanya agak mirip—sama-sama “bermain” di ranah pscychological thriller.

Saya ingat betul Jessica Brody menulis di bukunya, kurang lebih seperti ini: sebagai penulis fiksi, Anda harus mengetahui sisi psikologis karakter-karakter Anda. Dan menurut saya Dostoevsky dan Kanae melakukan hal itu sama baiknya.

Berdasar bekal itulah saya mencoba menerapkannya dalam penulisan naskah non-fiksi, seperti yang saya kirim ke KEAI. Karena AI masih belia, saya menduga para pembaca pasti ingin tahu betul bagaimana cara barang itu bekerja—dan bagaimana ia bisa dimanipulasi untuk menguntungkan pengembangnya—meski umurnya masih seumur jagung, atau cara kerjanya masih samar-samar dan sulit dicerna orang awam seperti saya.

Ini bagian tersulit karena saya tak punya latar belakang ilmu komputer. Namun, sumber riset di internet yang melimpah mempermudah hidup saya. Saya hanya mengumpulkan informasi-informasi yang tercecer, lalu berusaha menyusunnya dalam sebuah naskah serapi mungkin.

***

Kalau saya boleh menebak, pembaca yang sedang membaca artikel ini barangkali akan sedikit kecewa karena tulisan ini tidak sebagus naskah esainya (jika pembaca diizinkan untuk membaca naskah esai saya oleh penyelenggara).

Hal ini karena saat menulis naskah esai yang diganjar juara pertama itu, saya sedang punya waktu luang yang cukup. Kini, saya sedang sibuk-sibuknya. Jadi, saya harus menuliskan artikel ini dengan cara mencuri-curi waktu, dan dengan tuangan pikiran yang agak semrawut sehingga hasilnya begini adanya.

Meski demikian, ini bukan berarti saya menuliskannya dengan kurang rasa hormat. Saya berupaya menulis artikel ini sebaik mungkin, dengan sisa-sisa waktu, tenaga, dan pikiran yang masih menyala di tubuh saya. Dan, seperti inilah tulisan pendeknya.

Namun, di atas itu semua, saya wajib mengucapkan terima kasih sekali lagi atas apresiasi setinggi-tingginya dari pihak penyelenggara kepada saya. Saya amat terkesan bisa berada di posisi ini, dan ini merupakan milestone baru dalam karier kepenulisan saya.

 

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar