Hi, Koteker dan Kompasianer.
Apa kabar? Masih sehat dan bahagia, kan.
Sabtu lalu, Mimin sudah mengajak kalian untuk menyimak Kotekatalk-168 tentang keindahan desa di Jerman. Adalah desa Seitingen di kawasan negara bagian Baden-Württemberg, Jerman Selatan. Di sanalah admin Koteka, mbak Gana berada. Secara langsung di lapangan, ketua Komunitas Traveler Kompasiana itu memperlihatkan kecantikan sekitar rumahnya.
Dimulai dari perjalanan di depan rumah mbak Gana. Sebuah becak warna biru dari Kodya Dati II Semarang. Becak dengan plat nomor Gana-Bernd itu nangkring di depan rumahnya yang paling pucuk, mendekati hutan Blackforest. Sambil terengah-engah, ia menapaki jalan aspal yang agak naik. Sampai di sebuah titik di mana ia bisa memanjakan mata kita untuk melihat "bukit Teletubbies." Sebenarnya, nama asli bukit adalah Hohen Karpfen. Bukit yang di ujungnya pernah ada kastil tahun 1800 an itu, memang sekilas mirip bukit yang ada di seri Tinky Winky, Dipsi, Lala dan Po. Sayang kastil itu sudah hancur, hanya ada sebuah lukisan kastil yang tergantung di sebuah pohon. Kabar baiknya, untuk berada di puncaknya, hanya butuh 10 menitan berjalan kaki. Sebabnya, ada tempat parkir dekat restoran bintang 5 rekomendasi Michelin, sebelah hotel dan museum, yang memiliki tempat parkir. Di sana, kita bisa parkir mobil. Nah, jalan besar menuju parkiran juga nggak jauh. Tempat yang mbak Gana sebutkan tadi banyak dikunjungi orang Jerman. Mulai dari Hamburg, Berlin, Stuttgart sampai Munchen. Keindahannya memang luar biasa. Dari puncak, kita bisa memandang ke seluruh area yang mengelilingi Blackforest. Segar dan hijau sekali. Banyak pohon cemara di hutannya. Hewan-hewan liar juga berkeliaran di hutan seperti kelinci, serigala, babi dan rusa. Mbak Gana bilang, ia bisa membayangkan zaman kapan itu ada Stegosaurus, yang pernah hidup dan ditemukan di Trossingen (10 menit dari desa), main-main di bukit dan lembah yang hijau. Seperti di taman bermain, deh.
Selain bukit itu, ada tempat wisata lain, yakni gereja St. Michael. Tempat ibadah umat Katholik itu dibangun tahun 1700 an. Memasuki ruangannya, kita seperti diajak ke masa raja-raja. Hiasan marmer, patung pualam, hiasan emas dan lukisan di langit-langitnya sangat luar biasa. Membayangkan peradaban 300 an tahun yang lalu itu sangat artistik. Gereja boleh dikunjungi siapa saja, walau masih digunakan sebagai tempat ibadah, misa dan perayaan sejenisnya.
Ada lagi yang direkomendasikan narasumber, penulis buku "Banyak Cara Menuju Jerman." Sebuah temuan purbakala, yakni makam dari orang Jerman zaman tengah. Barang-barangnya pun juga dikumpulkan di museum seperti keranda, barang pecah belah, pusaka, alat masak dan lain sebagainya.
Di Seitingen, juga ada prasasti peringatan korban perang dunia I dan II. Mereka yang dari desa dikirim ke medan perang, namun tak pernah kembali. Di sana ada perayaannya juga. Desa juga memiliki banyak perayaan tradisional seperti Fastnacht pada bulan Februari, Ernte Dank Fest pada bulan Mei, Festival anggur dan lain-lain.
Desa yang dihuni 2000 an orang itu punya fasilitas lengkap mulai dari restoran Turki, restoran Jerman, restoran Rumania, bank, gereja, pom bensin, kantor kades, SD, TK, tempat olahraga, toko bunga, salon, bengkel, halte bis, toko minuman, kantor pos, taman bermain, toko kelontong, pabrik-pabrik dan sebagainya.
Yang menarik dari desa wisata Jerman ini adalah, masyarakat lokal sangat berperan aktif dalam melestarikannya. Mereka berkunjung secara kontinyu. Jadi, mengapa harus ke luar negeri Jerman, jika di Jerman sudah seindah surga? Nggak heran kalau mereka suka berjalan kaki untuk menikmatinya.
Baiklah, masih tentang Jerman. Komunitas Traveler Kompasiana menggandeng jurusan Bahasa dan Sastra Jerman Universitas Negeri Surabaya untuk menyelenggarakan Kotekatalk-169 berjudul " Koelner Strassenkarneval Umzug" atau Festival jalanan di kota Cologne. Kota ini terkenal dengan gereja menara kembarnya yang pernah dikunjungi Sylvester Stallone bersama keluarganya beberapa tahun yang lalu. Kota ini juga multikulti artinya, banyak sekali warganegara dari seluruh dunia yang tinggal di sana. Mereka sangat toleransi dengan budaya asing. Kalau jalan ke sana, makan apa saja ada. Mau ke sana? Simak dulu zoom Koteka, ya.
Festival jalanan tadi baru saja diperingati bulan Februari. Ada Judith Jaeger, seorang traveler dan photographer yang besar di Bayern tapi mengadu nasib di Cologne. Ia akan menceritakan tentang pengalamannya menikmati festival. Kalian tahu mengapa ada hujan permen di sana? Apa yang menarik dalam festival? Apakah penonton juga mengenakan baju festival selain para peserta pawai? Apakah dipungut biaya jika melihatnya, walau di pinggir jalan? Berapa lama festival berlangsung? Apakah ada tradisi atau prosesi istimewa sebelum dan setelah festival? Mengapa orang Jerman merayakan festival di musim dingin, kan adem?
Untuk tahu jawabannya, kami ajak kalian untuk hadir pada:
- Hari/Tanggal: Sabtu, 16 Maret 2024
- Pukul: 15.00 WIB Jakarta atau 9.00 CET Cologne
- Link: ID 97192976837 Password 767960
Frau Jaeger dulu pernah 3 tahun di Gana dan India, sebagai missionaris di bidang kemanusiaan. Maklum, lulusan akademi keperawatan itu pernah menjadi perawat di Uni klink Cologne bagian neurologi. Kini ibu beranak tiga itu aktif di jagadnya film dan menekuni fotografi.
Nah, kalian yang ingin mengasah kemampuan bahasa Jerman, datang, ya. Kalian bisa tanya-tanya ke narsum, penutur asli bahasa itu. Mimin tunggu, kita janjian.
"Buah durian harum baunya. Buah Manggis manis rasanya. Bersama Komunitas Traveler Kompasiana, kita keliling dunia."
Jumpa Sabtu.
Salam Koteka.(GS)