Apakah Menulis Sekedar Ekpresi, atau Latihan Tanggung Jawab Etis dan Publik?

2025-10-23 03:10:56 | Diperbaharui: 2025-10-23 03:11:05
Apakah Menulis Sekedar Ekpresi, atau Latihan Tanggung Jawab Etis dan Publik?
Caption Sumber: depositphotos, tersedia di https://depositphotos.com/id/photo/business-man-holding-a-cup-of-coffee-and-using-laptop-notpad-on-wooden-table-115261570.html

 

Oleh: A. Rusdiana

Tanggal 16 September 2025 menandai lahirnya komunitas Pena Berkarya Bersama (PBB) wadah bagi para penulis akademik, dosen, dan mahasiswa untuk berlatih menulis reflektif. Tepat satu bulan kemudian, 22 Oktober 2025, komunitas ini telah merekrut 1.225 anggota aktif yang terhubung melalui ruang digital, media sosial, dan forum akademik. Namun, pertanyaan mendasarnya bukan sekadar “berapa banyak” anggota yang bergabung, melainkan “untuk apa” komunitas ini tumbuh?

Dalam dunia yang semakin digital, tulisan tersebar dengan cepat, tetapi tanggung jawab penulis sering kali tertinggal. Menulis bukan sekadar ekspresi, tetapi latihan tanggung jawab etis dan publik. Teori etika komunikasi publik dari Habermas (1984) mengajarkan bahwa ruang publik hanya akan sehat jika para partisipannya jujur, rasional, dan bertanggung jawab atas ujarannya. Dengan prinsip ini, PBB berusaha menumbuhkan kebiasaan menulis yang bukan hanya produktif, tetapi juga etis. Berikut  Tiga Pembelajaran untuk Komunitas Menulis:

Pertama: Menulis sebagai Cermin Integritas Akademik; Setiap kalimat adalah cermin kejujuran. Menulis dengan etika berarti menghargai sumber, memeriksa data, dan menolak plagiarisme bukan karena takut sanksi, tetapi karena sadar nilai diri. Mahasiswa, dosen, atau anggota komunitas harus memahami bahwa menyalin tanpa izin adalah bentuk pelanggaran moral, bukan sekadar administratif. Dalam komunitas PBB, kegiatan seperti “Bedah Tulisan Mingguan” membantu anggota mengevaluasi gaya, referensi, dan kejujuran intelektual mereka. Dari proses ini, lahir kesadaran bahwa integritas lebih berharga daripada sekadar popularitas tulisan.

Kedua: Menulis sebagai Tanggung Jawab Sosial; Tulisan yang lahir dari ruang publik membawa konsekuensi sosial. Ia bisa membangun kesadaran, tetapi juga bisa memecah. Oleh karena itu, penulis dituntut memiliki empati dan kesantunan digital. Seorang anggota PBB yang menulis tentang “Santri Digital dan Tanggung Jawab Media Sosial” mengajak pembaca untuk berhenti menyebar hoaks dan mulai menulis narasi kebaikan. Di sinilah etos santri menulis bekerja: berpikir jernih, menulis jujur, dan menyebarkan kedamaian. Menulis bukan lagi kegiatan pribadi, melainkan bentuk kontribusi terhadap kemaslahatan sosial.

Ketiga: Menulis sebagai Pendidikan Etis yang Berkelanjutan; Menulis melatih disiplin berpikir dan bertindak. Ketika setiap anggota PBB diminta menulis minimal satu artikel setiap pekan, sebenarnya mereka sedang berlatih tanggung jawab publik. Dari menyusun ide, mengolah referensi, hingga menerima kritik pembaca semuanya adalah bagian dari proses belajar menjadi warga literasi yang matang. Dalam istilah John Dewey, pendidikan sejati adalah “pengalaman yang direfleksikan.” Maka, setiap tulisan adalah pengalaman yang mengajarkan nilai baru. Dengan menulis, seseorang tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi juga memperluas kepekaan moralnya.

Menulis dalam komunitas PBB bukan soal produktivitas semata, melainkan tentang menegakkan etos tanggung jawab etis dan publik. Komunitas ini diharapkan menjadi laboratorium literasi akademik yang menumbuhkan integritas, empati, dan komitmen sosial. Ke depan, kampus, lembaga pendidikan, dan Kemenag dapat menjadikan model PBB sebagai contoh gerakan literasi etis berbasis komunitas digital, untuk menguatkan karakter mahasiswa dan dosen di era informasi yang serba cepat.

Menulis sejatinya bukan kegiatan sunyi. Ia adalah bentuk ibadah intelektual tempat kita bertanggung jawab atas kebenaran, kebajikan, dan kemanusiaan. Jika setiap anggota PBB menulis dengan niat tulus dan etika yang kuat, maka komunitas ini tak hanya menambah jumlah tulisan, tetapi menambah nilai kehidupan dalam dunia digital yang sering kehilangan makna. Wallahu A’lam.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
1 Orang menyukai Artikel Ini
avatar