
Sumber: Ilustrasi dibuat dengan berbantuan DALL·E – ChatGPT (OpenAI), (Dimodifikasi 2 Desember 2025)
APAKAH MENULIS BISA MENGUBAH MALAS MENJADI BAHAN BAKAR?
Oleh: A. Rusdiana
Rasa malas sering dianggap penghambat utama produktivitas, padahal dalam psikologi kognitif, malas hanyalah indikator bahwa otak sedang memilih jalur energi paling rendah. Ini sejalan dengan teori cognitive ease dari Daniel Kahneman: manusia cenderung memilih aktivitas yang terasa ringan, cepat, dan tidak menguras mental. Di era scroll cepat, pilihan termudah adalah menggulir layer bukan menulis. Namun ada fenomena menarik: menulis justru dapat mengubah malas menjadi bahan bakar. Ketika seseorang memulai dari catatan kecil, memo pendek, atau rangkuman ide, otak bergerak dari energi rendah menuju ritme kerja. Pada tahap ini, menulis tidak lagi menjadi beban, tetapi momentum.
Di sinilah gap muncul: banyak orang menganggap menulis sebagai aktivitas “berat”, padahal yang berat sesungguhnya hanyalah memulai. Rasa malas sering ditempatkan sebagai musuh, bukan sebagai sinyal bahwa kita perlu memulai dari langkah kecil terlebih dahulu. Kontras dengan kondisi Komunitas Pena Berkarya (PBB) hari ini yang tembus 2.183 anggota dan mayoritas di antaranya adalah penulis aktif yang konsisten merawat kebiasaan literasinya.
Prinsip dasar literasi menunjukkan bahwa menulis tidak pernah berdiri sendiri; ia selalu bertumpu pada membaca. Hal ini sejalan dengan penegasan Stephen King dalam On Writing (2000): “If you want to be a writer, you must do two things above all: read a lot and write a lot.” Pesan King sangat jelas: kualitas tulisan tidak mungkin berkembang tanpa diiringi asupan bacaan yang memadai. Karena itu, menulis dan membaca adalah dua sisi dari mata uang yang sama saling menghidupi, saling memperkuat.
Tulisan ini bertujuan menunjukkan bagaimana menulis bisa mengubah malas menjadi daya dorong produktif, sekaligus mengaitkannya dengan momen penerimaan Awarding Koleksi Terbanyak ke-1 Repositori UIN Bandung, Spirit Hari Guru 2025, dan Hari Korpri ke-54 bertema“Pahlawanku Teladanku Terus Bergerak Melanjutkan Perjuangan.” Berikut lima Pembelajaran Mendalam dari “Menulis Mengubah Malas Menjadi Bahan Bakar:
Pertama: Malas adalah sinyal awal, bukan hambatan akhir; Teman dalam WAG (30/11/2025) menulis: “Prof Abdi males nyerat kumahanya? Duka asa males ninggal Prof.”Pertanyaan itu mewakili keresahan kolektif akademisi malas seolah penyakit. Padahal, menurut teori self-regulation Zimmerman, energi rendah adalah kesempatan untuk memulai dari unit terkecil: satu paragraf per hari. Ketika memulai dari langkah kecil, otak membangun kebiasaan tanpa tekanan. Malas berubah menjadi pintu masuk, bukan tembok.
Kedua: Menulis menciptakan “mikro-kemenangan” yang memperkuat motivasi; Saat menyusun jurnal Scopus, sering kali muncul rasa malas. Namun setiap memo kecil, ringkasan ide, atau 2–3 kalimat yang ditulis di pagi hari adalah mikro-kemenangan yang menggerakkan motivasi. Penelitian dalam behavioral psychology menunjukkan bahwa mikro-kemenangan menaikkan dopamin, sehingga seseorang ingin mengulang prosesnya.
Pengalaman menerima Awarding Koleksi Terbanyak ke-1 adalah bukti kumulatif dari mikro-kemenangan bertahun-tahun.
Ketiga: Menulis mengubah identitas: dari “pemalas” menjadi “penggerak pengetahuan”; Identity-based motivation (Oyserman) menyebut bahwa perilaku berulang membentuk identitas. Jika seseorang menulis sedikit setiap hari, identitas barunya bergeser: Dari: “Saya sering malas.” Menjadi: “Saya adalah orang yang selalu menulis.” Penghargaan Repositori UIN Bandung bukan sekadar angka unggahan, tetapi transformasi identitas akademik: konsistensi lebih kuat daripada inspirasi sesaat.
Keempat: Menulis adalah bentuk pengabdian bukan hanya produktivitas pribadi; Spirit Hari Guru 2025 dan Hari Korpri ke-54 mengangkat tema “Pahlawanku Teladanku Terus Bergerak Melanjutkan Perjuangan.” Menulis adalah bentuk perjuangan: dokumentasi ilmu, berbagi praktik baik, hingga menyediakan bahan rujukan bagi generasi akademik berikutnya. Di era scroll cepat, ketika informasi cepat hilang dalam arus, tulisan menjadi monumen keilmuan. Bagi ASN pendidikan, menulis bukan hanya tugas akademik, tetapi wujud kontribusi.
Kelima: Menulis memperluas warisan intelektual lebih panjang dari usia manusia; Repositori universitas adalah “museum digital” yang menyimpan jejak pemikiran. Setiap unggahan memperpanjang umur gagasan. Penghargaan koleksi terbanyak bukan tentang kuantitas, tetapi tentang keteguhan menjaga warisan pengetahuan. Dalam konteks bonus demografi 2030, generasi muda memerlukan referensi tepercaya—dan di sinilah menulis menjadi bahan bakar bagi masa depan.
Menulis dapat mengubah rasa malas menjadi energi produktif melalui langkah kecil, ritme konsisten, dan mikro-kemenangan yang memperkuat identitas penulis. Spirit Hari Guru dan Hari Korpri mengingatkan bahwa menulis adalah bagian dari perjuangan intelektual, bukan hanya pekerjaan individual. Rekomendasi: (1) Untuk ASN Pendidikan: Bangun budaya literasi berbasis kewajiban moral: satu tulisan pendek setiap pekan. (2) Untuk Perguruan Tinggi: Perluas kanal repositori, berikan apresiasi rutin bagi penulis produktif. (3) Untuk Mahasiswa dan Generasi Muda: Mulailah dari catatan 3–5 kalimat; ritme lebih penting daripada panjang tulisan. (4) Untuk Pemerintah Daerah: Sediakan program writing challenge ASN sebagai budaya kinerja. (5) Untuk Komunitas Literasi: Fasilitasi ruang berbagi praktik baik dan mentoring mini.
Pada akhirnya, malas bukanlah musuh yang harus dibasmi, tetapi energi yang perlu diarahkan. Menulis adalah cara paling manusiawi untuk mengubah kemalasan menjadi gerak, membangun warisan pengetahuan, dan meneguhkan semangat “Pahlawanku Teladanku Terus Bergerak Melanjutkan Perjuangan.” Di era scroll cepat, menulis adalah perlawanan paling elegan. Wallahu A'lam