Dalam diskusi publik tentang Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA), satu hal yang kerap hilang dari percakapan adalah suara penggunanya sendiri. Padahal, memahami perjalanan seseorang—mulai dari belum mengakses layanan, sedang menjalani terapi, hingga pasca menyelesaikan perawatan—adalah kunci merumuskan kebijakan yang manusiawi.
Baru-baru ini, saya mengikuti suatu focus group discussion yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama memetakan persoalan lewat alur/pohon masalah, sementara kelompok kedua memakai kerangka Stages of Change—model perubahan perilaku yang menempatkan individu pada tahapan kesiapan yang berbeda.
Hasilnya membuka mata: kebutuhan pengguna NAPZA ternyata tidak homogen; ia berubah mengikuti fase kehidupan dan proses perubahan yang mereka jalani.
Berikut rangkuman naratif dari hasil diskusi tersebut.
1. Kelompok Pertama: Membaca Akar Masalah melalui Pohon Masalah
Kelompok ini membagi persoalan ke dalam alur yang sederhana: akar masalah – kondisi inti – dampak. Fokusnya adalah melihat kebutuhan di tiga lapisan: sebelum layanan, selama layanan, dan sesudah terapi.
a. Mereka yang Belum Mengakses Layanan: Hilang dalam Rumitnya Sistem
Akar persoalan utama bagi kelompok ini adalah minimnya informasi dan tingginya stigma. Banyak pengguna mengaku tidak tahu layanan apa yang tersedia, di mana harus mulai, atau apakah layanan tersebut aman.
Hambatan lainnya:
-
ketakutan kriminalisasi,
-
penolakan dari keluarga,
-
pengalaman buruk atau cerita menakutkan tentang lembaga rehabilitasi,
-
layanan kesehatan yang tidak sensitif terhadap pengguna NAPZA.
Akibatnya, mereka menunda akses hingga kondisi kesehatan memburuk. Pada fase ini, kebutuhan terbesarnya adalah jembatan pertama: informasi yang jelas, layanan yang ramah, dan jaminan bahwa meminta pertolongan tidak membuat mereka kehilangan kebebasan.
b. Mereka yang Sudah Mengakses Layanan: Bertahan atau Kembali?
Ketika seseorang akhirnya masuk ke poli NAPZA, terapi rumatan metadon, atau konseling, kebutuhan mereka berubah. Tantangannya berpindah dari rasa takut menjadi stabilitas.
Mereka membutuhkan:
-
penanganan medis yang konsisten,
-
konselor yang tidak menghakimi,
-
jadwal layanan yang fleksibel,
-
dukungan keluarga,
-
bahkan hal praktis seperti transportasi menuju fasilitas layanan.
Kelompok diskusi mencatat bahwa banyak pengguna kesulitan mempertahankan kepatuhan terapi karena layanan yang tidak memikirkan realitas hidup mereka—misalnya, jam layanan yang berbenturan dengan jam kerja.
c. Pasca Menyelesaikan Terapi: Mengarungi Dunia yang Sama, dengan Luka yang Sama
Banyak yang berharap fase ini adalah akhir dari masalah. Nyatanya, tantangan baru justru muncul.
Ketika terapi selesai, pengguna kerap ‘dilepas’ begitu saja tanpa sistem pendampingan. Padahal, mereka membutuhkan:
-
dukungan psikososial jangka panjang,
-
akses pekerjaan,
-
lingkungan sosial yang menerima,
-
komunitas pemulihan yang stabil.
Tanpa itu semua, peluang relaps meningkat. Pohon masalah yang disusun kelompok ini menunjukkan kesenjangan besar antara terapi dan realitas pasca-terapi.
2. Kelompok Kedua: Melihat Perjalanan dengan “Stages of Change”
Kelompok kedua menggunakan kerangka Stages of Change—pra-kontemplasi, kontemplasi, persiapan, aksi, dan pemeliharaan. Pendekatan ini membantu membaca kebutuhan pengguna secara lebih personal.
a. Mereka yang Belum Mengakses Layanan: Terjebak dalam Prekontemplasi
-
Stigma: takut dicap “pecandu”, “nakal”, atau “tidak bermoral”.
-
Kriminalisasi: khawatir ditangkap jika mengaku sebagai pengguna.
-
Miskonsepsi kesehatan: tidak tahu bahwa ada layanan seperti poli NAPZA, konseling, atau terapi rumatan metadon.
-
Pengalaman buruk teman sebaya: cerita tentang razia, diskriminasi, atau perlakuan tidak manusiawi membuat mereka menjauh dari layanan.
-
Tidak ada dorongan keluarga: keluarga justru menyembunyikan, bukan mengantar berobat.
Karena itu, tujuannya bukan langsung menyuruh mereka “berhenti”, tetapi menggeser mereka dari prekontemplasi ke fase kontemplasi atau persiapan.
Kebutuhan utamanya:
-
Informasi yang realistis dan tidak menghakimi tentang layanan.
-
Penguatan peran teman sebaya sebagai jembatan ke layanan.
-
Kanal konseling yang aman dan rahasia, tanpa takut data disalahgunakan.
-
Narasi yang tidak mengintimidasi, melainkan membuka harapan.
-
Pengurangan risiko (harm reduction) sebagai titik awal, bukan paksaan berhenti.
Tujuan tahap ini sederhana: membuat mereka merasa aman untuk mempertimbangkan perubahan.
Dari dua kelompok diskusi ini, satu gagasan yang paling kuat adalah bahwa setiap pengguna NAPZA memiliki perjalanan unik. Layanan tidak bisa satu model untuk semua orang.
Kebutuhan mereka bukan hanya layanan medis, tetapi juga:
-
lingkungan aman,
-
informasi yang jujur,
-
pendampingan emosional,
-
dan perlindungan dari stigma serta kriminalisasi.
Memahami perjalanan pengguna NAPZA dari akar masalah dan dari dimensi perubahan perilaku memberi kita cara pandang yang lebih lengkap: bahwa upaya membantu mereka bukan soal menyembuhkan “penyakit”, melainkan membangun lingkungan sosial yang memungkinkan mereka pulih dengan martabat.