Hi, Koteker dan Kompasianer. Apa kabar? Masih sehat dan bahagia, bukan?
Sabtu lalu, Komunitas Traveler Kompasiana dan Pesanggrahan Indonesia e.V sudah mengajak kalian untuk menikmati Kotekatalk-213 bersama Mivi Slivka. Diaspora Aceh di Swiss itu sudah menceritakan pengalamannya membuat tempe bersama suaminya di musim dingin Swiss.
Perempuan yang mengenakan jilbab itu mengaku bahwa membuat tempe karena suaminya sangat menggilai makanan berprotein nabati itu. Dia sendiri lebih suka tahu. Sebenarnya di Swiss ada toko Asia yang menjual tempe buatan Belanda, tapi stok selalu habis, mungkin karena diborong orang. Makanya ada ide membuat sendiri. Untuk bahan kedelai ia beli di Swiss, sedangkan ragi dari Indonesia. Ia pikir, ragi diperbolehkan masuk ke Swiss, mengingat juga dijual online.
Anehnya, ketika pertama kali membuat langsung jadi. Yang kedua kalinya membuat tempe, justru gagal karena busuk.
Ketika ditanya, perempuan yang pindah ke Swiss sejak 2021 itu menjawab belum ada pikiran untuk membuat UMKM tempe. Hanya saja, influencer di instagram itu sudah mencoba membuat tempe dengan sistem POD, pesan dulu. Akhir-akhir ini, ia sedang getol membuat rempeyek. Pinggangnya rasanya mau patah, karena masaknya berjam-jam, harus sabar. Mana makannya cepat, sebentar sudah habis.
Katanya lagi, tips untuk membuat tempe sesuai pengalaman yakni:
- Kedelai harus kering
- warna tempe jangan sampai berubah hitam
- Simpan di suhu kamar
- Tempat penyimpanan bisa di bawah dipan atau di laci lemari
- Lama penyimpanan sampai jadi rata-rata 3 hari dua malam
Di Swiss sendiri, tempe sebenarnya bukan hal yang asing lagi. Rupanya, ada sebuah restoran yang buka order pembelian tempe. lho. Bisa pesan, dong! Belum lagi kakak iparnya yang ternyata juga penyantap tempe. Nggak hanya suami saja. Cocok sekali jika membeli tempe atau lebih baik lagi, membuatnya sendiri. Ada rasa bangga menyelip di dada. Sayang, anak belum suka masakan harian nusantara ini. Mungkin karena masih kecil. Nanti kalau sudah dewasa, siapa tahu jadi tergantung sama tempe.
Yup, bagi kalian yang hanya menyukai tempe sebagai tempe goreng atau tempe mendoan, Mivi menganjurkan untuk mengolah masakan berbahan tempe menjadi:
- semur
- digado mentah juga enak
- tempe penyet
- orak-arik
Gimana, ngiler, kan? Buruan cari resepnya di internet. Nggak dosa untuk mencoba dan gatot. Eaaa, coba lagi!
Selain itu tentang travel. Mivi ternyata sangat menyukai gunung. Hobi ini cocok banget karena Swiss adalah negeri yang sangat kaya akan gunung, perbukitan dan danau. Gunung adalah tempat healing-nya. Walau nggak ada pantai, ia yakin orang Swiss nggak sedih karena mereka punya danau yang indah. Di musim panas, banyak orang berjemur di sana, seperti mereka di Indonesia yang mandi matahari di atas pasir pantai. Kamu kalau kangen pantai, gimana? Jangan peluk Mimin, ya.
Dari Swiss, Mimin ajak kalian balik ke Indonesia. Masih seri "Wonderful Indonesia", ada Ajeng Leodita. Kompasianer yang sangat menyukai kuliner, travel dan menulis puisi itu baru-baru ini mendirikan gerobak. Warung seafood OIY ia buka bersama suami. Sebagai dukungan terhadap UMKM, apalagi sesama Kompasianer, Koteka mengajak Kompasianer untuk mencicipi masakannya, sekaligus acara syukuran bahwa Koteka telah dinobatkan sebagai "The Best Community" dalam pesta blogger Kompasianival pada November 2024. Tujuh orang hadir untuk membuktikan lezatnya kuliner nusantara dari tangan Kompasianer cantik yang juga sering menjadi EO itu. Kamu kapan? Masukkan ke kalender, biar tidak lupa. Maklum, manusia tempatnya alpa.
Eh, bagaimana ide awal membuat gerobak atau warung ini, sih? Mengapa dipilih lokasi di kolong jembatan Jatiasih Bekasi? Berapa modalnya? Apa yang istimewa dari skatepark itu, sih? Apa yang bisa dinikmati turis lokal yang ingin berkunjung ke sana? Apa yang kudu ditingkatkan dari tempat itu? Katanya toilet harus ke SPU, jauh nggak sih? Namanya makan dan minum pasti ada kebutuhan untuk ke belakang. Bagaimana dukungan pemda setempat? Apa saja menu yang dipilih untuk merayu konsumen duduk dan makan? Berapa patokan harga masakan mbak Ajeng? Apa yang membedakan warung mbak Ajeng dengan warung lainnya? Bagaimana kalau hujan dan banjir? Kalau banyak bahan makanan yang masih tersisa, konon dibagikan ke orang-orang yang membutuhkan. Mengapa demikian? Mulai dari nasi goreng sampai seafood bagaimana cara mendapatkan bahannya?
Untuk tahu jawabannya, simak perbincangan bersama mbak Ajeng pada:
- Hari/tanggal: Minggu, 9 Februari 2025
- Pukul: 16.00 WIB Jakarta/ 10 CET Berlin
- Link zoom: Di SINI
"Ke Bogor jangan lupa mampir ke istana. Di Bogor ada bunga Raflesia. Bersama Komunitas Traveler Kompasiana, kita bangkitkan pariwisata Indonesia" (Menparekraf RI Sandiaga Uno dalam Kotekatalk-83, 2 April 2022).
Jumpa Minggu, ya.
Salam Koteka. (GS)