Menulis dengan Tubuh: Saat Trauma Lepas Lewat Coretan dan Gerakan

2025-03-08 21:43:55 | Diperbaharui: 2025-03-08 21:43:55
Menulis dengan Tubuh: Saat Trauma Lepas Lewat Coretan dan Gerakan
ilustrasi (sumber: pinterest/ maraelisabeta)

Kamu mungkin mengira menulis hanya soal duduk diam, menekan pena di atas kertas, atau mengetik di laptop. Tapi bagaimana kalau aku bilang ada cara menulis yang melibatkan tubuh? Bukan sekadar mencoret di jurnal, tapi benar-benar menulis dengan tubuhmu—dengan gerakan, ekspresi, bahkan tarian. Terdengar aneh? Mungkin. Tapi metode ini sedang ramai dibahas di kalangan terapis sebagai teknik baru untuk melepaskan trauma yang tersimpan di tubuh.

Trauma Tertanam dalam Tubuh

Siapa sangka, tubuh kita punya ingatan yang lebih kuat daripada yang kita sadari. Kalau pernah mengalami sesuatu yang menyakitkan—kehilangan, kegagalan, pengkhianatan—bukan hanya otak yang mengingat, tapi juga tubuh. Otot-otot menegang, napas jadi pendek, bahu naik tanpa sadar. Ini bukan sekadar "perasaan," tapi cara tubuh menyimpan luka.

Peter Levine, seorang pakar trauma, menyebut bahwa tubuh kita sering kali "membekukan" respons emosional yang belum terselesaikan. Maka, trauma bukan hanya soal pikiran yang dihantui kenangan buruk, tapi juga soal tubuh yang tak diberi kesempatan untuk melepaskannya.

Nah, di sinilah konsep menulis dengan tubuh masuk.

Coretan yang Bukan Sekadar Coretan

Pernah nggak sih kamu merasa sulit merangkai kata saat sedang stres? Mungkin karena otakmu terlalu sibuk memilah emosi yang berantakan. Nah, daripada memaksa diri untuk menulis jurnal dengan kata-kata rapi, coba mulai dengan mencoret-coret.

Ambil kertas besar, pulpen atau krayon, lalu coret saja sesukamu. Bisa dalam bentuk garis, lingkaran, atau bahkan simbol-simbol yang hanya kamu yang mengerti. Jangan pikirkan tata bahasa atau makna, biarkan tanganmu bergerak tanpa rencana.

Coretan ini bukan cuma aksi iseng. Penelitian menunjukkan bahwa ekspresi seni tanpa aturan bisa membantu mengakses emosi yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Intinya, kalau hati nggak bisa bicara, biarkan tangan yang berbicara.

Menulis Lewat Gerakan

Kalau menulis dengan tangan masih terasa membatasi, coba gunakan seluruh tubuh. Teknik ini mirip dengan dance therapy, di mana gerakan bebas digunakan untuk melepaskan ketegangan emosional. Kamu nggak perlu jadi penari profesional. Cukup putar lagu instrumental, tutup mata, dan biarkan tubuhmu bergerak mengikuti ritme emosimu.

Misalnya, kalau kamu merasa marah, coba pukulkan kaki ke lantai, biarkan energinya keluar. Kalau sedang sedih, coba gerakkan tangan dengan lembut, seolah sedang menulis di udara.

Banyak orang melaporkan bahwa setelah melakukan gerakan ini, mereka merasa lebih ringan. Kenapa? Karena tubuh akhirnya diberi kesempatan untuk melepaskan apa yang selama ini ia pendam.

Apakah Ini Benar-Benar Bekerja?

Metode ini bukan sekadar teori eksotis. Banyak terapi berbasis gerakan seperti Somatic Experiencing dan Dance Movement Therapy yang sudah terbukti membantu orang dengan PTSD dan kecemasan kronis.

Selain itu, menulis dengan tubuh bisa membantu kita menghindari perangkap perfeksionisme. Kadang kita terlalu takut salah dalam menulis, takut tulisan jelek, takut nggak nyambung. Tapi kalau medianya adalah coretan atau gerakan, tidak ada standar benar atau salah. Semuanya hanya tentang ekspresi.

Jadi, Bagaimana Cara Memulainya?

Nggak ada aturan baku, tapi kamu bisa coba langkah ini:

  1. Siapkan ruang aman – Ambil kertas besar atau kosongkan sedikit ruang di kamar.
  2. Pilih medianya – Mau mencoret di kertas atau bergerak? Bisa juga kombinasi keduanya.
  3. Mulai tanpa ekspektasi – Jangan pusing soal hasilnya. Fokus pada perasaan yang muncul.
  4. Amati efeknya – Setelah selesai, bagaimana perasaanmu? Lebih lega? Atau malah muncul emosi baru? Semua itu adalah bagian dari proses.
  5. Jadikan kebiasaan – Semakin sering dilakukan, semakin tubuhmu terbiasa untuk mengeluarkan emosi dengan cara yang sehat.

 

Kita sering berpikir bahwa trauma hanya bisa diatasi dengan berbicara atau menulis. Tapi terkadang, kata-kata tidak cukup. Kadang, tubuhlah yang perlu "berbicara" lebih dulu sebelum pikiran bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Jadi, kalau kamu merasa ada yang mengganjal di dalam diri, cobalah metode ini. Menulis tidak selalu soal kata-kata. Kadang, coretan yang tidak beraturan dan gerakan tanpa bentuk justru bisa mengungkapkan lebih banyak dari yang bisa diungkapkan oleh ribuan paragraf.

 

Bukankah itu tujuan sejati dari menulis? Bukan sekadar menghasilkan teks, tapi menemukan diri.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
2 Orang menyukai Artikel Ini
avatar