Kaos Kaki Bolong, Turki, dan Pelajaran tentang Kebaikan

2025-12-16 14:35:24 | Diperbaharui: 2025-12-16 19:27:19
Kaos Kaki Bolong, Turki, dan Pelajaran tentang Kebaikan
Silaturrahim mahasiswa dengan warga Turki

Kami bertiga. Para lelaki, sama-sama mahasiswa Indonesia, sama-sama sedang belajar hidup di Buca, Izmir, Turki—dan ironisnya, sama-sama memakai kaos kaki bolong saat salat berjamaah.

Bukan janji. Bukan tren. Murni kebetulan yang agak memalukan.

Hari itu kami salat di Masjid Mevlana Camii. Masjid lokal, jamaahnya bapak-bapak Turki dengan jaket rapi dan sepatu yang tertata. Kami ikut di saf tengah, berusaha khusyuk, sambil berharap lubang di kaos kaki tidak terlihat malaikat, apalagi manusia.

Sayangnya, harapan sering kalah oleh realita.

Seorang bapak Turki memperhatikan kami sejak salam terakhir. Tatapannya bukan menghakimi, lebih ke… prihatin. Setelah salat, beliau mendekat, mengamati dan menunjuk kaki kami dengan tersenyum. Beberapa menit kemudian, kami diberi tiga pasang kaos kaki baru. Masih hangat dari bungkusnya.

Kami bengong. Ini bukan Ramadan. Bukan Idul Adha. Bukan acara sosial. Ini hari biasa, di masjid biasa, dengan mahasiswa asing berkaos kaki bolong.

Beliau lalu bertanya, “Sudah makan?”

Dua dari kami refleks mengangguk. Bukan karena sudah makan, tapi karena refleks bertahan hidup sebagai anak rantau. Tapi satu teman kami—yang mungkin paling jujur di antara kami—menjawab, “Belum.”

Selesai.

Kami diajak ke rumah beliau.

Makan, Cerita, dan Keikhlasan yang Tidak Pakai Syarat

menu

Di rumahnya, kami dijamu seperti keluarga. Ada sup hangat, roti, teh Turki yang tidak pernah habis, dan obrolan sederhana yang sebagian besar diisi senyum dan bahasa isyarat.

Kami baru tahu, di Turki, menjamu tamu adalah bagian dari identitas budaya. Data dari Kementerian Kebudayaan Turki menyebutkan bahwa nilai misafirperverlik (hospitality) adalah warisan sosial yang masih sangat hidup, terutama di kalangan masyarakat lokal dan religius.

Kami tidak ditanya dari mana, tidak ditanya jurusan apa, tidak ditanya IPK berapa. Yang penting: tamu datang, tamu dihormati.

Saat pamit, beliau memberi kami bekal makanan. Lalu, dengan cara yang sangat halus dan nyaris memaksa, beliau menyelipkan uang ke tangan kami.

Kami menolak. Beliau tersenyum dan berkata satu kalimat yang kami pahami sepenuhnya, meski tata bahasanya tidak sempurna:

“Untuk anak saya di Turki.”

Silaturahim yang Tidak Pernah Putus

Kami juga masih sesekali berkunjung saling berkabar. Sesekali hanya bertukar doa lewat pesan singkat.

Di tengah dunia yang sering ribut soal perbedaan, kami belajar satu hal penting di masjid kecil itu:
kebaikan tidak butuh bahasa yang sama, tidak butuh latar belakang yang serupa, dan tidak pernah menunggu kita tampil sempurna—bahkan saat kaos kaki kita bolong.

Dan mungkin, justru dari lubang kecil itulah, pelajaran besar masuk ke hidup kami.

Catatan kecil:
Menurut data PPI Turki, jumlah mahasiswa Indonesia di Turki terus meningkat dalam satu dekade terakhir. Banyak dari mereka membawa pulang bukan hanya ijazah, tapi juga cerita-cerita tentang kemanusiaan—yang sering kali dimulai dari hal-hal sederhana. Bahkan dari kaos kaki bolong.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar