Merasa jenuh dengan perkataan orang lain?, jenuh dengan tingkah orang lain?, jenuh karena kebaikan tidak berbalas?, jenuh dengan rutinitas yang tiada hasil?. Merasa jenuh itu manusiawi, memang melelahkan dan semua orang merasakannya. Setiap perbuatan kita mengandung energi, apakah itu positif dan negatif dan berdampak pada kehidupan. Merasa terluka dengan kata-kata disaat hati sedang tidak baik-baik saja itu adalah hal yang lumrah.
Hati yang sedang luka dan melemah memang membutuhkan obat dari luar untuk membantu meringankan atau kita malah menghindarinya agar tidak terlalu berdampak karena kekuatan dosis dari obat yang dikonsumsi tidak bisa ditoleransi oleh "tubuh kita". Obat bagi jiwa adalah teman yang bisa mendengarkan, bisa memahami posisi kita, bisa menerima kita apa adanya. Namun, obat yang sesungguhnya berasal dari hati dan pikiran kita sendiri.
Pernahkah kita merasa tergantung dengan obat untuk menopang kesehatan?, bagaimana rasanya?. Sehari-hari kita selalu mencari obat itu untuk meredakan nyeri di tubuh, bila obat habis kita merasa kebingungan dan khawatir jangan-jangan penyakit akan kambuh. ketergantungan itu tidak nyaman, melekat dengan sesuatu membuat kita semakin lemah dan tidak berdaya. Lalu apa obat buat jiwa supaya kita tidak tergantung dengan kalimat-kalimat yang hanya menenangkan tanpa solusi?, sampai kapan kita tergantung dengan kalimat lembut dari orang lain untuk membentengi diri kita dari keterpurukan batin?, padahal obat itu sebenarnya adalah diri kita sendiri.
Kita adalah dokter bagi diri kita sendiri, namun kita harus mengetahui jenis penyakit yang sedang mendera diri kita, berarti dibutuhkan analisis mengenai diri sendiri. kalimat yang to the point memang terkesan menyakitkan, tetapi coba kita lihat apa maksud di balik dari kalimat itu dan apakah sama dengan yang kita alami. Ketika kita mengetahui "jenis penyakit" melalui analisis orang lain apakah kita akan tetap menghindari penyakit itu dan membiarkannya dengan cara membenci orang yang membantu untuk melihat kondisi kita yang sebenarnya?. Menghindar sama dengan membiarkan penyakit itu terus menggerogoti diri kita sendiri.
Mengobati luka tentunya ada rasa sakit karena reaksi dari obat ke tubuh kita tapi setelahnya nyeri mereda. Demikian pula ketika kita mendengar kalimat orang lain yang mengkritik kita, terasa perih dan sakit hati, tetapi bila kita menerima dengan hati terbuka maka rasa sakit hati akan mereda. Ketika obat yang dikonsumsi tidak dipercaya bahwa obat itu bisa meredakan gejala tentu saja obat tidak akan bereaksi karena ada penolakan dari pikiran dan tubuh tidak merespon obat tersebut, seakan-akan obat itu hanyalah sampah yang menambah kerusakan pada tubuh.
Demikian pula kalimat yang menyakitkan bila kita tidak berani menerima tentu saja tidak akan ada perbaikan yang akan kita lakukan untuk diri kita. Hakikatnya manusia didatangkan pada kita hanyalah sebagai ujian dan teguran saja, tetapi kita meresapinya hingga merusak hati dari kedamaian dan kebahagiaan. Kenapa kita membiarkan diri mengalami sakit hanya karena perkataan?, kita yang paling mengerti diri kita sendiri tetapi kita membuka pintu hati untuk diganggu oleh asumsi kita tentang orang lain.
Menerima dan melepas sama dengan ikhlas. Keikhlasan itu berbuah, apa yang ditanam tidak akan pernah gagal untuk berbuah walaupun membutuhkan waktu yang panjang kecuali menggunakan penyubur tanaman. Biji yang gagal bertumbuh karena ada kerusakan pada biji, kerusakan ini sulit ditanggulangi maka akan dibuang dan diganti dengan yang baru. Demikian halnya dengan kebaikan yang terus menerus diciptakan maka suatu saat kebaikan itu akan berbuah, membuang pikiran dan perasaan yang tidak akan menumbuhkan kita dan kita akan menerimanya dengan sangat bahagia suatu saat nanti.
Orang yang menerima dan selalu berbuat kebaikan adalah orang yang ikhlas, sabar dan bercahaya. Cahaya itu menyilaukan mata dan mengalihkan perhatian karena kekuatan cahaya di dirinya tidak bisa ditoleransi oleh mata. Terkadang kita justru menghindarinya supaya tidak menyakiti pandangan.
Sifat cahaya menembus benda yang transparan, tidak bisa menembus benda padat dan keras. Ilmu adalah cahaya dan orang-orang yang sabar, selalu mengikhlaskan kebaikannya adalah orang yang mengetahui ilmu cahaya. Untuk mudah tidak terprovokasi dengan hal di luar dirinya membutuhkan pengetahuan. Itu sebabnya orang yang melakukan kebaikan selalu didatangi oleh orang-orang yang senang mengganggu dan mengusik, layaknya sebuah lampu yang didatangi laron, ketika cahaya dimatikan maka laron akan pergi.
Ilmu tidak akan memasuki hati yang mengeras dan gelap, seperti sebuah cahaya tidak bisa menembus benda padat dan keras. Ia akan selalu menolak kebaikan, tidak bisa merasakan kebaikan orang lain, karena hati dipenuhi oleh kegelapan yang sangat tebal. Padahal fitrah manusia adalah suci tetapi kita sendiri membiarkan apa saja memasuki hati dan mengotorinya tanpa sengaja. Memang sulit mengendalikan pikiran dan perasaan ketika keduanya telah terisi penuh dengan sampah memori yang terus diulang dan diulas oleh kita sendiri.
Pengendali diri ya hanya kita sendiri, ilmu ya kita yang mengizinkannya untuk masuk atau tidak. Tidak ada yang bisa mengizinkan hal di luar diri kita untuk merusak pikiran dan perasaan selain diri sendiri, semuanya ada pada kita sendiri. Hal yang paling sulit dilakukan manusia adalah mengendalikan egonya karena ego diprovokasi oleh pikiran dan perasaan.
Sebagai manusia tentu kita merasa berhak untuk selalu menang, dan tidak mendapatkan gangguan, tapi seperti yang diulas di atas bahwa orang yang bercahaya pasti selalu berusaha disingkirkan dan dipadamkan, karena matanya tidak menoleransi cahaya tersebut. Kalau tidak disingkirkan atau dipadamkan ya dimanfaatin cahayanya tetapi diabaikan setelahnya, tidak ada kata terima kasih atau sikap yang pantas lainnya. Itulah konsekuensi yang mau tidak mau diterima.
Jadi mengapa harus merasa sakit hati dan bersedih karena mereka?, mereka sedang menikmati cahaya yang ada di dirimu. Kita hanya perlu mengenali kebiasaan mereka saja, tetapi tetaplah bercahaya tanpa merasa terganggu, seperti matahari yang tidak pernah merasa rugi untuk menyinari, mau diucapkan terima kasih berupa apresiasi atau malah dilaknat karena sengatan panasnya, ia tetaplah matahari. Jangan sampai merasa sakit hanya karena cahayamu tidak dianggap dan diremehkan. Manusia tetap membutuhkan cahaya walaupun seolah tidak butuh, karena banyaknya cahaya yang dipantulkan oleh banyak orang-orang baik, sehingga banyak pula manusia yang merasa tidak membutuhkan cahaya.
Cahaya tidak membutuhkan apresiasi, ia hanya memberi karena ia diciptakan untuk menerangi. Cahaya tidak bisa ditutup kecuali ia diperintahkan untuk menutup dirinya, sehebat apapun manusia menutupi cahaya ia akan kewalahan, karena cahaya akan terus memantulkan dirinya kemanapun. Mereka merasa terganggu karena mereka menatap langsung ke arah cahaya, seolah sedang mencari kekurangan cahaya tersebut, tentu saja mata akan merasa silau kecuali menggunakan alat tertentu agar mata terlindungi.
Keikhlasan itu menenangkan jiwa, obat ada di dalam diri. Kemanapun mencari bantuan tetap yang mempraktikan hanya diri kita sendiri, tidak ada pengobat handal di dunia ini, karena dokter terhebat adalah dirimu sendiri. Carilah "obat" ke dalam diri bukan di luar diri, yang bisa menenangkan innerchildmu hanyalah kalimatmu kepada jiwamu sendiri, dunia luar hanyalah hiburan dan tidak perlu terlalu diresapi hingga ke hati. Semoga kita semua selalu sehat, bahagia dan bisa memberikan manfaat hidup kita untuk diri sendiri dan orang lain.