Mengenal Prosa Liris (1)

2024-01-07 18:00:55 | Diperbaharui: 2024-01-08 10:11:00
Mengenal Prosa Liris (1)
Ilustrasi kucing di jalan. Foto: Kompas.id

Prosa Liris berada di antara puisi dengan prosa. Disusun seperti prosa dengan menggunakan bahasa pilihan yang indah lazimnya puisi.

Oleh karenanya prosa liris tidak menjadi bagian dari puisi baik secara bentuk maupun isi. Prosa liris bukan balada, epigram, himne, ode, dll. Bentuknya pun tidak terikat pada jumlah baris dalam tiap bait seperti distikon, terzina, kuatrain, dll. 

Sedang jika dibandingkan dengan bentuk prosa konvensional, prosa liris juga berbeda dengan cerpen, novel atau naskah drama.

Dari pemahaman ini, prosa liris merupakan genre sastra yang berdiri sendiri seperti puisi, cerpen dan novel.

Secara umum, prosa liris dipahami sebagai karangan berisi curahan hati pengarangnya secara subjektif. Sekilas pemahaman ini tidak beda dengan karya sastra lainnya, bahkan karya cipta lainnya.

Oleh karenanya, sastra liris harus memiliki lingkup dan batasan yang jelas yakni:

Pertama, tunggal, baik secara tema maupun penyajian. Jadi hanya fokus pada sosok, atau objek lain. Semisal temanya tentang batu. Maka keseluruhan isinya adalah tentang baru, tidak ada cerita lain. 

Bahwa batu itu nantinya ditafsirkan sebagai (metafora) perasaan penulisnya, soal lain. Itu interpretatif pembaca. Dalam prosa liris Soni Farid Maulana yang berjudul “Ikan Bakar”, kita bisa menafsirkan tentang kerakusan, dan lain-lain.

Kedua, ditulis liris, mengalir, bukan deskripsi. Contoh:

Perempuan dan Kucingnya di Seberang Istana

Ceritakan padaku tentang kekejaman paling sempurna, pinta gelandangan yang numpang berteduh di bawah emperan Pasar Petojo kepada perempuan tua yang sedang memberi makan kucingnya. 

Aku tidak tahu tentang kekejaman, jawab Sriyatin. Aku memiliki tungku kasih dalam jiwa yang tak pernah padam. Aku lahir juga dari kasih. Pergilah kepada orang-orang di istana. di sana kamu bisa memilih... 

Kamu mungkin ingin bertanya dari mana sumber kasih yang aku miliki. Aku lahir di Desa Treno Mulyo di bawah siraman cahaya bulan dan nyanyian jengkrik. Ayahku tidak sempat melihat kelahiranku. Saat itu sedang musim .....dst.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
3 Orang menyukai Artikel Ini
avatar