Rabu Bertemu #2 - Ketika Publik Berpikir dan Bertindak Antropologis

2024-11-27 06:46:00 | Diperbaharui: 2024-11-27 07:01:06
Rabu Bertemu #2 - Ketika Publik Berpikir dan Bertindak Antropologis
Ilustrasi hubungan manusia msa kini 

Halo, Kerabat ! 

Sampai pada pkl 05.00 WIB pagi sudah terpantau 695 jumlahnya yang bergabung pada Temu Kompasiana Kerabat Antropolog Pangan ini, semoga perkumpulan ini bisa terus menerbarkan berbagai ilmu dan kebersamaan walau masih terpisah batas-batas geografis dan demografis, namun internet dan kanal-kanal daring bisa menyatukannya. 

Terlepas dari latar belakang apapun, walau disini kami melihat ada akun judi online yang bergabung (yah, itu bukan salah kerabat, kondisi kehidupan ini sedang terombang-ambing karena tidak bisa mensejahterakan beberapa orang sebagai aset bangsa, dengan kerabat bergabung semoga menjadi bahan refleksi bahwa ketika pengaruh sosial berdampak tidak baik bagi sesama, maka dampaknya bergelembung termasuk di sini ada pelajar dan mahasiswa yang bergabung, mereka sedang menelaah teladan-teladan dari setiap warga negara baik citizen atau netizen, dimanapun kerabat berada jika masih terhubung dengan aktivitas judi online, semoga ada jalan lain yang membawa kehidupan kerabat sebagaimana harapan hidup yang diinginkan dan jika judi ini dilegalkan maka kerabat bisa berkumpul layaknya masyarakat Monaco yang penghasilan utamanya memang dari kasino namun masyarakatnya tidak bermain kasino justru turis yang dianjurkan bermain kasino dan berjudi, hal ini menandakan bahwa masyarakat monaco juga tidak ingin menerima pengaruh kekalahan dari judi ini makanya dijadikan sumber penghasilan saja biar masyarakat lain yang menikmati).

Dalam antropologi yang membahas antropologi pangan, sistem pangan, pertanian atau komoditas. Perjudian kerap terjadi, nanti dibahas pada temu selanjutnya tentang kebobrokan para pemimpin negara dan sadisnya kebijakan pemerintah di negara-negara maju dan berkembang yang memporak-porandakan harapan masyarakatnya hingga semuanya oleng dan perjudian pun menjadi satu-satunya cara bertahan hidup, studi ini bisa kerabat lacak lebih jauh pada tulisan antropolog yang selalu membahas judi-judi modern dari studinya Natasha Dow Schüll (Professor Antropologi Budaya dengan spesifikasinya antropologi media, budaya dan komunikasi dari New York University) dalam bukunya Addiction by Design: Machine Gambling in Las VegasInti dari studinya tentang judi adalah perubahan perilaku pemain judi setelah beberapa kali kalah dan hal inilah yang merubah tabiat manusia hingga terperosok pada ekspektasi yang awalnya indah menjadi kelam. Kerabat semoga masih dalam keajegan karena walau bagaimanapun manusia itu masih ada sisi humanisnya yang akan membawa relasi ini berumur panjang. 

Seperti ceramah saja ya, namun temu kompasiana kerabat antropolog pangan ini memang tidak boleh diskriminatif sekalipun ada orang-orang yang menyimpang menurut norma dan nilai yang berlaku bahkan orang-orang jahat yang berpengaruh menyebabkan tindakan kriminal, justru disinilah ruang untuk saling menumbuhkan kembali kepedulian dan tidak memandang sebelah mata, hal ini dalam antropologi disebut dengan Relativitas Budaya. 

Apa itu Relativitas Budaya ? 

Relativitas Budaya adalah suatu nilai, norma dan aksi/praktik suatu kelompok manusia (masyarakat) yang berbudaya namun punya segmen tersendiri yang tidak harus selalu sama dari standar yang berlaku sekalipun diatur oleh pemerintah atau negara. Relativisme budaya menolak segala bentuk justifikasi, penghakiman moral yang semena-mena tanpa ditelusuri motif terdalam seseorang atau kelompok, namun relativisme budaya mencoba ingin memahami perilaku dan norma yang terjadi dan muncul sehingga berpengaruh pada berbagai konteks (sosial, ekonomi, politik, budaya, dan kompleksitas yang ada). Relativisme budaya akan membawa seseorang itu untuk menumbuhkan empati pada perbedaan namun tetap waras dalam menghadapi dan menyikapi penyimpangan, menghindari prasangka diskriminatif dan lebih memilih menyerahkannya pada pihak berwenang sesuai kesepakatan bersama. 

Rabu Bertemu #2 - Ketika Publik Berpikir dan Bertindak Antropologis

Hal ini sering dipertanyakan oleh kalangan akademis, apakah publik atau bahkan orang awam bisa berpikir dan bertindak antropologis ?

Tentu bisa dan hal ini sebetulnya sudah ada sejak jurusan antropologi belum tersedia, kerabat bisa membaca kembali kisah-kisah para penjelajah. Yang rajin nulis itu : Ibnu Batutah atau Muhammad bin Batutah (Penjelajah dari Maroko) yang selalu menulis catatan rihla (catatan perjalanan yang menceritakan fenomenologi yang dilihatnya bisa berisi catatan budaya setempat, interaksi agama dan sosial, bahkan pengetahuan baru). 

Publik itu siapa ? 

Masyarakat umum, sudah begitu saja tidak ada batasan harus masyarakat apa saja dengan kategorinya. Ketika definisinya masyarakat umum, bayi berusia 2 jam dari waktu lahir juga masyarakat umum. 

Maka dari itu jika kerabat menjumpai suatu acara : terbuka untuk publik, silakan saja bergabung tidak usah sungkan atau malah jadi rendah diri. 

Artinya Publik/Masyarakat umum itu punya harmonisasi sosial yang senada seperti peduli pada kepentingan bersama, membutuhkan ruang sosial, bisa berkomunikasi tentang ide dan gagasan sosial dan budaya terlepas latar belakang seseorang atau masyarakat tak terbatas (tidak perlu banyak menggunakan atribut sosial seperti formulir isian data kependudukan : afiliasi, pendidikan terakhir, besaran upah per bulan, jenis pekerjaan, nomor rekening, nomor sepatu dan identitas lainnya secara administratif).

Publik itu lekat dengan nilai-nilai budaya, makanya kerabat jika merayakan hari raya atau hari besar keagamaan selama itu masih bagian dari nilai-nilai budaya kerabat, gabung saja dan nikmati suka-citanya, bukan ? Itulah kerabat sedang menjadi publik yang menikmati ruang sosialnya dimana kerabat menemukan keakraban sosial yang terbentuk dari suatu kelompok masyarakat. 

Pelayanan Publik bagaimana ? Ya, dibeberapa daerah belum satset, belum terintegrasi, dan masih acak-acakan, kapan ya berbenah ? Nah, itu juga kebutuhan publik artinya kebutuhan masyarakat umum, misalnya tercermin dalam : 

  • Pasar 
  • Halte angkutan umum 
  • Terminal (di beberapa daerah masih ramah hantu, di beberapa kota berkembang dan maju sudah ramah : disabilitas, ramah lansia, ramah perempuan (ibu hamil, menyusui, dan membawa balita), serta ramah anak-anak), yang belum ramah perokok (oh iya ini urgensi) yang perlu diperhatikan juga agar para perokok juga bisa bersosialisasi dengan sesama perokok dan tidak terasing dan terdiskriminasi di ruang publik, bagaimanapun dalam hisapan rokok ada cukai rokok yang kalau diterjemahkan "harusnya fasilitas udud/sebat di tiap-tiap tempat umum tuh udah tahap berwifi, ada kopi, dan colokan listriknya" , nah sepertinya itu harapan yang belum terealisasi ya kerabat. 
  • Pelayanan Kesehatan 
  • Institusi Pendidikan 
  • Jalanan Umum yang layak dilewati (tentu saja bukan yang berliku-liku, anggaran dipake apa nih  ? nah itu banyolan publik yang entah ditujukan kemana) dan banyak lagi. 

Berpikir dan Bertindak Antropologis apakah hanya milik antropolog ? 

Tentu tidak, banyak antropolog dunia yang merendahkan hati tidak ingin disebut si paling antropologis, justru mereka berterimakasih pada publik yang berpengetahuan, namun karena ekslusivitas di kalangan akademis secara historis (kerabat bisa menelusuri tentang kolonialisme ilmu pengetahuan, disitu kerabat akan menemukan kesombongan para penikmat ilmu karena memiliki kekuatan finansial, hingga sampai era post-modernisme pengetahuan dan modernisme sering dipertanyakan) jurusan antropologi di beberapa negara maju dan berkembang menganggap punya catatan lengkap dan pemahaman mendalam, jadinya hal ini yang menyebabkan bahwa menjadi antropolog itu : nyentrik, unik, pintar, jenius dan banyak sematan klaim diri yang ingin menjadikannya unggul. 

Ya, pada faktanya satu jenis ilmu itu berhubungan dengan yang lainnya. Maka dari itu antropologi pangan itu tidak bisa berdiri sendiri dan perlu keberadaan kerabat, contohnya sudah terasa yaitu seragamnya makanan pokok. Padahal diversifikasi pangan dari koleksi komoditas pangan dari Sabang sampai Merauke luar biasa beragam namun karena ada penyeragaman dalam program saking dari satu perspektif ya akhirnya definisi seragam itu beneran disamain walau ga cocok yang penting sama. Ini juga tidak tepat dalam implementasinya karena ada pemangkasan paksaan dan transisi yang dituntut bukan dari inisiatif publik. 

Kerabat tentu bisa dengan mudah berpikir dan bertindak antropologis karena modal dasarnya hanya dari penataan cara berpikir kemudian dilanjutkan dengan eksplorasi mandiri dari beragam informasi, kemudian kerabat pilah dari berbagai fakta. Kerabat bisa mulai mencoba mempraktikannya seperti ini : 

Skema Berpikir Antropologis Tanpa Ribet

Skema berpikir antropologis tanpa ribet ini akan memudahkan kerabat dalam menghadapi berbagai fenomena, kejadian, bahkan permasalahan personal. Loh bagaimana memulainya ? Begini yang kami coba : 

Masalahnya : Harga Pangan Mahal di Sub-Urban/Sub-Kota Karena Akses Pangan Sulit dan Jarang 

Maka, skema berpikir antropologisnya bisa diaplikasikan seperti ini : 

  • Berpikir menyeluruh : Cek berita harga pangan terkini hingga mendaftar harga bahan pangan apa saja yang masih bisa terjangkau, segera hapus dan pisahkan pangan-pangan harga tinggi dan tidak usah dijangkau sementara (misal harga beras mahal 1 kgnya sudah Rp.25.000) tapi ada alternatif 5 kg kentang cilik Rp. 21.000 karena sedang anjlok, maka kentang ciliklah yang jadi prioritas makanan pokok sementara hingga harga beras turun. 
  • Relativisme Budaya : bisa saja karena petani merugi karena cuaca dan pupuk mahal, maka bukan berarti ada makelar (memang ada tapi apakah mudah menemukannya dengan bukti ? memangnya berani mengusutnya?). 
  • Perbedaan dan Persamaan : Karena kentang juga sumber karbohidrat, maka mulailah mencari resep-resep rumahan yang mengolah kentang. Perbandingan makan kentang dan makan nasi memang ada di porsi. 1 centong nasi berukuran 100 gram tidak akan sama dengan 1 butir kentang yang dikukus, maka 1,5 kentang tidak masalah jika dikonsumsi jika tanda-tanda mengenyangkan dan memuaskan cita rasa menjadi sama. 
  • Empati Budaya : (setelah menelusuri banyak informasi) masyarakat Peru saja sampai punya lebih dari 50 jenis kentang, Indonesia juga kan punya jenis kentang, maka jika kentang lebih murah dengan jenisnya yang beragam, maka kentang bisa menggantikan nasi juga dan lambat-laun ketergantungan pada beras dan nasi berkurang, dampaknya alat pencernaan bisa mulai menyesuaikan. 
  • Keilmuan Kerabat (misalnya ; Geografi, Gizi, Manajemen, Keuangan, Pertanian, Teknik Nuklir dll) tidak ada keilmuan yang salah alamat yang adalah lowongan pekerjaan yang kuotanya sedikit dan dibatasi jadinya ga usah mempermasalahkan lulusan fotografi tiba-tiba jadi punya kerjaannya bikin roti kukus atau lulusan pendidikan malah berternak. Definisi ini akan merubah ketika kecerdasan publik giat mengevaluasi kebijakan yang ada (yuklah, agar kedepannya kalau lulusan teknis mesin tuh emang teknisi mesin, pengajar teknik mesin, praktisi permesinan bukan sekadar mimpi atau janji-janji brosur pendidikan). Nah, kerabat bisa mulai menarasikannya dengan keilmuan kerabat.
  • Pantau perubahan hingga produk dan hasilnya itu dikondisikan dengan keadaan dan kondisi kerabat. 

Nah, kerabat selamat menikmati nikmatnya berpikir, jika ada pendapat lain sila tulis di kolom komentar dan tidak perlu sungkan. 

Demikian - Hatur nuhun.  

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
2 Orang menyukai Artikel Ini
avatar