Pada tahun 2010, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah mulai membahas satu isu sensitif: khitan perempuan. Selama lebih dari satu dekade, isu ini muncul di forum-forum tarjih, diskusi ilmiah, hingga seminar keislaman. Namun sampai sekarang, belum ada fatwa tanfidz—yakni keputusan resmi yang ditegaskan dan mengikat seluruh warga Muhammadiyah.
Sebagian orang bertanya, mengapa organisasi sebesar Muhammadiyah, dengan tradisi ijtihad yang kuat, tidak kunjung menegaskan sikap hukumnya?
Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika pemerintah melalui PP No. 28 Tahun 2024 secara eksplisit melarang praktik sunat perempuan. Di saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) masih mempertahankan pandangan bahwa khitan perempuan termasuk makrumah (tindakan terpuji), Muhammadiyah justru tampak “diam”—padahal di balik diam itu ada proses ijtihad panjang dan pertimbangan mendalam.
Fatwa dan Kehati-hatian Tarjih Muhammadiyah
Untuk memahami “diam” itu, kita perlu melihat bagaimana mekanisme fatwa di lingkungan Muhammadiyah bekerja.
Berbeda dengan model hukum yang serba cepat, fatwa dalam Muhammadiyah tidak lahir dari satu orang mufti, melainkan hasil ijtihad jama‘i—proses kolektif berbasis musyawarah ilmiah. Setelah suatu hasil ijtihad disepakati di forum Majelis Tarjih, ia masih perlu melewati satu tahap penting: tanfidz oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Hanya setelah tanfidz, keputusan itu disebut fatwa resmi.
Dalam kasus khitan perempuan, proses tarjih sudah dilakukan sejak Munas Tarjih ke-27 di Malang (2010) dan diperkuat pada Munas Tarjih ke-28 di Palembang (2014). Hasilnya cukup jelas:
“Khitan perempuan tidak memiliki dasar hukum yang kuat dalam nash, dan lebih banyak mudarat daripada maslahat.”
Namun hasil itu tidak langsung ditanfidz. Mengapa? Karena Tarjih menilai isu ini tidak sekadar hukum fiqh, tetapi juga menyentuh ranah budaya, kesehatan, dan psikologi. Ada kehati-hatian epistemologis—keputusan hukum Islam tidak boleh tergesa-gesa bila konsekuensinya menyentuh tubuh dan martabat manusia.
Dalil Lemah dan Pertimbangan Medis
Dalam penelusuran hadis, Muhammadiyah menemukan bahwa riwayat tentang khitan perempuan sangat lemah (dhaif). Tidak ada ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit memerintahkannya.
Sementara dari sisi medis, banyak riset menunjukkan bahwa tindakan tersebut tidak memiliki manfaat kesehatan yang jelas, bahkan berpotensi menyebabkan infeksi, trauma, atau kehilangan sensitivitas organ.
Maka, keputusan Tarjih tahun 2014 menyatakan khitan perempuan tidak dianjurkan (ghairu masyrÅ«‘). Ini bukan sekadar keputusan medis, melainkan bagian dari prinsip besar Islam berkemajuan—yakni bahwa hukum Islam harus berpihak pada maslahah, kemanusiaan, dan ilmu pengetahuan modern.
Mengapa Belum Ditanfidz?
Penundaan tanfidz bukan berarti tarik ulur politik, tetapi mencerminkan etika ijtihad Muhammadiyah. Dalam tradisi tarjih, setiap fatwa harus mempertimbangkan tiga hal:
-
Dalil yang kuat secara nash dan sanad,
-
Konteks sosial masyarakat, dan
-
Kemaslahatan yang terukur secara ilmiah.
Dalam isu khitan perempuan, ketiganya belum sepenuhnya stabil di lapangan. Di sejumlah daerah, masyarakat masih menganggap khitan perempuan bagian dari identitas keagamaan. Jika fatwa resmi ditanfidz tanpa pendekatan edukatif, bisa muncul resistensi sosial dan kesalahpahaman bahwa Muhammadiyah “melarang ajaran Islam”.
Karena itu, Muhammadiyah memilih jalur edukatif, bukan konfrontatif. Organisasi otonom perempuan seperti ‘Aisyiyah mengambil peran penting: mengedukasi masyarakat tentang kesehatan reproduksi dan bahaya praktik sunat perempuan. Pada Februari 2025, ‘Aisyiyah menegaskan sikapnya:
“Kami tidak menganjurkan sunat perempuan karena lebih banyak mudarat daripada manfaat.”
Langkah ini menunjukkan bahwa meski belum ada fatwa tanfidz, arah moral Muhammadiyah sudah sangat jelas.
Dialog antara Fatwa dan Regulasi Negara
Larangan resmi pemerintah lewat PP No. 28/2024 menjadi titik baru dalam perdebatan ini. Negara kini melarang tenaga kesehatan melakukan tindakan khitan perempuan dengan alasan perlindungan hak anak dan kesehatan reproduksi.
Kebijakan ini sejalan dengan rekomendasi WHO dan berbagai lembaga internasional yang menilai praktik itu sebagai bentuk female genital mutilation (FGM).
Namun tidak semua ormas Islam menyambutnya dengan cara yang sama.
MUI, lewat fatwa 2008, menilai khitan perempuan merupakan makrumah—bukan kewajiban, tapi juga bukan hal yang dilarang. Karena itu, MUI menolak pelarangan total yang dianggap mencampuri wilayah ibadah.
Berbeda dengan itu, Muhammadiyah mengambil posisi moderat dan berkemajuan.
Ia tidak menolak regulasi pemerintah, tetapi juga tidak menjustifikasi praktik khitan perempuan atas nama agama. Muhammadiyah menempuh jalur dialog konstruktif: mendukung prinsip perlindungan kesehatan, sambil menekankan pentingnya perubahan kesadaran umat lewat dakwah, bukan sekadar hukum negara.
Pendekatan ini sejalan dengan semangat fiqh sosial Muhammadiyah—yakni menjadikan Islam sebagai kekuatan moral yang menuntun perubahan, bukan sekadar kumpulan larangan dan izin formal.
Teologi Ijtihad dan Kemaslahatan
Bagi Muhammadiyah, hukum Islam tidak berhenti pada teks, tetapi bergerak dalam realitas kemanusiaan. Prinsip maqashid al-syariah (tujuan syariat) menuntun setiap keputusan hukum agar membawa kemaslahatan nyata: menjaga jiwa, akal, dan martabat manusia.
Dalam kerangka ini, “belum ditanfidz” bukan tanda stagnasi, melainkan bentuk ijtihad terbuka.
Tarjih terus mengkaji ulang nash dan data ilmiah agar fatwa yang kelak ditanfidz benar-benar kokoh secara dalil dan maslahat. Dengan begitu, keputusan itu tidak sekadar sah menurut hukum agama, tetapi juga bijak dalam konteks sosial.
Inilah wujud dari Islam berkemajuan: agama yang tidak tergesa-gesa memberi label halal–haram, melainkan menimbang secara mendalam antara teks wahyu, ilmu pengetahuan, dan kemaslahatan manusia.
Refleksi: Fatwa yang Belum Diumumkan, Tapi Sudah Hidup
Menariknya, meskipun belum ada fatwa tanfidz resmi, praktik sosial Muhammadiyah sudah bergerak sejalan dengan substansi fatwa itu.
Rumah sakit dan klinik Muhammadiyah hampir tidak lagi melakukan tindakan khitan perempuan.
Kader ‘Aisyiyah aktif menyosialisasikan edukasi kesehatan reproduksi.
Majelis Tarjih terus membuka ruang dialog dan riset kolaboratif dengan tenaga medis dan lembaga akademik.
Artinya, fatwa itu sebenarnya sudah hidup di kesadaran sosial umat, meski belum tertulis di atas kertas tanfidz.
Dalam hal ini, Muhammadiyah mengajarkan bahwa perubahan tidak selalu harus dimulai dari teks hukum—kadang ia lahir dari praksis sosial yang lebih dulu bergerak.
Dalam masyarakat yang plural dan kompleks seperti Indonesia, fatwa bukan hanya produk dalil, tetapi juga strategi sosial.
Muhammadiyah memilih berhati-hati, bukan karena ragu, tapi karena sadar bahwa hukum agama seharusnya menjadi sumber rahmat, bukan luka.
Dan mungkin, dalam kehati-hatian itu, tersimpan pesan paling mendalam dari ijtihad berkemajuan:
Bahwa menjaga kemanusiaan adalah bentuk tertinggi dari ketaatan kepada Tuhan.