Dibandingkan karya fiksi jenis pop, judul novel-novel sastra cenderung tidak eye catching. Padahal judul menjadi daya tarik tersendiri untuk menggerakkan minat baca.
Coba lihat judul beberapa novel sastra ini: Laki-laki Tua dan Laut (Ernest Hemingway), Harimau Harimau (Mochtar Lubis), Bekisar Merah (Ahmad Tohari), Rumah Kaca (Pramudya Ananta Toer), Klara dan Sang Matahari (Kazuo Ishiguro), Hidup (Yu Ma), dll.
Bahkan saya menggunakan seperti Prasa, dan Kelir. Tidak ada daya tarik pada judul itu. Prasa tidak memiliki arti apa-apa dan bukan kata yang umum. Sedang kelir, pikiran pertama bagi mereka yang mengenal budaya Jawa, langsung tertuju pada layar pada pagelaran wayang kulit. Di mana menariknya?
Sebenarnya tidak ada alasan spesifik mengapa para penulis karya serius, yang isinya tidak semata tentang hiburan, memilih judul-judul kaku dan “tidak menarik”. Satu-satunya alasan yang mungkin berlaku untuk semua adalah egois.
Ya, penulis sastra cenderung egois terhadap karyanya. Bahkan dia berani menolak penerbit mayor andai disuruh mengubah judul bukunya. Banyak penulis besar yang pernah berseteru dengan penerbit karena hal-hal “sepele” ini.
Bagi sastrawan, judul adalah jati diri, selain inti dari novel itu sendiri. Proses pemilihan judul sangat matang dan melalui pertimbangan dari berbagai segi, kecuali pasar. Ya, sastrawan cenderung tidak mau didikte oleh pasar.
Jadi disinilah letak perbedaan besarnya dengan karya pop yang selalu mengikuti selera pasar. Saat novel-novel bertema Islami meledak, penulis pop yang tadinya “tidak beragama” tiba-tiba menulis novel percintaan di pesantren.
Saat Laskar Pelangi meledak, maka bermunculanlah karya-karya dengan seting serupa. Sehingga judulnya pun mirip-mirip.
Sastrawan berkarya karya ada yang ingin disampaikan, bukan semata menjadi “pabrik kata-kata” demi mencari uang atau ketenaran. Oleh karenanya, karya sastra tidak ada yang mengulang (repetitif) karya-karya yang pernah ada.
Sebagai penutup, judul Kelir aku pilih karena isi novel tersebut tentang pergulatan batin manusia menemukan jati dirinya, seperti lakon dalam pewayangan.