Selamat datang di Kompasianer Nandur.
Ini bukan sekadar grup, apalagi klub tepuk tangan. Ini adalah ladang.
Di tengah ruang digital yang makin bising, cepat marah, dan gemar memanen kesimpulan instan, kami memilih kata yang terasa kuno: nandur. Menanam. Sebuah kerja lama yang hari ini justru terasa asing. Padahal peradaban manusia, dari desa kecil sampai kota besar, berdiri bukan dari teriakan, melainkan dari benih yang ditanam dengan sabar.
Nandur adalah kerja sunyi. Ia tidak menjanjikan hasil cepat. Ia menuntut waktu, ketekunan, dan kepercayaan bahwa apa yang kita tanam hari ini mungkin baru dipanen oleh orang lain, di musim yang berbeda. Dan justru di situlah martabatnya.
Kompasianer Nandur lahir dari kegelisahan sederhana: terlalu banyak opini, terlalu sedikit pemikiran. Terlalu banyak komentar, terlalu jarang perenungan. Kita hidup di zaman ketika semua orang ingin bicara, tapi semakin sedikit yang mau merawat makna. Alam rusak, pangan terpinggirkan, budaya lokal dianggap remeh, dan manusia sendiri sering lupa bahwa ia adalah bagian dari ekosistem, bukan penguasanya.
Grup ini tidak ingin menjadi hakim. Kami tidak datang membawa jawaban final. Yang kami bawa hanyalah cangkul kecil: tulisan, pengalaman, dan kejujuran berpikir. Di sini, gagasan ditanam, bukan dilempar. Perbedaan dirawat, bukan dibakar. Kritik disampaikan dengan akal sehat, bukan dengan ludah.
Apa yang kita tanam di sini?
Kita menanam cerita tentang pangan—bukan sekadar soal nasi dan harga, tetapi soal kedaulatan, martabat petani, dan ingatan kolektif yang perlahan dihapus oleh sistem global. Kita menanam refleksi tentang lingkungan—air yang makin keruh, tanah yang makin letih, dan hutan yang tinggal nama di papan proyek. Kita menanam kembali nilai-nilai lama: kerja pelan, tanggung jawab lintas generasi, dan kesadaran bahwa tidak semua hal harus dimonetisasi.
Kita juga menanam pertanyaan. Pertanyaan yang tidak selalu nyaman, tapi perlu. Mengapa pangan lokal kalah di tanah sendiri? Mengapa kemajuan teknologi sering berjalan tanpa etika? Mengapa desa ditinggalkan, lalu dirindukan saat kota sesak? Mengapa kita sibuk membangun, tapi lupa merawat?
Di Kompasianer Nandur, tulisan tidak harus sempurna. Yang penting jujur dan berakar. Anda boleh menulis dari sawah, dari dapur, dari perjalanan hidup, dari kegagalan, dari eksperimen kecil yang mungkin belum berhasil. Justru di situlah nilai pengalaman berada—bukan di jargon, bukan di poster motivasi.
Apa yang tidak kita tanam?
Kita tidak menanam kebencian.
Kita tidak menanam hoaks.
Kita tidak menanam fanatisme sempit yang membutakan nalar.
Perdebatan boleh ada, bahkan perlu. Tetapi perdebatan di sini adalah dialog, bukan adu otot. Kami percaya bahwa akal sehat tumbuh di tanah yang cukup air, bukan di ladang yang terus-menerus dibakar emosi.
Kompasianer Nandur tidak berpihak pada kepentingan politik praktis, tetapi berpihak pada masa depan. Masa depan yang hanya mungkin ada jika hari ini kita masih mau berpikir panjang. Jika hari ini kita masih bersedia menunda panen demi tanah yang tetap subur.
Mengapa ini penting?
Karena sejarah mengajarkan satu hal yang sering kita lupakan: peradaban runtuh bukan karena kekurangan kecerdasan, tetapi karena kehilangan kebijaksanaan. Banyak bangsa besar tumbang saat mereka berhenti mendengar tanah, air, dan manusia kecil di pinggir sistem.
Menanam gagasan hari ini adalah bentuk perlawanan paling masuk akal. Bukan perlawanan dengan teriakan, tetapi dengan konsistensi. Dengan tulisan yang mungkin tidak viral, tetapi jujur. Dengan diskusi yang mungkin tidak trending, tetapi mencerahkan.
Grup ini adalah ajakan untuk melambat sejenak. Untuk menurunkan ego. Untuk kembali bertanya: apa yang benar-benar penting untuk diwariskan?
Jika Anda bergabung hanya untuk mencari tepuk tangan, mungkin tempat ini terasa sepi. Tapi jika Anda datang untuk menanam—meski kecil, meski pelan—Anda berada di ladang yang tepat.
Mari kita rawat ruang ini bersama. Menanam hari ini, agar besok masih ada yang bisa dipanen. Bukan hanya oleh kita, tapi oleh generasi yang bahkan belum mengenal nama kita.
Selamat datang di Kompasianer Nandur.
Mari menanam, sebelum tanah benar-benar kehilangan harapan.