Apakah kita tidak boleh menulis karya prosa secara spontan? Saat tiba-tiba mendapat ide atau terpantik oleh suatu peristiwa yang meledakkan energi kreatif?
Tentu saja boleh. Tidak ada aturan tentang waktu menulis prosa. Kapan pun, dan di mana pun, kita boleh-boleh saja membuat karya (tulis). Sepanjang pengetahuanku, belum ada penelitian yang mengungkap waktu terbaik untuk melahirkan karya prosa adiluhung, masterpiece.
Namun demikian, berdasar pengalaman, jangan menulis prosa saat emosi masih menguasai diri. Saat merasa trenyuh melihat sesuatu. Suasana hati yang demikian, mengerdilkan otak. Akibatnya karya kita lebih serupa curhatan.
Demikian juga saat kita marah pada suatu peristiwa. Meski ide dan energi kreatif membuncah, yang dihasilkan tak lebih retorika, kering makna dan gagasan.
Ide yang terpantik dari suatu peristiwa sebaiknya diendapkan. Beberapa penulis besar menuliskan ide itu pada secarik kertas, disimpan dalam lipatan buku, dan dilupakan. Suatu saat, ketika tanpa sengaja menemukan catatan itu, ia memikirkan ulang peristiwanya. Dari situlah muncul “keputusan” untuk menjadikannya sebagai karya tulis, atau membuangnya ke tong sampah.
Ide yang sudah diendapkan, jika kemudian dieksekusi, maka tensi emosionalnya, sedih atau marahnya, sudah berkurang sehingga pikirannya yang bekerja. Karyanya pun secara tema telah “matang”, penuh kedalaman, dan keseimbangan.
Mengendapkan ide berbeda dengan karya yang menggantung di tengah proses. Sebab kondisi demikian dipengaruhi banyak hal, entah karena kehabisan ide, jenuh atau mengalami writer’s block. Boleh jadi, salah satu penyebabnya juga karena idenya masih mentah, tetapi dipaksakan.
Oleh karenanya waktu terbaik untuk menulis prosa adalah setelah ide disemai dalam tungku waktu hingga bernas dan matang.