Kita sering mendengar ayat ini dibaca dengan nada menenangkan:
“Dan di langit terdapat rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu” (QS. Az-ZÄriyÄt: 22).
Biasanya ayat ini dipakai untuk menguatkan orang yang sedang cemas soal ekonomi. Seolah Allah ingin berkata, “Tenang, rezekimu sudah ada.” Dan memang benar. Tapi kalau kita berhenti di situ, ayat ini terasa terlalu nyaman—bahkan bisa jadi berbahaya. Karena ia bisa disalahpahami sebagai pembenaran untuk mencari rezeki dengan cara apa pun, selama hasilnya terlihat “berhasil”.
Padahal, ayat ini bukan sekadar janji. Ia juga peringatan.
Rezeki Itu Dijamin, Tapi Bukan Bebas Tanggung Jawab
Al-Qur’an tidak pernah memisahkan rezeki dari tujuan hidup. Tidak lama setelah berbicara tentang rezeki di langit, Allah menegaskan:
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Az-ZÄriyÄt: 56).
Artinya jelas: rezeki itu sarana, bukan tujuan. Ia dijamin agar manusia bisa menjalankan misi hidupnya—beribadah, berbuat baik, dan menjaga kehidupan.
Masalahnya, dalam kehidupan modern, rezeki sering diperlakukan sebaliknya. Ia dijadikan tujuan utama. Segala hal diukur dari angka, pertumbuhan, dan keuntungan. Soal dampaknya? Urusan belakangan.
Dari Langit Turun, di Bumi Dipercayakan
Ketika Al-Qur’an menyebut “langit” sebagai tempat rezeki, itu bukan sekadar lokasi fisik. Langit adalah simbol sistem: hujan, iklim, udara, keseimbangan alam. Semua kebutuhan dasar manusia—air, pangan, kesehatan—bergantung pada sistem ini.
Dan sistem itu tidak diciptakan manusia.
Manusia hanya menerima, lalu diberi mandat untuk mengelola. Itulah makna manusia sebagai khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah: 30). Sayangnya, kata “mengelola” sering digeser maknanya menjadi “menguasai”. Dari situlah eksploitasi dimulai.
Hutan ditebang berlebihan, tanah diperas, udara dikotori. Semua atas nama kebutuhan ekonomi. Padahal yang rusak bukan cuma lingkungan, tapi jalur rezeki itu sendiri.
Ketika Rezeki Dikejar, Tapi Amanah Ditinggalkan
Al-Qur’an sudah mengingatkan:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia” (QS. Ar-Rum: 41).
Ini bukan ayat tentang kiamat saja. Ini potret kondisi kita hari ini. Banjir, krisis air bersih, polusi udara, dan cuaca ekstrem bukan muncul tiba-tiba. Itu hasil dari cara manusia memperlakukan bumi.
Yang paling menyedihkan, dampaknya tidak adil. Anak-anak dan remaja—yang paling sedikit berkontribusi pada kerusakan—justru menanggung akibat paling besar. Udara kotor merusak paru-paru mereka. Krisis pangan mengganggu tumbuh kembang mereka. Masa depan mereka dipertaruhkan oleh keserakahan generasi sebelumnya.
Kalau rezeki dijamin Allah untuk semua manusia, lalu apa hak kita merusaknya untuk kepentingan sesaat?
Rezeki Bukan Alasan untuk Serakah
Islam tidak anti dunia. Tapi ia tegas soal orientasi.
“Carilah kebahagiaan akhirat dengan apa yang Allah berikan kepadamu, dan jangan lupakan bagianmu di dunia” (QS. Al-Qashash: 77).
Ayat ini menempatkan dunia pada posisi yang pas: penting, tapi bukan segalanya. Rezeki cukup untuk hidup layak, bukan untuk membenarkan perusakan.
Ketika rezeki dijadikan pembenaran untuk apa pun—termasuk merusak alam, menyingkirkan yang lemah, dan mengorbankan masa depan—di situlah manusia kehilangan arah. Ia bekerja keras, tapi lupa untuk apa ia hidup.
Menata Ulang Cara Kita Mencari Rezeki
QS. Az-ZÄriyÄt ayat 22 seharusnya membuat kita berhenti sejenak dan bertanya:
-
Dari mana rezeki itu datang?
-
Sistem apa yang menopangnya?
-
Siapa yang terdampak dari cara kita mencarinya?
Rezeki memang dari Allah. Tapi cara mencarinya, cara mengelolanya, dan cara membaginya adalah urusan moral manusia.
Bumi bukan milik kita. Ia amanah. Dan amanah tidak boleh diperas sampai rusak.
Mungkin masalah kita hari ini bukan kekurangan rezeki, tapi kehilangan pemahaman tentang hakikat rezeki itu sendiri. Kita sibuk mengejar hasil, tapi lupa menjaga sumbernya. Kita fokus pada hari ini, tapi abai pada generasi esok.