Mampukah Menulis Menjadi Jejak Akal di Era Scroll Cepat?
Oleh: A. Rusdiana
Di tengah derasnya arus scrolling, muncul pertanyaan penting: masih perlukah menulis ketika dunia bergerak secepat layar digeser? Fenomena “hilang dalam kecepatan algoritma” menggambarkan bagaimana pikiran manusia terperangkap dalam konsumsi cepat, tanpa sempat berubah menjadi gagasan tertulis yang bermakna. Dalam konteks inilah gagasan “Menulis Menjadi Bukti Nyata Perjalanan Akal” menemukan relevansinya.
Secara teoretis, gagasan ini dapat dijelaskan melalui Teori Eksternalisasi Pengetahuan Nonaka, bahwa pengetahuan tacit harus diekspresikan ke dalam bentuk eksplisit agar dapat diwariskan dan memberi dampak. Selaras dengan itu, Vygotsky menegaskan bahwa bahasa tulis adalah alat berpikir tingkat tinggi—media yang mengubah intuisi menjadi struktur.
Namun ada gap besar: banyak akademisi dan mahasiswa mengaku “malas menulis” bukan karena tidak mampu, tetapi karena merasa tertekan oleh standar, ritme kerja, dan distraksi digital. Curhatan seorang rekan dalam WAG (30/11/2025) menggambarkan itu: “Prof, abdi males nyerat kumahanya? Nyerat jadi gaduh panyawat males…” Sebuah kegelisahan yang mewakili suara banyak orang. Maka tujuan tulisan ini sederhana tetapi penting: menunjukkan bahwa menulis bukan sekadar aktivitas formal, melainkan perjalanan akal yang terekam; dan penghargaan Awarding Koleksi Terbanyak ke-1 Repositori UIN Bandung menjadi bukti bahwa ketekunan lebih menentukan daripada kecepatan. Berikut, Lima Pembelajaran Mendalam dari Mampukah Menulis Menjadi Jejak Akal di Era Scroll Cepat:
Pertama: Menulis adalah Monumen Akal, Scroll adalah Jejak yang Hilang; Scroll cepat memanjakan otak tetapi tidak meninggalkan arsip. Tulisan berbeda: ia menyimpan alur berpikir, konflik batin, pencarian ilmiah, hingga refleksi spiritual. Repositori UIN Bandung menjadi contoh nyata bagaimana setiap unggahan berubah menjadi “monumen kecil” yang hidup lebih lama dari pemiliknya. Penghargaan koleksi terbanyak bukan soal kuantitas, tetapi jejak intelektual yang terdokumentasi.
Kedua: Ketekunan Mengalahkan Algoritma; Di era digital, yang viral lebih dihargai daripada yang tekun. Padahal karya akademik justru lahir dari proses panjang. Koleksi terbanyak di repositori adalah indikator ketekunan, bukan percepatan. Ini sejalan dengan Spirit Hari Guru 2025 dan Hari Korpri ke-54: “Pahlawanku Teladanku—Terus Bergerak Melanjutkan Perjuangan.” Menulis adalah bentuk perjuangan sunyi yang konsisten.
Ketiga: Menulis adalah Upaya Mengatasi Rasa Malas, Bukan Menghindarinya; Curhatan Dewi dalam WAG menggambarkan bahwa rasa malas bukan musuh, melainkan sinyal untuk memulai dari hal kecil. Menurut James Clear (Atomic Habits), perubahan besar dimulai dari kebiasaan mikro. Dalam konteks akademik, kebiasaan unggah rutin, ringkasan bacaan, atau catatan refleksi dapat menjadi booster produktivitas ilmiah. Penghargaan repositori lahir dari akumulasi langkah kecil itu.
Kempat: Tulisan adalah Legitimasi Keilmuan ASN dan Akad
emisi; Di era Korpri modern, karya tulis menjadi bukti kompetensi dan integritas. ASN pendidik tidak cukup hanya mengajar; ia perlu meninggalkan jejak intelektual untuk generasi berikutnya. Repositori kampus adalah ruang di mana kontribusi ini dinilai secara objektif dan terbuka. Menulis menjadi “teladan profesional”, bukan sekadar pemenuhan kewajiban.
Kelima: Menulis Membangun Ekosistem Pengetahuan Berkelanjutan; Repositori bukan museum statis; ia adalah ekosistem. Setiap karya memperkaya mahasiswa, peneliti, dan masyarakat. Ketika koleksi bertambah, kapasitas kampus juga meningkat. Inilah wujud kontribusi nyata bagi PBB ke-49 yang kini mencapai 2.183 anggota komunitas yang tidak hanya besar, tetapi produktif. Jejak tulisan menjadi energi peradaban.
Menulis adalah perjalanan akal yang terdokumentasi. Di era digital serba cepat, tulisan justru menjadi penanda integritas, ketekunan, dan kontribusi. Penghargaan koleksi terbanyak di Repositori UIN Bandung membuktikan bahwa jejak keilmuan dibangun oleh proses panjang, bukan kecepatan sesaat. Rekomendasi: 1) Kampus perlu memberi ruang mentoring menulis, bukan hanya menilai hasil; 2) ASN pendidik harus memandang menulis sebagai pengabdian, bukan beban administratif; 3) Mahasiswa perlu mendapatkan modul literasi digital yang menekankan dokumentasi gagasan; 4) Komunitas PBB dapat membuat program “Tantangan 30 Hari Menulis Jejak Akal.” dan 5) Repositori perlu menonjolkan karya inspiratif agar menjadi pemantik budaya menulis.
Pada akhirnya, menulis adalah keberanian meninggalkan jejak. Ia menjadi saksi perjalanan pikiran kita, bahkan ketika kita sudah tidak lagi hadir. Jika scroll hanya memberi hiburan sesaat, tulisan memberi kehidupan yang panjang. Penghargaan Awarding Koleksi Terbanyak bukan akhir, tetapi penanda awal perjalanan baru bahwa setiap gagasan layak dituliskan, diarsipkan, dan diwariskan. Inilah tugas kita: ”terus bergerak melanjutkan perjuangan.” Wallahu A’lam.