Oleh: Ubay Latif Furois
Tanggal 10 Oktober dunia memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia. Momen dimana sangat penting untuk kita membicarakan tentang menjaga pikiran dan perasaan agar tetap waras di tengah dunia yang serba cepat. Tapi ironisnya, hanya lima hari setelahnya hari penting itu publik Indonesia diguncang kabar duka.
Timothy Anugerah Saputra, mahasiswa Sosiologi Universitas Udayana, ditemukan meninggal dunia di lingkungan kampusnya.
Tragedi ini bukan hanya menyayat hati, tapi juga membuat kita bertanya ulang, apa kabar kesehatan mental kita di dunia pendidikan? Karena di balik kejadian itu, muncul dugaan kuat bahwa bullying jadi bayang-bayang yang tak bisa diabaikan.
Sebelum bullying, dunia masih terasa aman. Sebelum semuanya berubah, hidup terasa normal. Korban masih percaya diri, masih bisa tertawa lepas, masih punya semangat untuk datang ke kampus. Pelaku pun mungkin hanya anak pada umumnya yang ingin diterima, ingin dianggap lucu, atau hanya ikut-ikutan.
Belum ada luka, belum ada jarak. Semuanya masih bisa diperbaiki…
Sampai akhirnya, satu “candaan” terlewat batas mengubah semuanya.
Setelah bullying, tentu semua terasa tak sama lagi. Bagi Korban, hidup jadi seperti "medan perang mental". Setelah di-bully, banyak korban kehilangan hal-hal yang dulu mereka anggap biasa; tidur nyenyak, rasa aman, atau bahkan keinginan buat hidup. Yang dulu semangat datang ke kampus, sekarang mulai mencari alasan untuk tidak masuk. Yang dulu cerewet, sekarang jadi pendiam.
Efeknya tentu tidak main-main ! Mungkin yang lebih parah, akan muncul rasa cemas yang berlebihan atau panic attack dan bisa juga depresi. Efek lainnya, seperti overthinking dan self-hate, trauma sosial dan isolasi diri. Dan jika tekanan itu tidak berhenti, bisa muncul pikiran ekstrem, bahwa satu-satunya cara berhenti sakit adalah berhenti hidup. Seperti yang dilakukan mendiang Timothy.
Lalu bagaimana dengan si pelaku?
Bagi pelaku, dia akan merasa empati
pelan-pelan mati. Ini memang jarang dibahas, tapi pelaku bullying juga berubah. Tapi sering kali, perubahan itu justru bukan ke arah yang baik.
Awalnya hanya iseng. Tapi lama-lama, mereka terbiasa meliat orang kesakitan dan merasa itu hal biasa. Mereka kehilangan sensitivitas, kehilangan rasa bersalah.
Itu bentuk kerusakan mental juga, cuma beda arah. Kalau korban terluka karena terlalu banyak menerima, maka pelaku rusak karena terlalu sering melukai. Dan nantinya, tanpa sadar mereka tumbuh jadi orang dewasa yang susah berempati. Yang merasa lebih dominan dan bisa jadi validasi.
Sebelum bullying, lingkungan terasa aman, setiap orang punya ruang buat jadi diri sendiri. Tetapi sesudah bullying, ada yang berubah drastis. Korban yang kehilangan rasa aman, pelaku kehilangan hati nurani, dan orang-orang di sekitarnya, juga terkadang kehilangan keberanian untuk speak up.
Di sinilah ironinya, semua orang tahu bullying itu salah, tapi tetap banyak yang diam. Karena takutlah, karena tak mau ikut campur lah, atau karena sudah terlalu sering melihat hal sudah dianggap biasa bercanda.
Bahkan sebenarnya, semua orang tahu bahwa bullying sama seperti luka sosial yang bisa menular. Yang paling berbahaya dari bullying adalah efek domino-nya. Efek ini adalah seperti membalik keadaan dimana satu korban bisa berubah jadi pelaku berikutnya, bukan karena dia jahat, tapi karena dia belajar bahwa cara bertahan adalah dengan jadi lebih keras dari orang lain. Dan makin lama, lingkungan seperti itu akan jadi lingkungan toxic. Dimana nantinya, hanya berisi orang berlomba buat jadi yang paling kuat, paling lucu, paling berani bertindak atau berkata kasar. Padahal di balik semua itu, banyak kepala yang sudah lelah tapi tetap pura-pura kuat.
Empati itu bukan pilihan tapi kewajiban. Kisah Timothy jadi pengingat pahit bahwa kita belum sepenuhnya belajar berempati. Kesehatan mental bukan hanya urusan psikolog, tapi juga tentang cara kita saling memperlakukan satu sama lain setiap hari. Kalau saja kita lebih cepat sadar bahwa satu kata bisa menyelamatkan atau menghancurkan, mungkin tragedi seperti ini tidak perlu terjadi.
Jadi sebelum kita bercanda, menyindir, atau lempar komentar pedas, coba pikir sebentar: “Kalimat ini akan membuat orang tertawa, atau malah membuatnya terpaksa bertahan dengan air mata?”. Karena di dunia yang sudah cukup kejam ini, pilihan paling berani hari ini adalah jadi orang yang lembut.