Medikalisasi Khitan Perempuan: Niat Baik yang Jadi Paradoks

2025-10-24 06:04:06 | Diperbaharui: 2025-10-24 06:04:06
Medikalisasi Khitan Perempuan: Niat Baik yang Jadi Paradoks
Caption Tim Riset

Beberapa tahun terakhir, praktik khitan perempuan di Indonesia ternyata tidak hilang — malah bertransformasi.
Kalau dulu dilakukan oleh dukun atau penyuntuk adat, sekarang justru banyak dilakukan oleh tenaga kesehatan (nakes): bidan, perawat, bahkan dokter.

Data survei menunjukkan sekitar 40% tindakan dilakukan oleh bidan/perawat dan 16% oleh dokter.
Sementara peran dukun tinggal sekitar 23%.
Artinya, praktik yang dulu dianggap “tradisional” kini masuk ke ruang medis — dan di sinilah paradoksnya mulai muncul.


Dari Ritual ke Ruang Medis

Buat banyak masyarakat, khitan perempuan masih dianggap bagian dari adat atau ajaran agama.
Masalahnya, ketika orang tua ingin anaknya “dikhitan”, mereka sering datang ke klinik atau bidan — bukan karena butuh tindakan medis, tapi supaya “lebih aman”.

Nah, di sinilah para nakes sering terjebak dilema.
Kalau mereka menolak, orang tua bisa saja pergi ke dukun yang pakai alat seadanya — sembilu, pisau dapur, bahkan clurit.
Tapi kalau mereka mengiyakan, berarti ikut melanggengkan praktik yang sebenarnya tidak dianjurkan secara medis dan melanggar hak anak.


Strategi “Harm Reduction”: Maksud Baik, Tapi...

Banyak tenaga kesehatan akhirnya memilih jalan tengah: strategi pengurangan risiko (harm reduction).

Biasanya dilakukan dua cara:

  1. Simbolis saja, tanpa luka.
    Anak dibersihkan, dioles betadin atau kunyit, atau sekadar dibasuh air.
    Tujuannya cuma “menghormati adat”, tanpa benar-benar memotong atau melukai.
    Data menunjukkan sekitar 9,5% praktik saat ini bersifat simbolik seperti ini.

  2. Tindakan kecil tapi terkontrol.
    Ada juga yang tetap melakukan sedikit tindakan, seperti “menorehkan alat medis di bagian klitoris” — tapi katanya lebih aman karena steril dan cepat.

Secara logika medis, niat mereka jelas: mengurangi risiko infeksi dan trauma.
Tapi secara sosial, efeknya justru kebalik: masyarakat jadi berpikir praktik ini aman dan disetujui dokter.


Paradoks Medikalisasi

Karena dilakukan di fasilitas kesehatan, khitan perempuan jadi terlihat “resmi”.
Orang tua jadi lebih tenang, dan praktiknya makin normal.
Padahal, baik WHO maupun Kementerian Kesehatan sudah tegas menyebut:

Tidak ada bentuk khitan perempuan yang aman secara medis.

Faktanya, 37% responden mendukung praktik ini justru karena “bidan/dokter juga melakukannya”.
Dan 34% mengaku melakukannya karena “lebih mudah di fasilitas kesehatan”.
Jadi, bukan hanya soal budaya — tapi juga soal persepsi otoritas.


Nakes Muhammadiyah pun Menghadapi Dilema

Di lapangan, banyak bidan dan dokter dari jaringan Rumah Sakit Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang menghadapi dilema sama.
Mereka tahu praktik ini tak punya dasar medis kuat, tapi juga sadar masyarakat belum siap menerima larangan total.
Beberapa akhirnya memilih melakukan versi “simbolik” sambil memberi edukasi pelan-pelan.


Harus ke Mana Arah Kebijakan Kita?

Kalau mau jujur, penghapusan praktik khitan perempuan tidak bisa hanya dengan melarang.
Perlu pendekatan pelan tapi tegas — dengan melibatkan tenaga kesehatan, ormas Islam, dan kampus.

Beberapa langkah realistis yang bisa ditempuh:

  • Edukasi ulang tenaga kesehatan lewat pelatihan tentang etika reproduksi.

  • Kolaborasi dengan Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA) untuk riset, sosialisasi, dan edukasi publik.

  • Dakwah yang menegaskan bahwa menjaga keselamatan anak perempuan adalah bagian dari maqashid syariah — tujuan utama agama.


Penutup

Medikalisasi khitan perempuan itu ibarat niat baik yang salah arah.
Di satu sisi, ia melindungi dari risiko fisik; di sisi lain, ia memperkuat keyakinan bahwa praktik ini sah dan aman.

Kalau kita ingin perubahan yang nyata, bukan cuma larangan,
maka dialog antara agama, medis, dan masyarakat harus jadi titik temu baru.
Bukan untuk melegitimasi, tapi untuk mengedukasi dan melindungi.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar