1. Paradigma Harm Reduction di Indonesia Saat Ini
Pendekatan harm reduction di Indonesia merupakan strategi yang menekankan kesehatan publik dan hak asasi manusia dalam menanggulangi dampak buruk penggunaan NAPZA, khususnya bagi pengguna suntik (penasun) — bukan semata pendekatan hukum atau pemidanaan. Pendekatan ini fokus pada pengurangan risiko kesehatan seperti penularan HIV, hepatitis, dan komplikasi medis lainnya, serta peningkatan kualitas hidup pengguna.
Harm reduction di Indonesia selama ini mencakup berbagai layanan seperti:
-
Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) atau Methadone Maintenance Treatment (MMT).
-
Needle and Syringe Programs (NSP) / layanan alat suntik steril.
-
Outreach dan edukasi pencegahan HIV melalui konseling dan pemeriksaan.
Namun, beberapa kajian menunjukkan bahwa pemahaman toxicology terhadap harm reduction masih belum sepenuhnya komprehensif di luar konteks pencegahan HIV, sehingga layanan perlu dikembangkan lebih luas lagi termasuk pada aspek rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
2. Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM/MMT)
2.1 Status dan Implementasi
Program terapi rumatan metadon telah diadopsi secara nasional sejak tahun 2006 melalui pedoman Kementerian Kesehatan RI, sebagai salah satu layanan harm reduction untuk pengguna opioid (misalnya heroin). PTRM/MMT tidak menyembuhkan adiksi, tetapi membantu pengguna beralih dari penyuntikan narkoba ke konsumsi metadon oral sehingga menurunkan risiko HIV dan komplikasi suntikan.
Beberapa karakteristik program saat ini:
-
Metadon diberikan di fasilitas kesehatan yang ditetapkan oleh Kemenkes dan BNN, termasuk di Puskesmas, rumah sakit, dan klinik-klinik tertentu.
-
Jumlah Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang menyediakan layanan termasuk PTRM/MMT meningkat, dengan sekitar 1.494 fasilitas tersebar di 35 provinsi pada 2025 (326 rumah sakit, 908 Puskesmas, dan 260 klinik lokal).
-
Akses rujukan dan pelaporan program ini dilakukan melalui jaringan IPWL sesuai keputusan Menkes terbaru.
2.2 Dampak Program berdasarkan Penelitian
Beberapa studi lokal menunjukkan efek positif PTRM:
-
Studi di Yogyakarta melaporkan bahwa hampir 97% pasien PTRM tidak lagi berbagi jarum suntik dan tidak terlibat dalam kriminal sejak mengikuti program.
-
Evaluasi di DIY menunjukkan penurunan penggunaan narkoba, perilaku berisiko, dan kriminal; meningkatnya dukungan keluarga; serta peningkatan kondisi pekerjaan dan tempat tinggal pada sebagian peserta PTRM.
-
Penelitian di Jakarta Barat melaporkan hubungan positif antara tingkat pengetahuan tentang PTRM dengan motivasi tinggi mengikuti layanan, dan mayoritas responden tidak kembali menggunakan narkoba.
Namun, ada juga tantangan operasional:
-
Tingkat drop-out program masih tinggi (40–50% menurut konteks evaluasi historis), dan sejumlah peserta masih melakukan praktik penyuntikan berisiko atau memiliki kesulitan kepatuhan pada jadwal program.
-
Kepatuhan terhadap jadwal terapi juga dipengaruhi oleh faktor motivasi, dukungan sosial, dan konfigurasi program di fasilitas — sebagaimana ditemukan di berbagai studi terdahulu.
Walaupun implementasinya sejak 2006, evaluasi menunjukkan perlu adanya penguatan SOP pelaksanaan, pelatihan tenaga kesehatan, dan integrasi layanan psikososial yang lebih kuat.
3. Layanan Poli NAPZA dan Klinik Rehabilitasi
3.1 Layanan Rehabilitasi & IPWL
Seiring dengan perluasan IPWL pada 2025, layanan rehabilitasi termasuk terapi medik, rehabilitasi medik dan sosial, serta dukungan lanjutan tersedia melalui fasilitas IPWL di banyak wilayah. IPWL menjalankan peran:
-
layanan rawat inap dan rawat jalan bagi korban NAPZA;
-
rujukan untuk rehabilitasi medik dan sosial;
-
konseling dan peer support;
-
koordinasi dengan BNN, Kemenkes, dan fasilitas kesehatan lain.
3.2 Pengukuran Kinerja Pelayanan Rehabilitasi NAPZA
BNN melakukan pengukuran Indeks Kinerja Rehabilitasi (IKR) tahun 2025 untuk mengevaluasi kualitas layanan rehabilitasi secara nasional. Skor nasional IKR keseluruhan adalah 3,39 (skala biasa 1–5), menggambarkan layanan sedang dalam ketersediaan, aksesibilitas, kualitas, dan kontinuitas.
Variabel terukur mencakup:
-
ketersediaan layanan;
-
akses masyarakat ke layanan;
-
akseptabilitas dan kualitas klinis;
-
kontinuitas layanan.
Pengukuran ini memberikan peta tantangan dan peluang perbaikan layanan rehabilitasi, termasuk harmonisasi standar layanan, koordinasi lintas sektor, dan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan.
4. Tren dan Tantangan Harm Reduction
4.1 Perluasan Akses Layanan
Data pemerintahan menunjukkan peningkatan jumlah IPWL yang melayani rehabilitasi dan program harm reduction pada 2025 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yang mencerminkan keseriusan pemerintah dalam memperluas akses bagi pengguna yang ingin mendapatkan layanan tanpa takut pemidanaan.
4.2 Stigma dan Hambatan Akses
Meskipun perluasan layanan terjadi, stigma sosial terhadap pengguna NAPZA masih menjadi hambatan utama bagi mereka untuk mencari bantuan medis atau rehabilitasi. Kepala BNN menyatakan bahwa pengguna yang melapor untuk rehabilitasi tidak akan langsung dihukum tetapi justru diprioritaskan layanan — pesan ini penting untuk mendorong akses yang lebih luas.
4.3 Kebutuhan Pengembangan Layanan
Evaluasi pelaksanaan harm reduction menunjukkan bahwa:
-
pelatihan lintas disiplin dan peningkatan kapasitas SDM sangat dibutuhkan untuk meningkatkan outcomes program;
-
integrasi layanan medis dengan dukungan psikososial, reintegrasi sosial, dan layanan keluarga perlu diperkuat;
-
evaluasi kontekstual terhadap implementasi program di daerah perlu dilakukan untuk menyesuaikan layanan dengan kebutuhan lokal.
5. Simpulan Situasi Terkini
-
Harm reduction tetap menjadi pendekatan penting dalam penanganan penggunaan NAPZA di Indonesia, dengan fokus pada kesehatan publik, penurunan risiko HIV, dan pengurangan dampak sosial.
-
Program terapi rumatan metadon (PTRM/MMT) telah hadir secara nasional sejak 2006 dan terus dikembangkan melalui perluasan fasilitas IPWL dan layanan rehabilitasi medis yang ditetapkan oleh Kemenkes dan BNN.
-
Penelitian lokal menunjukkan efek positif PTRM dalam mengurangi perilaku berisiko serta kriminal, meskipun kepatuhan program dan drop-out masih menjadi tantangan implementasi.
-
Layanan rehabilitasi NAPZA kini semakin tersentralisasi di fasilitas kesehatan dan IPWL, namun kualitas layanan (IKR) menunjukkan ruang perbaikan terutama pada akses dan kontinuitas.
-
Tantangan utama meliputi stigma, ketersediaan SDM terlatih, serta penguatan integrasi layanan medis dan sosial untuk merespons kebutuhan harm reduction yang komprehensif.