Oleh: A. Rusdiana
Di era digital, siapa pun bisa menulis dan menerbitkan gagasan dalam hitungan detik. Namun, di balik kebebasan itu, muncul krisis keaslian dan kredibilitas. Banyak tulisan akademik dan populer kini terjebak pada praktik menyalin, mengutip tanpa sumber, atau sekadar mengulang ide tanpa analisis baru. Fenomena ini mengaburkan makna sejati dari menulis sebagai bentuk tanggung jawab ilmiah. Menurut teori etika akademik dari Macfarlane (2009), integritas bukan hanya kepatuhan terhadap aturan formal, melainkan bentuk komitmen moral terhadap kebenaran. Menulis berarti menyusun “jejak intelektual” yang akan diuji, dikritisi, dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Jika integritas hilang, legasi ilmiah pun kehilangan nilai sejarahnya. Untuk itu, komunitas Pena Berkarya Bersama (PBB) sejak 16 September 2025, kini mencapai jumlah anggota tidak kurang dari 1.264 penulis aktif lintas kampus dan profesi, mengajak setiap anggotanya menulis dengan kesadaran etis, bukan sekadar produktif secara kuantitatif. Melalui program seperti “Bedah Tulisan Mingguan” dan “Klinik Literasi Integritas”, PBB menegaskan bahwa setiap tulisan harus berpijak pada tiga nilai utama: kejujuran akademik, tanggung jawab publik, dan keberlanjutan ilmiah.
Misi PBB bukan hanya melahirkan penulis yang fasih menata kata, tetapi juga pembelajar yang berani mempertanggungjawabkan makna dari setiap kalimat. Komunitas ini menempatkan integritas sebagai roh kepenulisan bahwa setiap karya, sekecil apa pun, adalah kontribusi bagi warisan intelektual bangsa. Dengan semangat “Menulis untuk Mendidik, Bukan Sekadar Menarik,” PBB berupaya mencetak generasi penulis yang menjadikan pena sebagai alat pengabdian, bukan sekadar alat pencitraan. Kesenjangan (gap) yang muncul adalah: banyak mahasiswa dan penulis muda lebih fokus pada kecepatan publikasi daripada kualitas substansi dan akurasi sumber. Padahal, kompetensi literasi etis (ethical literacy) adalah bagian dari micro-competence of academic writing (MiCT-MET) yang menentukan mutu reputasi akademik.
Tulisan ini bertujuan mendorong komunitas menulis—terutama PBB dan lingkungan kampus untuk memaknai menulis bukan sekadar ekspresi, tetapi sebagai cermin integritas akademik dan fondasi legasi ilmiah. Berikut lima pembelajaran yang dapat direnungkan:
Pertama: Kejujuran sebagai Pondasi Legasi; Setiap kalimat yang ditulis adalah pernyataan moral. Ketika penulis menyadur ide tanpa sumber, ia sedang merusak fondasi reputasinya sendiri. Integritas menulis berarti berani berkata “ini bukan ide saya” ketika mengutip. Dalam jangka panjang, kejujuran membangun trust capital yang lebih berharga daripada sekadar popularitas. Legasi ilmiah tidak dibangun oleh kecerdasan saja, tetapi oleh kejujuran yang konsisten.
Kedua: Akurasi Data dan Ketelitian Referensi; Tulisan akademik adalah mozaik dari data, teori, dan tafsir. Menyusun referensi dengan tepat bukan sekadar formalitas, tapi bentuk penghormatan terhadap rantai pengetahuan. Komunitas PBB, misalnya, melalui “Bedah Tulisan Mingguan”, menanamkan budaya memeriksa sumber sebelum berbagi tulisan. Akurasi menjadi simbol kesungguhan, sementara kecerobohan adalah tanda lemahnya tanggung jawab akademik.
Ketiga: Originalitas sebagai Wujud Keberanian Intelektual; Menulis dengan integritas berarti berani berbeda, berani mengajukan perspektif baru. Dalam teori kreativitas ilmiah Csikszentmihalyi (1996), orisinalitas lahir dari keberanian untuk mengganggu kenyamanan intelektual lama. Maka, plagiarisme bukan hanya pelanggaran hukum akademik, tapi juga bentuk ketakutan berpikir. Tulisan orisinal tidak selalu sempurna, tapi selalu jujur.
Keempat: Kolaborasi Etis dan Penghargaan terhadap Kontributor; Menulis dalam dunia ilmiah jarang dilakukan sendirian. Ada dosen pembimbing, mitra riset, editor, atau rekan diskusi. Integritas akademik menuntut pengakuan terhadap kontribusi mereka, baik dalam bentuk sitasi maupun ucapan terima kasih. Menghapus nama orang lain dari karya bersama sama halnya dengan menghapus nilai kemanusiaan dari proses ilmiah. Kolaborasi yang etis adalah bagian dari legasi sosial ilmu pengetahuan.
Kelima: Diseminasi dengan Tanggung Jawab Publik; Tulisan yang dipublikasikan memiliki daya pengaruh sosial. Karenanya, tanggung jawab penulis bukan hanya pada kebenaran ilmiah, tapi juga pada dampak publiknya. Menurut Habermas (1984), komunikasi yang etis menuntut keterbukaan, kejelasan, dan niat baik. Setiap tulisan di ruang publik harus melalui refleksi: apakah kalimat ini mencerahkan atau menyesatkan? Menulis dengan kesadaran etis menjadikan karya bukan hanya populer, tapi mendidik dan menyehatkan ruang digital.
Menulis sebagai cermin integritas akademik berarti memandang setiap karya sebagai warisan nilai. Legasi ilmiah tidak diukur dari seberapa banyak karya diterbitkan, tetapi seberapa kuat karya itu menjaga kejujuran, akurasi, dan tanggung jawab penulisnya. Rekomendasi untuk pemangku kepentingan pendidikan: 1) Kampus perlu memperkuat Academic Writing Ethics Course sebagai mata kuliah wajib lintas program studi; 3) Komunitas menulis seperti PBB dapat menjadi pelopor pelatihan “Audit Etika Tulisan” secara berkala; 4) Lembaga publikasi harus menilai kualitas bukan hanya dari impact factor, tetapi juga integrity index ukuran etis dalam proses penulisan dan sitasi.
Integritas adalah tinta yang tidak pernah pudar. Di tangan penulis yang jujur, setiap kata menjadi doa bagi kebenaran dan cahaya bagi generasi. Menulis bukan hanya tentang “apa yang kita sampaikan”, tetapi “siapa kita ketika menulisnya.” Jika tulisan adalah warisan, maka kejujuran adalah batu nisannya yang membuat legasi ilmiah tetap dikenang, bukan disanksi. Wallahu A'lam.