Belajar Ibadah, Melatih Istitha’ah
Setiap dua pekan sekali, kami berkumpul di KBIHU An Namiroh. Tidak langsung duduk, tidak langsung membuka buku manasik. Kami berjalan dulu—dua kilometer, bersama-sama.
Bagi sebagian orang, dua kilometer mungkin terdengar sepele. Tetapi bagi calon jamaah haji, jarak itu adalah pengingat awal: ibadah haji bukan hanya soal hafalan niat dan urutan rukun, melainkan juga soal kesiapan tubuh.
Manasik yang kami jalani memang sengaja dirancang berbeda. Setiap pertemuan dibuka dengan jalan kaki sekitar dua kilometer, baru kemudian dilanjutkan dengan praktik manasik dan pembekalan lainnya. Bukan tanpa alasan. Di tanah suci nanti, berjalan kaki bukan aktivitas tambahan—melainkan bagian utama dari ibadah itu sendiri.
Haji dan Realitas Jarak
Di atas kertas, haji terlihat sederhana: ihram, wukuf, tawaf, sa’i, tahallul, tertib. Namun di lapangan, setiap rukun itu dihubungkan oleh jarak.
Dari hotel ke Masjidil Haram.
Dari tenda Mina ke lokasi jumrah.
Dari Arafah ke Muzdalifah, lalu kembali ke Mina.
Dalam satu hari, jamaah bisa menempuh beberapa kilometer. Bahkan pada puncak haji, total jarak jalan kaki dapat mencapai belasan kilometer—di tengah cuaca panas, kepadatan manusia, dan kelelahan fisik.
Karena itulah, jalan kaki dua kilometer di awal manasik bukan sekadar pemanasan. Ia adalah simulasi kecil dari realitas besar yang akan dihadapi.
Dua Pekan Sekali: Ritme yang Manusiawi
Manasik dua pekan sekali memberi ruang bernapas. Tidak terlalu rapat, tidak terlalu jarang.
Dalam jeda dua pekan itu, jamaah punya waktu:
-
Mengulang materi manasik
-
Mempraktikkan jalan kaki secara mandiri
-
Menyesuaikan kondisi tubuh
-
Mengevaluasi diri: apakah masih cepat lelah, apakah lutut mulai terasa, apakah napas masih tersengal
Manasik tidak lagi terasa seperti kelas teori, melainkan proses pendampingan. Setiap pertemuan menjadi titik cek: bukan hanya pemahaman ibadah, tetapi juga perkembangan fisik.
Jalan Kaki sebagai Bahasa Tubuh
Menariknya, banyak “cerita” muncul justru saat berjalan.
Ada yang baru sadar sepatunya terlalu keras.
Ada yang mulai belajar mengatur napas.
Ada yang memilih memperlambat langkah, belajar tidak memaksakan diri.
Di sinilah manasik menjadi sangat manusiawi. Jamaah belajar mendengarkan tubuhnya sendiri. Karena istitha’ah—kemampuan untuk berhaji—bukan sekadar dinyatakan lewat surat keterangan kesehatan, tetapi juga lewat kesadaran diri.
Islam tidak memaksa. Tubuh pun memberi sinyal.
Dari Istitha’ah Kesehatan ke Istitha’ah Kesadaran
Pemeriksaan kesehatan (MCU) memang menentukan kelayakan secara medis. Namun manasik yang disertai latihan fisik rutin membantu jamaah mencapai bentuk istitha’ah yang lebih dalam: kesiapan mental dan kesadaran batas diri.
Jalan kaki dua kilometer mengajarkan:
-
Kesabaran
-
Konsistensi
-
Kerendahan hati untuk berhenti jika lelah
-
Kebersamaan dalam ritme yang berbeda-beda
Semua itu kelak sangat dibutuhkan di tanah suci.
Manasik Bukan Sekadar Simulasi, Tapi Persiapan Hidup
Pada akhirnya, manasik seperti ini bukan hanya mempersiapkan jamaah untuk haji, tetapi juga untuk menjalani ibadah dengan lebih jujur.
Jujur pada kondisi tubuh.
Jujur pada kemampuan diri.
Jujur bahwa haji bukan ajang membuktikan kekuatan, melainkan perjalanan kepasrahan.