Hi, Koteker dan Kompasianer, apa kabar? Masih sehat dan bahagia, bukan.
Sabtu lalu, Komunitas Traveler Kompasiana dan Perempuan Berkebaya Indonesia - EU sudah mengajak kalian menyimak informasi terbaru, dikukuhkannya kebaya sebagai salah satu warisan budaya tak benda UNESCO. Selamat dan sukses untuk Indonesia.
Hadir di studio, ketua PBI-Eropa, Christiana Dessynta Siswijana Streiff di Swiss yang awalnya menceritakan kepada kita tentang kegiatan terakhir jalan-jalannya. Yakni, ke Bali, Jakarta, Bandung, Salatiga, Bogor, Semarang dan Yogyakarta. Kunjungan ke kota-kota tersebut sehubungan dengan kegiatan PBI, menyemangati teman-teman yang giat memakai kebaya dan melestarikan budaya Indonesia ini dari tingkat lokal.
Dan berita baik dari UNESCO itu menurut mbak Chris tidak hanya sebagai hadiah natal terindah baginya, tapi juga sebagai semangat baru di tahun 2025 untuk semakin berjuang mengangkat nama kebaya Indonesia di kancah internasional. Kemudian, lulusan S2 communication management Bond University di Australia itu juga bangga bahwa di KBRI Bern terselenggara kegiatan pameran kebaya koleksi miliknya. Ini tentu saja menjadi soft diplomacy yang bagus di negeri orang. Koleksi wastra dan kebayanya nggak hanya dimiliki mbak Chris pribadi tapi menjadi wawasan baru bagi sebagian besar orang asing di sana yang belum pernah melihat kekayaan budaya bangsa kita itu. Selain itu rupanya ada acara Indonesia seperti cooking craft dan atraksi tarian. Acara yang melibatkan PPI Ceko itu di antaranya membuat prakarya berupa kebaya. Mbak Erika, PBI di Ceko berhasil mengajarkan kuliner di kelas 1-9. Dia adalah salah satu guru bahasa Inggris di sekolah gabungan tersebut. Seru, ya.
Kegiatan ke depan PBI-EU adalah di Skandinavia pada akhir bulan Januari dan jalan-jalan ke Paris pada bulan Februari. Selain untuk menyemangati diri, sebagai pertemuan PBI dan supaya setiap orang yang suka berkebaya sambil jalan-jalan semakin PD. Ini juga merupakan rasa terima kasih PBI kepada UNESCO, yang markasnya ada di Paris. Makanya ada acara anjangsana ke sana! Menurutnya, pakai kebaya itu nggak perlu ribet, yang penting keinginan untuk memakainya di setiap kesempatan. Sedang traveling pun, OK. Inspiratif, ya?
Oh, ya, tahun lalu, mbak Chris sudah membeberkan perjuangan Indonesia untuk mendaftarkan kebaya ke UNESCO lewat Kotekatalk-186 tanggal 26 Juli 2024. Akhirnya Desember tahun 2024, kebaya Krancang (encim yang 3/4 dan 4/4) dan kebaya Laboh diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Pendaftaraan berbarengan dengan negara ASEAN lain seperti Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam dan Thailand. Luar biasa.
Siapa tahu kebaya Indonesia bisa single nomination? Kata mbak Chris, ini mungkin saja diajukan. Misalnya kebaya janggan, yang menjadi tren setelah film "Gadis Kretek" rilis. Segera patenkan? Mengapa tidak! Sebelum ada yang mengklaim, bukan? PBI sendiri sudah menjadikan kebaya janggan sebagai seragam.
Apakah kebaya bisa mengangkat sektor pariwisata dari segi omset oleh-oleh? Menurut ketua PBI - EU yang mendapat Anugerah Perempuan Berkebaya 2021 itu, ini bisa terjadi. Di Bali, ia melihat banyak UMKM yang menjual oleh-oleh kebaya. Apalagi kebaya Bali dibuat menarik. Belum lagi di Ambarawa, Solo dan Yogyakarta. Di mana-mana, banyak yang menjual kebaya. Ini menjadi alternatif oleh-oleh yang bagus, selain kuliner, bagi mereka yang menyukai fashion.
Ketika ditanya moderator Gana Stegmann, apakah mungkin kebaya menjadi pakaian sehari-hari atau dipakai setiap hari seperti zaman dulu, mbak Chris menyerahkan kepada pribadi masing-masing. Kalau memang bisa mengapa tidak? Jika tidak bisa, tidak usah dipaksakan.
Ditambahkan perempuan berambut ikal tersebut, ia bangga memakai kebaya kapanpun dan di manapun. Jadi nggak heran, walau sedang travel, kebaya dipadukannya dengan jeans atau rok modern. Asal serasi, nyaman dan aman, ia nggak ragu. Bagaimana dengan kalian?
Melestarikan budaya negeri dan mempromosikannya dari waktu ke waktu adalah salah satu tujuannya. Ia sendiri bangga bahwa anak perempuannya menyukai kebaya juga. Bahkan kebaya yang disukai bukan modern tapi klasik. Apakah ini karena sejak kecil anaknya sudah dikenalkan dengan adat Indonesia? Putrinya pernah menjalani prosesi turun tanah. Adat turun tanah biasa dilakukan masyarakat Jawa, saat anak berusia 7 bulan, di mana itu pertama kali merambah tanah, disertai perlengkapan seperti kurungan ayam. Celin memakai kebaya merah waktu itu. Menurut mbak Chris ini mempengaruhi pribadi anaknya ketika beranjak dewasa.
Hadir sebagai peserta zoom Kotekatalk-210 tidak hanya Koteker, traveler yang menulis di Kompasiana.com seperti pak Sutiono di Jakarta, pak Suharyadi di Bandung, Eka dan Bahrudin di Banjarmasin, mbak Siti di Bonn, Farissa di Aceh tapi juga para anggota PBI seperti mbak Ni Luh di Jerman, mbak Jeny di Belanda dan mbak Ika yang sedang berlayar dengan kapalnya dan sedang mampir di dermaga Belanda. Zoom menjadi semakin meriah. Serasa dunia menjadi kecil, pertemuan dalam satu link.
Dari Swiss, Mimin mengundang kalian ke Indonesia. Kali ini ada mbak Siti Asiyah yang sedang berada di Indonesia akan menceritakan keseruan nostalgia di Jalan Jaksa Jakarta. Jalan ini dulu sangat terkenal sebagai pemukiman para backpacker. Sayang, kini tinggal kenangan. Jalan spanjang 400 meter di kawasan Menteng itu, dulu banyak tempat-tempat orang asing menginap. Konon, kawasan ini dulu menjadi tempat tinggal para mahasiswa Hogeschool atau Sekolah Hukum Batavia. Mereka itu calon jaksa, sehingga jalannya dinamakan jalan Jaksa. Dulu, penginapan murah di sana. Hanya dengan 2 dollar Amerika, atau waktu itu Rp 250,00/malam bisa menginap. Sampai kemudian jalan Jaksa dikenal dari event International Youth Hostel Federation pada tahun 1972 dan direkomendasikan di buku Lonely Planet sebagai tempat menginap para backpacker. Sayang sekali sudah redup masa kejayaan jalan ini.
Makanya, untuk tahu lebih jauh bagaimana kondisinya saat ini, admin Koteka yang sudah ke sana baru-baru ini, akan berbagi. Mari bergabung pada:
- Hari/Tanggal: Sabtu, 18 Januari 2025
- Pukul: 16.00 WIB Jakarta atau 10.00 CET Berlin
- Link: DI SINI
Bagaimana rasanya menyusuri jalan legendaris di Jakarta? Apa yang lain dibandingkan dengan zaman dulu? Apa yang bisa dilakukan ketika berada di sana? Kuliner khas apa yang bisa dicicipi di sana? Apakah masih banyak orang asing khususnya backpacker yang ke sana? Bagaimana dengan transportasinya. Mengingat lokasinya dekat dengan Monas dan stasiun, apakah tempat ini benar strategis untuk traveler? Apa yang harus ditingkatkan dari tempat ini? Apakah jalan Jaksa bisa kembali seperti dulu lagi? Apa yang dilakukan mbak Siti selama di sana?
Penasaran? Untuk tahu jawabannya, hadir ramai-ramai, yuk!
"Ke Bogor jangan lupa mampir ke istana. Di Bogor ada bunga Raflesia. Bersama Komunitas Kompasiana, kita bangkitkan pariwisata Indonesia" (Menparekraf RI, Sandiaga Uno, Kotekatalk-83, 2 April 2022).
Sampai jumpa Sabtu.
Salam Koteka. (GS)