Pernah merasa kalau kamu terlalu takut jujur menulis tentang dirimu sendiri? Atau setiap kali ingin mencurahkan isi hati, kamu malah bingung harus mulai dari mana? Tenang, kamu tidak sendiri. Banyak orang merasa menulis tentang diri sendiri terlalu berat, terlalu telanjang, terlalu menguak luka, terlalu... jujur.
Tapi bagaimana kalau kamu menulis sebagai orang lain? Atau lebih tepatnya, sebagai versi fiksi dari dirimu sendiri?
Ya, kamu bisa menciptakan satu karakter. Namanya terserah kamu. Dia bisa berumur sama denganmu, punya pekerjaan yang mirip, atau justru tinggal di dunia fiksi dengan latar belakang yang lebih dramatis. Tapi satu hal yang membedakan: dia sedikit lebih berani, lebih sabar, lebih dewasa, atau bahkan lebih kacau dari kamu.
Dengan menulis sebagai dirinya, kamu memberi jarak antara dirimu dan luka-luka yang terlalu sulit diungkapkan. Kamu tetap menulis tentang kesedihanmu, tapi kini sebagai cerita orang lain. Menarik, kan?
Secara psikologis, teknik ini disebut "externalization" atau pelepasan. Kamu memindahkan narasi dari diri ke objek lain, dalam hal ini, si karakter. Ini membuatmu lebih bebas berbicara tanpa takut dihakimi, karena seolah-olah yang sedang kamu tulis bukan kamu, melainkan si tokoh fiksi.
Menulis sebagai karakter fiksi bisa membantumu:
-
Mengurai emosi yang rumit
-
Menyusun perasaan yang semula tak bisa dijelaskan
-
Melihat pola pikir dan luka lama dari sudut pandang yang lebih netral
-
Memberi dirimu izin untuk merasa, tanpa tekanan untuk langsung sembuh
Misalnya begini. Kamu sedang merasa kecewa karena ditinggal seseorang yang kamu percaya. Tapi kamu terlalu takut terlihat lemah kalau menulis jujur soal itu. Nah, kamu bisa menulis cerita tentang karakter bernama Kay yang ditinggal oleh sahabat karibnya karena pindah kota. Lalu kamu tuliskan betapa Kay merasa kosong, kesepian, dan takut kehilangan orang lain lagi.
Padahal ya, Kay itu kamu juga. Hanya saja dengan baju yang berbeda.
Kadang kita butuh menyamarkan rasa untuk bisa mengakui keberadaannya. Sama seperti kamu yang mungkin malu mengaku rindu, tapi bisa bilang, "Karakterku sedang bingung kenapa rasanya kosong saat hujan turun."
Metode ini bukan hanya aman, tapi juga sangat kreatif. Kamu bisa mengeksplorasi banyak hal: bagaimana karakter itu bertumbuh, bagaimana dia belajar memaafkan, bagaimana dia gagal, jatuh, bangkit lagi. Tanpa sadar, kamu sedang menuliskan perjalananmu sendiri.
Dan percayalah, proses ini akan membuatmu lebih peka terhadap dirimu sendiri. Tiba-tiba kamu akan sadar, "Oh, ternyata aku marah karena merasa tak didengar." Atau, "Ternyata aku takut gagal karena pernah diremehkan waktu kecil."
Inilah menulis sebagai terapi yang tidak terasa seperti terapi. Kamu sedang bermain peran dengan pena dan kertas. Kamu sedang menipu otakmu sendiri agar lebih jujur, lebih terbuka.
Kamu tidak harus menulis dengan indah. Kamu hanya perlu menulis dengan jujur, lewat suara tokohmu. Semakin kamu membiarkan karakter itu bercerita, semakin kamu mengenal suara hatimu sendiri.
Dan siapa tahu, suatu hari kamu akan membaca ulang tulisan-tulisan itu dan menyadari: "Karakter ini tidak hanya mirip aku. Dia adalah aku yang sedang belajar mencintai dirinya sendiri."
Karena pada akhirnya, menulis bukan soal menyusun kata, tapi soal mendengarkan diri sendiri. Dan kadang, untuk bisa mendengar dengan jernih, kita harus bicara lewat suara orang lain dulu.
"Terkadang, untuk benar-benar jujur pada diri sendiri, kamu harus berpura-pura menjadi orang lain."