Cerpen atau cerita pendek adalah salah satu jenis prosa yang paling kita akrabi. Bahkan di Sekolah Dasar (SD), kita sudah diajari menulis cerpen. Coba diingat kembali, cerpen apa yang pernah kalian tulis saat masih duduk di bangku SD? Umumnya kita menulis sesuatu yang sangat dekat dengan keseharian seperti ibu, guru, dan cita-cita.
Dari sini kita bisa mengatakan bahwa menulis cerpen itu mudah. Tidak membutuhkan tingkat kemahiran dalam berbahasa, atau mengolah plotnya. Alurnya sederhana, tidak seperti novel. Hanya terdiri dari pembukaan, isi dan penutup.
Terlebih tidak ada ketentuan baku terkait panjang-pendek sebuah cerpen. Jika ukurannya koran, maka panjangnya sekitar 3.000 - 5.000 kata. Namun untuk majalah bisa lebih panjang, 7.500 – 10.000 kata. Lebih dari itu sebaiknya dijadikan novela.
Namun demikian, untuk menulis cerpen yang baik dan berkualitas, ada beberapa rumus yang perlu dipahami. Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk membatasi kemungkinan mengubah struktur maupun gaya cerpen.
Penulis bebas, sebebas-bebasnya untuk menulis karya prosa. Tidak harus terpaku pada model yang sudah ada. Dalam perkembangan cerpen, kita mengenal berbagai bentuk seperti cerita mini, fiksi mini (flash fiction), cerpen tiga peragraf (pentigraf). dan lain-lain.
Siapa tahu kalian juga punya ide untuk membuat cerpen jenis baru. Misalnya cerpen tanpa tokoh. Mengapa tidak! bukankah Ernest Hemingway pernah menulis novel terpendek yang isinya hanya 6 kata: For Sale; Babys shoes, Never worn.
Silakan berimajinasi dan membuat terobosan, menciptakan hal baru untuk memperkaya kazanah sastra.
Sebelum ke sana, sebaiknya pahami dulu pengertian cerpen secara umum yakni cerita fiksi yang ditulis secara pendek, jelas dan memiliki tema atau permasalahan tunggal. Tema ceritanya bisa percintaan, misteri, atau bahkan slice of life.
Dalam seri tulisan kali ini kita akan membahas tentang cara menulis cerpen. Namun sebelum membahas tekniknya, ada baiknya kita memahami tema tunggal dalam cerpen.
Misal ita ingin menceritakan sebuah pohon jambu. Maka fokuskan pada pohon jambu, lengkap dengan permasalahan yang dihadapi. Tidak dicampur dengan membahas persoalan batu atau sungai meski ada di dekat pohon jambu, sepanjang hal itu tidak terkait persoalan pohon jambu.
Dalam cerpen Gong Terakhir, fokusnya adalah benturan seni tradisi dengan film. Maka semua hal yang dibahas dalam cerpen yang pernah dimuat di Harian Umum Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta) itu untuk mendukung temanya.
Hal ini berbeda dengan novel yang dapat menceritakan beberapa tokoh dengan ragam persoalannya.
Karena itu, sebelum menulis cerpen, ada baiknya mengendapkan ide cerita. Tujuannya agar benar-benar bisa mendapat tema yang kuat, dan tidak umum.
Contohnya ketika kita melihat perempuan parobaya, berpenampilan modis, sedang cekikikan dengan pemuda ganteng di kafe. Spontan muncul asumsi, perempuan itu sedang bersama pacar brondongnya. Sebab tidak umum seorang ibu dan anak bujangnya cekikikan di pojok kafe.
Bersambung ....