Pentingnya Riset Sebelum Menulis Novel Sastra

2023-12-16 08:28:35 | Diperbaharui: 2023-12-16 08:28:35
Pentingnya Riset Sebelum Menulis Novel Sastra
Ilustrasi cover novel PRASA: Operasi Tanpa Nama. Foto: Dokpri

Jika novel populer hasil imajinasi, mungkin dibumbui sedikit pengalaman penulisnya, tidak demikian halnya dengan karya sastra. Oleh karenanya penulis karya sastra membutuhkan riset pada objek yang dijadikan tema. Dari sinilah orisionalitas cerita dibangun.

Mengapa butuh riset? Pertama, karya sastra ditulis secara detail, mendalam. Ketika membaca Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer, kita bisa menangkap gambaran suasana era kolonial.  Demikian juga saat kita membaca Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari.  Suasana pedesaaan Banyumas tahun 70-an begitu kental.

Ketika menulis Kelir, aku juga melakukan riset, meski kecil-kecilan, dengan mengunjungi sejumlah tempat yang dikeramatkan masyarakat.  Dari sanalah aku bisa menggambarkan suasana padepokan Kejawen, juga makam yang dikeramatkan.

Ketika membedah novel Kelir, Sunu Wasono, dosen budaya dari Universitas Indonesia, mengakui ada banyak hal yang baru diketahui. Meski menyebut penjelasan tentang ajaran Sabdo Sejati kurang detail, Sunu menyebut Kelir membawa tema baru yang memperkaya karya sastra Indonesia.

Kedua, penulis harus lebih paham dari pembacanya. Misalnya ketika menulis suasana dalam hutan. Jika penulisnya hanya melihat video hutan di YouTube, pasti hasilnya akan menjadi bahan tertawaan oleh mereka yang benar-benar pernah masuk ke dalam hutan. Sebab “rasa” hutan tidak akan tertangkap jika hanya melihat dari video.

Mungkin aku bisa melihat suasana pementasan wayang kulit dari video. Tapi ada banyak hal yang tidak tertangkap kamera di sekitar pementasan, semisal penjual kacang rebus yang tengah terkantuk-kantuk, bocah kecil yang tertidur dalam balutan sarung, dll.

Ketiga, penulis sastra tidak bisa mendapatkan data hanya dari mendengar cerita orang karena bisa saja ceritanya mengalami distorsi, ada penambahan atau pengurangan karena bersifat subjektif.

Contoh kesalahan paling fatal aku terjadi dalam novel PRASA: Operasi Tanpa Nama. Pada cetakan pertama , aku menulis Jenderal Progo dimakamkan dalam peti mati. Akibatnya aku diprotes karena Jenderal Progo disebutkan sebagai Muslim. Dalam Islam, jenasah harus dikeluarkan dari peti, kecuali dalam kondisi tertentu, seperti si mati menderita penyakit menular. Padahal dalam novel itu, Jenderal Progo diceritakan meninggal bukan karena penyakit menular.

Demikian beberapa contoh pentingnya riset ketika hendak menulis karya yang berbobot.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
2 Orang menyukai Artikel Ini
avatar