KETIKA MENULIS MENJADI RUMAH TEMPAT PULANG

2025-12-26 00:06:17 | Diperbaharui: 2025-12-26 00:06:28
KETIKA MENULIS MENJADI RUMAH TEMPAT PULANG
Caption Sumber: Bentang Pustaka, tersedia di https://x.com/bentangpustaka/status/1323876482079322112 (dimodifikasi 26/12/2025)

Ketika Menulis Menjadi Rumah Tempat Pulang

Oleh: A. Rusdiana

“Guru Prof, apa kuncinya ingin kaya Prof? Senang menulis?” Pertanyaan itu datang sederhana, nyaris seperti kelakar. Namun bagi saya, justru di sanalah letak kejujurannya. Bukan tentang kekayaan materi semata, melainkan tentang bagaimana menulis bisa menjadi sumber daya hidup yang berkelanjutan secara batin, intelektual, bahkan ekonomi. Jawabannya mungkin tidak populer: menulis akan bertahan lama bukan karena ambisi, tetapi karena rasa pulang.

Ketika penulis menjadikan menulis sebagai tempat pulang, hubungan dengan kata-kata berubah. Ia tidak lagi berdiri di bawah tekanan target, algoritma, atau validasi. Menulis menjadi ruang aman tempat kembali setelah lelah menjalani peran sosial, akademik, dan profesional. Dari relasi inilah keberlanjutan lahir: bukan karena kewajiban, tetapi karena kebutuhan eksistensial.

Banyak orang berhenti menulis bukan karena kehabisan ide, tetapi karena kehabisan rasa aman. Kata-kata berubah menjadi beban, tulisan menjadi ajang pembuktian, dan halaman kosong terasa seperti pengadilan. Padahal, menulis yang bertahan lama bukan yang dipaksa, melainkan yang memberi ketenangan. Di sanalah kata-kata tidak hanya ditulis, tetapi dialami.

Menariknya, banyak penulis justru kembali produktif ketika mereka berhenti “mengejar tulisan”. Mereka mulai menulis untuk diri sendiri terlebih dahulu. Menulis sebagai bentuk mendengar, bukan berbicara keras-keras. Dalam keheningan itulah tulisan menjadi jujur, dan kejujuran cepat atau lambat selalu menemukan pembacanya.

Dalam perspektif psikologi humanistik, seperti yang diyakini Milton Erickson, setiap individu sejatinya memiliki sumber daya internal untuk berubah dan berkembang. Syaratnya satu: konteks yang mendukung. Dalam dunia menulis, konteks itu adalah suasana batin yang tidak menghakimi. Menulis satu paragraf yang tidak akan dibaca siapa pun pun sudah cukup untuk mengaktifkan kembali hubungan dengan kata-kata.

Di titik ini, menulis tidak lagi ditanya: “berapa yang membaca?”, tetapi “apa yang aku pahami hari ini?”. Dan paradoksnya, justru dari proses inilah karya yang bernilai publik lahir. Tulisan yang tumbuh dari kebutuhan batin cenderung lebih tahan waktu, lebih otentik, dan lebih relevan.

Lalu, bagaimana dengan pertanyaan Dewi: apakah bisa “kaya” dari menulis? Jawaban jujurnya: bisa, tetapi bukan itu pintu masuknya. Kekayaan dalam bentuk apa pun sering datang sebagai efek samping dari konsistensi, ketekunan, dan kejujuran proses. Menulis yang berangkat dari rasa pulang membentuk identitas, reputasi, dan kepercayaan. Dari sanalah peluang ekonomi, akademik, dan sosial mengalir.

Bagi Komunitas Pena Berkarya Bersama (PBB) yang kini beranggotakan 2.372 penulis dengan latar yang beragam, refleksi ini penting. Komunitas bukan hanya ruang berbagi karya, tetapi ruang aman untuk pulang bersama. Tempat di mana menulis tidak selalu harus hebat, tetapi harus jujur.

Sebab pada akhirnya, penulis yang bertahan bukan yang paling cepat terkenal, melainkan yang selalu tahu ke mana harus kembali ketika kata-kata terasa menjauh. Dan rumah itu bernama: menulis dengan hati yang utuh. Wallahu A’lam.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar