6 Teknik Menulis Puisi Ekologi

2025-08-03 21:55:36 | Diperbaharui: 2025-08-03 21:56:42
6 Teknik Menulis Puisi Ekologi
Puisi ekologi (Foto: Freepik)

Segala yang hidup menyimpan puisi. Kita hanya perlu diam sejenak untuk mendengarkan. Begitulah kira-kira puisi alam, atau disebut juga puisi ekologi. Puisi ini tumbuh dari hubungan kita dengan alam, entah karena kagum, renungan, atau jeritan hati. 

Di tengah krisis iklim, deforestasi, dan kerusakan lingkungan, puisi bisa menjadi medium sunyi namun ampuh untuk menyuarakan yang tak bersuara, mulai dari hutan, sungai, kabut, tanah yang digusur. Berbeda dari slogan atau poster, puisi menyelinap masuk ke dalam rasa, membuka ruang untuk empati.

Puisi lingkungan tidak selalu harus keras. Kadang cukup satu baris sunyi tentang daun jatuh bisa menggugah lebih dari seribu data. Puisi-puisi bertema alam setidaknya memiliki empat fungsi:

  • Mengasah kesadaran ekologis
  • Melatih sensitivitas indrawi
  • Menyuarakan eco-justice
  • Merekam jejak alam sebagai memori juga harapan

Selanjutnya, kita akan mengeksplorasi teknik-teknik kunci agar puisi ekologi yang kita tulis bisa indah, bermakna, sekaligus menggugah.

1. Teknik imagery

Ini disebut juga menulis lewat pancaindra. Dalam puisi ekologi, teknik imageri atau pencitraan ini menjadi jalan utama supaya pembaca bisa "merasakan" alam, bukan sekadar membacanya.

Setidaknya ada lima jenis pencitraan, yaitu visual (apa yang dilihat), auditorik (apa yang didengar), taktik (apa yang disentuh atau dirasakan kulit), penciuman (bau), dan rasa.

Contoh:

  • Kabut menelan pucuk pinus satu per satu --> Visual
  • Kudengar lenguh angin di sela bambu tua --> auditorik
  • Licin lumut di punggung batu --> taktil
  • Bau tanah basah setelah hujan pertama --> penciuman

2. Teknik enjambemen

Enjambemen adalah teknik ketika satu baris puisi tidak berhenti di ujung baris, tapi berlanjut ke baris berikutnya tanpa tanda titik. Fungsinya membuat puisi terasa seperti aliran air, mengalir dan tak terputus. Perhatikan dua contoh berikut ini.

Puisi tanpa enjambemen:

Air terjun jatuh.

Daun-daun basah.

Hening.

Puisi dengan enjambemen:

Air terjun jatuh

membelah sunyi, melesak ke batu

lalu menjadi hening

Apakah kamu bisa merasakan bedanya? Enjambemen menambah dimensi emosional dan dramatik dalam sebuah puisi ekologi.

3. Teknik diksi alam

Diksi adalah pilihan kata. Dalam puisi ekologi, diksi harus organik dan otentik. Hindari terlalu banyak kata abstrak seperti “keindahan," "kesunyian," "kedamaian" jika tidak disertai gambaran konkret. Coba bandingkan dua kalimat puisi berikut ini:

  • Alam ini indah dan damai --> Ini terlalu umum
  • Embun menggantu di bulu daun, diam menanti fajar. --> Ini lebih kuat

Diksi alam itu sumbernya banyak sekali. Dalam puisi ekologi, sumbernya bisa saja dari bahasa lokal atau bahasa daerah, nama-nama tumbuhan dan satwa lokal, plus suara alam.

4. Teknik metafora dan personifikasi

Metafora membuat alam “berbicara” lewat perbandingan kreatif, sementara personifikasi memberi sifat manusia pada unsur alam. Perhatikan dua contoh berikut ini:

  • Hujan adalah sisa tangis gunung --> metafora
  • Sungai meringis di bawah jembatan beton --> personifikasi

5. Teknik ekofrasa

Puisi ekologi tidak melulu kontemplatif. Ia juga bisa menjadi protes lembut. Misalnya puisi tentang pembalakan liar, perampasan tanah, atau kematian satwa.

Puisi tak perlu menjadi pamflet, cukup selipkan frasa yang menyentuh. 

Contoh:

Seekor owa menggantung diam. Dia bukannya sedang tidur, tapi terkejut melihat hutannya hilang.

Teknik ini disebut ekofrasa, yaitu menyisipkan kekecewaan ekologis lewat detail kecil.

6. Teknik struktur bebas

Banyak puisi alam ditulis dengan struktur bebas yang tidak terikat rima atau jumlah suku kata. Meski begitu, tetap harus ada napas atau jeda alaminya.

Cara melakukannya adalah gunakan baris pendek untuk ketegangan, baris panjang untuk mengalirkan emosi, spasi atau pengulangan untuk efek gema.

Contoh:

Aku lihat jejak rasa

di lumpur yang belum kering

Dan kutahu

ia tak akan kembali

Jadi, biarkan matamu menyimak hutan. Biarkan telingamu menangkap desir angin. Lalu, duduklah. Dan biarkan puisi itu datang dari ujung tebing atau dalam hatimu sendiri.***

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar