Menulis sebagai Proses; Lebih Penting dari Hasil?

2025-10-16 06:43:09 | Diperbaharui: 2025-10-16 06:52:06
Menulis sebagai Proses; Lebih Penting dari Hasil?
Caption Sumber Gamabar: Menulis Sebagai Proses Mengenal Diri- Tersedia di https://kumparan.com/faizuddin-ahmad/menulis-sebagai-proses-mengenal-diri-(Dimodifikasi 16 Oktober 2025)

Oleh: A. Rusdiana

Di kampus, tugas menulis sering dianggap sebagai ritual yang harus diselesaikan cepat: dikerjakan malam sebelum tenggat, dikumpulkan, lalu dilupakan. Padahal, di balik setiap proses menulis tersimpan latihan berpikir, refleksi nilai, dan pembentukan karakter ilmiah. Menulis bukan sekadar menghasilkan teks, tetapi menumbuhkan kesadaran. Dalam pandangan Paulo Freire, pendidikan yang membebaskan menuntut keterlibatan aktif individu dalam proses belajar. Menulis adalah bagian dari keterlibatan itu bukan karena nilai, tetapi karena proses memahami realitas. Sementara Bloom’s Taxonomy menempatkan menulis pada tingkat tertinggi kognisi, yakni creating: kemampuan mencipta berdasarkan pemahaman mendalam. Sayangnya, banyak mahasiswa berhenti di tahap copy-paste ide, bukan creating meaning.

Melalui pendekatan MICt-Met (Meaningful, Integrity-based, Critical, transformative Method), menulis perlu dipahami bukan sebagai produk akhir, tetapi sebagai proses transformasi diri. Dari proses itu, lahirlah tiga pembelajaran mendalam:

Pertama: Proses Menulis adalah Latihan Berpikir; Ketika seseorang menulis, ia tidak hanya menyusun kata, tetapi menyusun pikiran. Ia belajar membedakan antara opini dan argumen, antara data dan asumsi. Proses ini membentuk discipline of mind kemampuan berpikir runtut, logis, dan jujur. Dalam dunia akademik, kemampuan berpikir ini jauh lebih berharga daripada sekadar lembar tugas yang dinilai angka. Menulis berarti melatih kesabaran intelektual: berpikir, menghapus, menulis ulang, hingga menemukan bentuk yang utuh.

Kedua: Proses Menulis adalah Cermin Integritas; Ketika mahasiswa menulis dengan terburu-buru, hasilnya sering dangkal dan penuh kutipan tanpa makna. Tetapi ketika menulis dijalani dengan refleksi, muncul kesadaran moral: Apakah tulisan ini benar? Apakah saya jujur terhadap sumber dan gagasan sendiri?Integritas akademik tidak dibangun dari hasil yang “sempurna”, tetapi dari keberanian untuk jujur dalam proses. Tulisan yang jujur mungkin tidak selalu indah, tetapi memiliki roh: ketulusan penulisnya.

Ketiga: Proses Menulis adalah Jalan Menemukan Diri; Setiap tulisan sejatinya adalah percakapan dengan diri sendiri. Saat seseorang menulis, ia bertanya: Apa yang sebenarnya saya yakini? Mengapa saya berpikir demikian? Dari sinilah muncul kejelasan arah dan makna hidup akademik. Menulis, dengan demikian, bukan sekadar keterampilan, tetapi perjalanan spiritual. Ia melatih kesadaran, kerendahan hati, dan kepekaan terhadap realitas sosial.

Kini, ketika komunitas Pena Berkarya Bersama (PBB) telah berusia satu bulan dengan 1.042 anggota aktif, pertanyaannya bukan sekadar “berapa banyak yang menulis?”, tetapi “berapa banyak yang menemukan makna dari proses menulis itu sendiri?”. Menulis bukanlah lomba hasil cepat, melainkan latihan membangun makna dan kejujuran. Hasil bisa berubah, nilai bisa naik turun, tetapi proses menulis yang jujur akan selalu meninggalkan jejak pada diri penulisnya: jejak berpikir, beriman, dan berintegritas.

Mungkin, itulah rahasia sederhana di balik menulis yang bermakna. Bahwa dalam setiap proses, ada nilai yang lebih tinggi dari sekadar produk. Dan dalam setiap kata yang jujur, ada perjalanan menemukan diri. Wallahu A’lam.

_______________

*) Tulisan ini, mengingatkan Satu bulan PBB berkiprah (16 September-16 Oktober 2025)

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
1 Orang menyukai Artikel Ini
avatar