Dari Diskusi ke Aksi: Merancang Intervensi bagi Pengguna NAPZA

2025-12-13 14:53:09 | Diperbaharui: 2025-12-13 14:53:09
Dari Diskusi ke Aksi: Merancang Intervensi bagi Pengguna NAPZA
RTL

Diskusi kelompok tentang kebutuhan pengguna NAPZA sering berhenti pada daftar masalah. Namun dalam satu sesi diskusi, peserta didorong melangkah lebih jauh: mengubah analisis menjadi rencana tindak lanjut (RTL) yang konkret dan terukur. Hasilnya adalah pemetaan aksi jangka pendek (3 bulan) dan menengah (6 bulan) yang selaras dengan tahapan perubahan perilaku (Stages of Change).

Papan tulis sederhana yang penuh coretan itu merekam satu hal penting: intervensi tidak bisa seragam. Ia harus mengikuti posisi pengguna dalam proses perubahan.


Membaca Aksi Konkret dari Kerangka Stages of Change

1. RTL 3 Bulan: Menjangkau Mereka yang Masih Jauh dari Layanan (Prekontemplasi – Kontemplasi Awal)

Pada kolom RTL 3 bulan, tercatat tiga aksi utama:

  1. Edukasi digital/campaign tentang harm reduction

  2. Membuat komunitas digital di Kompasiana

  3. Menjalin kerja sama dengan puskesmas terdekat di wilayah tertentu

Jika dibaca melalui kerangka Stages of Change, ketiga aksi ini tidak ditujukan untuk “mengobati”, melainkan menggeser kesadaran.

Pengguna NAPZA yang berada di fase prekontemplasi belum merasa perlu berubah. Banyak dari mereka:

  • tidak percaya pada layanan,

  • takut kriminalisasi,

  • atau merasa penggunaan zat masih bisa dikendalikan.

Karena itu, edukasi digital tentang harm reduction menjadi pintu masuk yang paling rasional. Ia tidak menuntut perubahan instan, tetapi:

  • memperkenalkan konsep pengurangan risiko,

  • menghapus mitos soal layanan,

  • dan membangun rasa aman secara psikologis.

Komunitas digital di Kompasiana berfungsi sebagai ruang antara—tidak seformal fasilitas kesehatan, namun cukup kredibel untuk membangun diskursus publik. Di ruang ini, pengalaman, refleksi, dan pengetahuan bisa dibagikan tanpa takut dilabeli.

Sementara itu, kerja sama dengan puskesmas bukan langsung membawa pengguna ke layanan, tetapi menyiapkan ekosistem rujukan. Ketika pengguna mulai masuk fase kontemplasi dan persiapan, layanan sudah siap menyambut.

Tujuan fase ini jelas:
membuat pengguna berpikir, bukan memaksa mereka berubah.


2. RTL 6 Bulan: Menguatkan Fase Aksi dan Transisi ke Maintenance

Pada kolom RTL 6 bulan, aksi yang dirumuskan lebih intensif dan berbasis kapasitas:

  1. Mengadakan pelatihan dan edukasi di Bina Indonesia Gemilang Boarding School (TOT untuk santri)

  2. TOT di UMJ (untuk mahasiswa) / peer educator

  3. Fun run

Aksi-aksi ini menunjukkan pergeseran fokus:
dari kesadaran → konsistensi dan keberlanjutan.

TOT untuk Santri dan Mahasiswa: Agen Perubahan di Fase Aksi

Pelatihan Training of Trainers (TOT) menempatkan santri dan mahasiswa bukan sebagai objek edukasi, tetapi subjek perubahan. Dalam konteks pengguna NAPZA yang sudah berada di fase aksi (sudah akses layanan), keberadaan peer educator sangat krusial.

Mereka membantu:

  • menjaga motivasi terapi,

  • mengurangi rasa terisolasi,

  • dan menyediakan figur yang “setara”, bukan otoritatif.

Ini penting karena banyak pengguna berhenti terapi bukan karena gagal, tetapi karena merasa sendirian.

Fun Run: Merawat Fase Maintenance secara Sosial

Sekilas, fun run tampak tidak berkaitan langsung dengan NAPZA. Namun justru di sinilah kecerdasannya. Bagi mereka yang sudah berada di fase maintenance, ancaman terbesar adalah:

  • kejenuhan,

  • stres,

  • dan kembalinya rasa tidak bermakna.

Aktivitas kolektif non-klinis seperti fun run (run for release):

  • membangun identitas baru di luar “mantan pengguna”,

  • memperluas jejaring sosial sehat,

  • dan memperkuat rasa memiliki komunitas.

Ini adalah strategi pencegahan relaps yang sering diabaikan dalam kebijakan formal.

Tujuan fase ini bukan sekadar bebas zat,
tetapi mampu mempertahankan hidup yang stabil dan bermakna.


Mengapa Pendekatan Bertahap Ini Penting?

Diskusi ini menunjukkan satu pelajaran kunci:
kebutuhan pengguna NAPZA tidak statis.

  • Mereka yang belum akses layanan butuh keamanan dan informasi.

  • Mereka yang sedang terapi butuh dukungan dan konsistensi.

  • Mereka yang pasca-terapi butuh komunitas dan kesempatan hidup.

Ketika intervensi tidak selaras dengan tahapan perubahan, yang terjadi bukan pemulihan—melainkan kegagalan berulang yang sering disalahkan pada individu.

Padahal, seperti terlihat dari rencana aksi ini, perubahan perilaku adalah proses sosial, bukan sekadar keputusan personal.


Penutup: Dari Catatan ke Kebijakan Publik

Coretan itu mungkin sederhana, tetapi ia merekam satu pendekatan yang jarang diadopsi secara serius dalam kebijakan NAPZA:
mendengarkan posisi pengguna sebelum merancang solusi.

Jika pendekatan ini diperluas—dari diskusi kelompok ke program, dari program ke kebijakan—maka harm reduction tidak lagi berhenti sebagai jargon. Ia menjadi praktik nyata yang relevan, manusiawi, dan berkelanjutan.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar