
Oleh: A. Rusdiana
Sumber: tersedia di Menulis adalah Bentuk Perjuanganku Menemukan Jati Diri,
Fenomena media digital kini menjadikan siapa pun bisa menulis. Namun, di tengah derasnya konten, kita sering lupa: apakah tulisan kita masih berbicara tentang “siapa diri kita”? Teori ekspresi diri dalam literasi seperti dikemukakan oleh James Britton (1970) dan Peter Elbow (1973) menekankan bahwa menulis bukan semata komunikasi, melainkan proses menemukan diri dan posisi kita di dunia. Masih, banyak mahasiswa dan anggota komunitas menulis hanya untuk memenuhi tugas, bukan untuk memahami atau mengartikulasikan diri. Padahal, menulis sebagai ekspresi identitas dan pandangan dunia justru melahirkan otentisitas sebuah kejujuran intelektual yang menjadi fondasi peradaban literasi. Komunitas Pena Berkarya Bersama (PBB) yang berdiri sejak 16 September 2025, kini genap sebulan dengan 1.198 anggota, menjadi ruang penting untuk menghidupkan semangat menulis yang reflektif, dialogis, dan berakar pada pengalaman hidup. Berikut tiga pembelajaran untuk Komunitas Menulis:
Pertama: Menulis sebagai Cermin Identitas; Menulis adalah tindakan reflektif: setiap kata mencerminkan pengalaman, nilai, dan keyakinan. Di sinilah identitas intelektual tumbuh. Komunitas PBB dapat mendorong anggotanya untuk bertanya, “Siapa saya dalam tulisan ini?” pertanyaan sederhana namun bermakna. Misalnya, saat menulis tentang pendidikan, seseorang tak hanya berbagi opini, tetapi juga memotret pengalaman belajar yang membentuknya. Identitas penulis tumbuh ketika keberanian bercerita sejalan dengan kejujuran berpikir.
Kedua: Menulis sebagai Dialog Pandangan Dunia; Tulisan yang baik tidak berhenti pada “aku”, tetapi menyapa “kita”. Pandangan dunia terbentuk dari pertemuan antar gagasan. Melalui ruang digital komunitas, anggota PBB dapat saling menanggapi, memberi umpan balik, dan memperluas horizon berpikir. Diskusi yang sehat melahirkan ekosistem literasi yang inklusif. Di titik ini, menulis menjadi tindakan sosial menghubungkan ide personal dengan realitas kolektif. Dunia yang majemuk justru memperkaya cara kita menafsirkan makna hidup.
Ketiga: Menulis sebagai Jalan Perubahan; Setiap tulisan, sekecil apa pun, menyimpan potensi untuk menggerakkan. Dari sekadar catatan reflektif bisa tumbuh kesadaran sosial; dari opini pribadi lahir gagasan kebijakan. Komunitas PBB dapat menjadi inkubator bagi karya yang menumbuhkan empati dan aksi. Pembelajaran ini mengajak anggota tidak berhenti pada ekspresi, tetapi melangkah ke transformasi: apa yang ingin saya ubah melalui tulisan ini? Inilah esensi menulis yang progresif mengubah diri, lalu dunia.
Menulis sebagai ekspresi identitas dan pandangan dunia bukan sekadar gaya, melainkan tanggung jawab intelektual. Komunitas PBB perlu terus menumbuhkan budaya reflektif: menulis bukan untuk pamer kata, tetapi untuk membangun makna bersama. Rekomendasi: 1) Setiap anggot didorong membuat refleksi bulanan tentang apa yang dipelajari dari tulisan sendiri; 2) PBB perlu mengadakan “Dialog Tulisan” forum saling baca dan diskusi antaranggota; 3) Gunakan tulisan untuk menyuarakan isu-isu kemanusiaan, pendidikan, dan masa depan bangsa agar komunitas ini bukan sekadar tempat menulis, tetapi tempat bertumbuh.
Akhirnya, bertambahnya anggota bukan sekadar statistik, tetapi pertanda bahwa semakin banyak jiwa yang ingin mengenali diri dan menafsirkan dunia lewat tulisan. Wallahu A’lam.