Pilih Close Ending, Twist Ending atau Cliffhanger? Penutup cerita menjadi kunci keberhasilan sebuah cerita pendek. Setiap penulis tentu ingin memberi kesan mendalam pada pembaca dan biasanya akan dimaksimalkan pada bagian akhir.
Tetapi mana yang lebih baik, akhir cerita yang menjawab semua pertanyaan atau kesimpulan, yang mengejutkan dan tidak terduga, atau tanpa kesimpulan alias digantung?
Tentu ini bukan pilihan terkait baik dan buruk. Semua memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Twist ending memang bisa menjadi klimaks sebuah cerita. Karena klimaks sudah diakhir, maka tidak ada lagi antiklimaks. Pembaca tidak diberi “tangga” untuk menurunkan ketegangan cerita. Terkesan mendadak dan bikin syok.
Cliffhanger juga tidak kalah berkesan jika pandai memainkan ritme atau plot ceritanya. Pembaca akan bertanya-tanya bagaimana kelanjutan cerita antar tokoh, dan kemudian menyimpulkan sendiri sesuai persepsinya berdasar pemahaman cerita.
Hal itu tidak ditemukan dalam close ending. Konflik cerita dituntaskan melalui sebuah kesimpulan yang tuntas. Persoalannya, seringkali “kemauan” penulis berbeda dengan harapan atau ekspektasi pembaca. Maunya pembaca happy ending, tapi penulis menutup ceritanya dengan akhir yang tragis, misalnya.
Pilihan akhir cerita sebaiknya disesuaikan dengan genre. Untuk cerita-cerita horor, thriller, dan detektif, mungkin lebih pas menggunakan twist ending.
Cerpen horor berjudul “Lelaku Ajian Jaran Goyang” karya Lilik Fatimah Azzahra memiliki penutup yang benar-benar tidak terduga. Silakan baca di risalahmisteri.com
Namun untuk cerita roman, slice of life, dan sejenisnya, akan lebih cocok menggunakan akhir yang datar, baik berupa kesimpulan maupun cliffhanger. Oleh karenanya, klimaks sudah terjadi di tengah, atau bahkan di awal cerita, sehingga endingnya menjadi antiklimak.
Selamat mencoba